Tradisi Ramadan lintas Indonesia – yang baik dan buruk

Oleh Dimas Gantari
2015.06.22
150619_ID_TRADISI_RAMADAN_INDONESIA_700.jpg Anak-anak Muslim di Jakarta membawa obor selama parade menyambut bulan suci Ramadan di Jakarta, tanggal 16 Juni 2015.
AFP

Di Indonesia, Ramadan dimeriahkan dengan tradisi yang menggambarkan pernikahan Islam dan budaya lokal.

Di Jawa, sehari sebelum Ramadan, banyak orang-orang yang melakukan tradisi siraman, yaitu tradisi mencuci seluruh tubuh dengan abu dari batang padi.

“Padi adalah simbol dari kesuburan bumi pertiwi dan siraman adalah simbol dari penyucian diri,” kata Muhammad Bagus Pranoto, tetua di Desa Pabuaran, Purwokerjo kepada BeritaBenar tanggal 18 Juni sambil menjelaskan bahwa dengan menjalankan tradisi ini kaum Muslim berharap dapat berpuasa dengan kekuatan dan yang berlimpah dan hati yang bersih.

“Tradisi ini merupakan gabungan tradisi Hindu, Jawa dan Islam,” katanya lanjut.

Sementara di Temanggung, Jawa Tengah, tradisi "Sadranan" masih berlangsung dengan rutin.

Dalam tradisi ini, petani sembako di Jawa Tengah berkumpul, membawa makanan dan minuman ke Balai Desa untuk berbagi dengan warga masyarakat lainnya.

“Dalam kesempatan bersama ini kami juga mendoakan para leluhur kami yang telah meninggal,” kata Sukiarti Marnadi, warga Temanggung.

Sukiarti mengatakan tradisi ini juga digunakan untuk membersihkan hati dan jiwa sebelum Ramadan tiba.

Pasar malam

Hampir di seluruh Indonesia, selama Ramadan harga daging sapi melonjak tinggi. Waktu Ramadan adalah waktu dimana semua sanak keluarga bisa membuka puasa bersama, dan daging sapi merupakan salah satu bahan makanan yang tidak bisa ditinggalkan.

Di Aceh, tradisi ini makan daging sapi bersama dikenal dengan “Makmeugang” atau “Meugan.”

“Tradisi ini menyatukan umat Aceh dari segala lapisan tidak pandang bulu,” kata Laila Musfira, warge Aceh kepada BeritaBenar.

Anak muda dan musisi biasanya menginisiasi Ramadan dengan membuka konser gratis di lapangan terbuka di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Medan.

“Dengan acara ini kami ingin menyuarakan misi perdamaian selama bulan Ramadan serta mengajak anak muda untuk kreatif,” kata Arisanti, warga Menteng, Jakarta, yang membantu pengelolaan konser selama bulan Ramadan di komunitasnya.

Di Jawa, Ramadan juga disambut dengan berbagai pagelaran pasar malam. Di Jawa Tengah tradisi “Dandangan” atau pasar malam sudah melekat lebih dari 400 tahun.

“Acara ini bukan hanya untuk berjualan tapi juga aksi sosial, terutama mengumpulkan dana untuk anak-anak yatim piatu, mengumpulkan buku bekas dan sembako bagi mereka yang membutuhkan,” kata Doni Asmaratna dari Kota Kudus yang aktif dalam acara ini.

Menyatukan warga

Di Pacitan, Jawa Timur, anak-anak usia belasan bersama dengan beberapa orang dewasa, membawa musik “Kenthongan,” alat musik berbentuk tabung terbuat dari bambu untuk membangunkan warga dipagi hari agar tidak terlewat waktu Sahur.

“Tradisi ini menyatukan antara warga serta antara orang tua dan anak-anak,” kata Deddy Samukti sambil mengatakan bahwa ia sudah melakukan tradisi ini lebih dari 10 tahun.

“Kegiatan ini juga membantu mengamankan desa kami,” katanya sambil mengatakan bahwa tingkat pencurian meningkat drastis selama bulan Ramadan.

Masyarakat di Madiun membawa serangkaian bunga untuk ditabur di makam leluhur atau keluarga yang mereka cintai.

“Tradisi ini merupakan tradisi gabungan antara Islam dan tradisi orang Jawa,” katanya sambil melanjutkan bahwa tradisi yang sama dilakukan sehari sebelum Lebaran.

“Tradisi ini untuk mendoakan arwah mereka serta mengenang kebaikan mereka,” katanya lanjut.

Tradisi yang tidak seharusnya dijaga

However, there are also social problems that emerge every year at Ramadan yang perlu perhatian dari semua pihak, menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

“Tradisi Ramadan ada yang bagus, unik dan menarik, perlu dijaga tetapi ada juga yang menyebabkan adanya gejolak sosial dan kadang meresahkan dalam masyarakat,” katanya kepada BeritaBenar.

Contohnya, meningkatnya jumlah pengemis, gelandangan, pengamen, peredaran uang palsu, serta semakin banyaknya pencopet selama bulan Ramadan, jelas Khofifah.

Khofiah mengatakan meningkatnya pengemis selama bulan Ramadan bisa ditekan dengan cara kepala desa harus melakukan pendataan terhadap penduduknya yang benar-benar miskin atau hanya memanfaatkan momentum bulan Ramadan sebagai pengemis musiman.

“Karena jika tidak didata, dana bantuan sosial saya rasa tidak akan membantu,” katanya sambil menjelaskan bahwa masalah pengemis musiman adalah masalah mentalitas, bukan hanya masalah ekonomi.

Crime also increases at Ramadan, menurut Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Rikwanto.

“Tindak kriminal seperti pencurian, pencopetan, dan perampokan cenderung meningkat dalam waktu-waktu ini,” katanya sambil menambahkan bahwa laporan tentang kejahatan yang diperoleh oleh Mabes Polri meningkat beberapa minggu sebelum Ramadan sampai sekarang.

“Kami akan meningkatakan penjagaan, tradisi buruk Ramadan yang tidak Islami harus diberantas,” katanya .

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.