Unjuk Rasa Pro Kontra Warnai Sidang Budi Pego

Aktivis penolak tambang itu didakwa menyebarkan paham komunis ketika polisi mengatakan menemukan spanduk palu arit dalam salah satu demonstrasinya.
Yovinus Guntur
2017.09.20
Banyuwangi
170920-ID_Budi[ego_1000.jpg Terdakwa Budi Pego (baju putih) berdiskusi dengan kuasa hukumnya saat berlangsung sidang di Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jawa Timur, 20 September 2017.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Sidang perdana Heri Budiawan alias Budi Pego (37), aktivis penolak tambang emas di Banyuwang atas tuduhan menyebarkan paham komunisme menyedot perhatian baik kelompok yang menolak tuduhan terhadap aktivis itu dan massa pendukung proses hukum terhadapnya.

Satu satuan setingkat kompi (SSK) aparat kepolisian dari Polres Banyuwangi, Jawa Timur, pada Rabu, 20 September 2017, dikerahkan ke Pengadilan Negeri (PN) setempat, yang bagian depan telah dipasang pembatas kawat berduri.

Kawat itu sengaja dibentang, untuk memisahkan massa yang melakukan unjuk rasa pada sidang perdana tersebut.

Untuk menghindari bentrok fisik antar dua kubu massa, Polres Banyuwangi juga menyiagakan satu kendaraan perintis water canon yang menutup dua jalur di depan gedung PN.

Polisi yang sebagian bersenjata lengkap juga menutup ruas jalan Adi Sucipto dan disebar mulai dari ruang sidang serta di setiap titik sekitar PN Banyuwangi yang dianggap rawan.

Petugas juga membatasi orang masuk ke ruangan sidang. Tas dan barang bawaan mereka turut diperiksa. Sisa massa diminta menunggu terpisah di blokade kawat berduri. Mereka berorasi silih berganti.

Budi Pego yang dikenal teguh menolak tambang emas dihadirkan ke persidangan karena dinilai melanggar pasal 107 huruf a UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Pasal itu berbunyi, “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Para pendukung Budi Pego terdiri dari warga dan aktivis lingkungan yang jumlahnya sekitar 100 orang ditempatkan di sisi utara gedung PN. Mereka membawa beberapa poster bertuliskan penolakan penambangan emas.

Sedangkan kelompok anti-komunis yang merupakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi, Forum Peduli Umat Islam (FPUI), Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Suara Blambangan berada di sebelah selatan berjumlah 40-an orang.

“Kehadiran kami sebagai bentuk dukungan pada pengadilan. Kami mendesak penegakan hukum kasus demo yang mengibarkan logo organisasi terlarang,” ujar Ketua FPUI setempat, Kiai Hanan kepada BeritaBenar.

Saat berlangsung aksi protes untuk menolak penambangan emas Tumpang Pitu di Banyuwangi, 4 April 2017 lalu, polisi menemukan spanduk berlogo palu arit.

Tapi, pengunjuk rasa ketika itu telah membantah spanduk itu bukan mereka yang membuatnya. Apalagi mereka mengaku tak pernah melihat fisik spanduk itu, kecuali hanya foto yang ditunjuk polisi.

Ketua PP Banyuwangi, Eko Suryono menyatakan, Budi Pego bukan aktivis lingkungan karena dia dulu pernah jadi mitra PT Indo Multi Niaga (IMN), perusahaan tambang emas yang beroperasi di Banyuwangi.

"Kami hanya mengingatkan masyarakat, jangan sampai salah memberikan dukungan," katanya kepada wartawan.

Tapi seorang pengunjuk rasa dari pihak pendukung Budi Pego, Heri, membantah tuduhan ormas yang mengaku anti-PKI bahwa keluarga Budi Pego dan masyarakat yang kontra tambang adalah orang-orang penganut faham komunis.

"Kami bergerak hanya semata-mata untuk menolak keberadaan tambang emas Tumpang Pitu. Kami tak terima kalau dikatakan penganut PKI. Kami warga negara Indonesia yang Pancasilais. Kami bukan PKI," ujarnya.

Jalannya sidang

Dalam sidang pertama itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Budi Cahyono, menyebutkan dakwaan atas Budi Pego, telah sesuai prosedur dan tak ada kaitan dengan aktivitas menolak tambang.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan Budi Pego adalah murni kejahatan yang bisa mengancam dan mengganggu keamanan negara.

“Membuat spanduk, memasang dan mengibarkan logo PKI (palu arit) sekitar 13:30 WIB, pada 4 April 2017 di Kecamatan Pesanggaran,” kata jaksa dalam dakwaan.

Kuasa hukum terdakwa, Abdul Wahid Habibullah, langsung membacakan eksepsi atas dakwaan JPU, dengan menyatakan kliennya hanya bersikap pasif dan tidak melakukan ajakan.

Menurutnya, Budi Pego belum bisa disebut menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme atau Leninisme, seperti tertera dalam pasal 107 huruf a UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

“Kami keberatan terhadap dakwaan JPU, sehingga apabila dakwaan tersebut tidak disampaikan secara jelas, cermat dan lengkap maka sesuai ketentuan hukum, dakwaan tersebut batal demi hukum,” ujar Wahid.

Tim konsorsium advokat Walhi, LBH Surabaya, KontraS, dan For Banyuwangi itu juga menyebut sesuai Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Budi Pego memiliki hak imunitas karena dia dinilai sebagai pelestari lingkungan yang sedang menolak keberadaan tambang.

Kuasa hukum juga menyampaikan permohonan penangguhan penahanan, dengan alasan Budi Pego adalah tulang punggung keluarga. Tapi, tak ada tanggapan dari hakim.

Setelah penyampaian eksepsi dan jawaban jaksa, Ketua Majelis Hakim, Putu Endru Sonata, mengatakan persidangan akan kembali dilanjutkan pada 27 September 2017, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.