Budi Pego, Melawan Tambang Hingga ke Jakarta

Aktivis itu sempat dipenjara atas dakwaan yang tak dipahaminya; menyebarkan komunisme saat memprotes operasi tambang emas di kampungnya.
Arie Firdaus
2018.07.20
Jakarta
180720_ID_TumpangPitu.jpg Budi Pego (kanan) bersama aktivis lingkungan lain dalam acara solidaritas tolak tambang Tumpang Pitu di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 20 Juli 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Hari Budiawan atau lebih akrab disapa Budi Pego seperti berjarak dengan keriaan yang terjadi di aula gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Jumat malam, 20 Juli 2018.

Saat semua orang di ruangan menyanyikan baris perlawanan, “Mari tolak tambang emas Tumpang Pitu... Tolak... Tolak...,” sembari mengepalkan tangan kiri ke udara, Budi hanya melepas pandang ke arah kursi yang disusun berjejer di hadapannya.

Butuh beberapa saat bagi pria 37 tahun itu untuk kemudian larut dalam nada yang dinyanyikan. Mencair dalam hiruk-pikuk acara solidaritas Tumpang Pitu yang digelar YLBHI.

"Jujur, dampak psikologis kejadian kemarin (dipenjara) masih ada," kata Budi kepada BeritaBenar.

Pengadilan Negeri Banyuwangi di Jawa Timur memang sempat menjatuhkan hukuman sepuluh bulan penjara terhadap aktivis lingkungan tersebut, pada Januari lalu.

Dia dianggap terbukti menyebarluaskan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme - paham yang dilarang di Indonesia - lewat salah satu spanduk protes terhadap tambang emas yang beroperasi di kampung halamannya pada April 2017.

Dakwaan yang sampai saat ini tidak pernah dipahami Budi karena dia dan rekan-rekan sesama aktivis yang menolak tambang karena merusak lingkungan tak pernah membuat spanduk semacam itu.

"Polisi dan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) tahu semua spanduk kami, karena mereka mendampingi kami saat membuat dan menempelkan spanduk," tambah Budi.

"Bahkan memotret setiap spanduk yang kami tulis. Sangat aneh."

Keganjilan semacam ini, menurut Budi, hanya satu dari beberapa keanehan yang pernah didapatnya sepanjang perlawanan terhadap perusahaan tambang, PT Bumi Suksesindo (BSI).

Di lain waktu, setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia meminta polisi menunjukkan spanduk yang berisi ujaran komunisme, marxisme, dan leninisme itu kepada dirinya. Namun alih-alih diperlihatkan, ia ditolak dengan alasan yang disebutnya sangat klise.

"Mereka bilang spanduk itu menjadi alat bukti yang sedang diburu. Saya dijerat hanya dengan foto yang menunjukkan spanduk yang tak pernah saya buat," tambah Budi.

Mencari keadilan

Berpijak pada rangkaian keanehan itu, terang Budi, yang lantas membuatnya bersama tujuh aktivis lingkungan lain, berangkat ke Jakarta untuk mengadu masalah tambang kepada pemerintah pusat.

"Karena pemerintah daerah selama ini diam saja. Mereka seperti mendukung pertambangan," lanjutnya.

Menurut Hari Kurniawan, kuasa hukum yang mendampingi Budi dan kawan-kawannya, sejak datang ke Jakarta pada 14 Juli, tim telah bersafari ke sejumlah kementerian dan lembaga, untuk mengadukan segala masalah yang mereka dapat di Banyuwangi.

"Kami sudah bertemu satu direktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mendesak mereka membentuk tim investigasi masalah tambang ini," kata Hari.

"Kami juga sudah ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), meminta mereka menginvestigasi pelanggaran hak asasi di areal sekitar tambang karena sangat banyak pelanggaran HAM."

Hari mencatat, setidaknya ada tiga aktivis lingkungan penolak tambang lain yang kini juga telah berstatus tersangka menyebarluaskan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Namun proses mereka masih terkatung-katung di kepolisian.

Adapula satu advokat pendamping warga yang juga telah divonis enam bulan penjara oleh pengadilan atas dakwaan pencemaran nama baik.

"Padahal ia berbicara di koran, mengomentari soal sengketa warga dan perusahaan," tutur Hari.

Berharap baik

Hari berharap kedatangan para aktivis ke Jakarta dapat membuahkan hal baik bagi Budi dan warga sekitar tambang.

"Karena mereka sebenarnya tidak membutuhkan tambang. Mereka sudah sejahtera lewat pertanian dan berdagang," ujar Hari.

Hal sama disampaikan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Affandi, dengan menyatakan perbukitan yang dibuka menjadi lokasi tambang sejatinya memiliki dampak lingkungan lebih besar bagi masyarakat sekitar.

"Itu kawasan hutan lindung. Tempat mereka mencari obat-obatan selama ini," ujarnya.

"Bukit itu juga menjadi benteng perkampungan jika ada tsunami. Sekarang mereka rawan bencana."

Tidak ada komentar dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terkait permintaan pembentukan tim investigasi tambang Banyuwangi. Telepon dan pesan singkat yang dikirim BeritaBenar tidak beroleh balasan.

Sebelumnya, pejabat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyatakan bahwa aktivitas pertambangan emas terbuka di Tumpang Pitu ramah lingkungan dan tidak mengancam warga setempat.

Namun, Ari, seorang perwakilan warga yang ikut ke Jakarta menyebutkan keberadaan tambang telah mematikan ekonomi warga, terutama sektor pertanian dan perkebunan.

“Akibat tambang, bila musim panas, kawasan Tumpang Pitu dilanda kekeringan, tapi jika musim hujan tiba, banjir lumpur sering menerjang,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.