Penyanderaan Berulang, Indonesia dan Filipina Dianggap Gagal

Tia Asmara
2016.07.14
Jakarta
160714_ID_Hostage_1000.jpg Komandan Pangkalan Laut Balikpapan, Letkol Laut Luhut Siagian (tengah), berbicara kepada anak buah kapal tugboat Charles 001 saat tiba di Pelabuhan Semayang, Kalimantan Timur, 25 Juni 2016.
Gunawan/BeritaBenar

Berulangnya penyanderaan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf dinilai organisasi buruh sebagai kegagalan Pemerintah Indonesia dan Filipina dalam melindungi pekerja Indonesia dan keamanan laut antara kedua negara.

“Pemerintah Filipina dan Indonesia lalai dan tidak belajar dari kesalahan sebelumnya. Seharusnya mereka cepat tanggap,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, ketika melakukan aksi demonstrasi di depan Kedutaan Besar Filipina di Jakarta, Kamis, 14 Juli 2016.

Aksi damai itu digelar sebagai bentuk solidaritas ratusan buruh yang tergabung dalam KSPI dan Serikat Pekerja Nasional Rumah Rakyat Indonesia (RRI).

Sambil membentang spanduk dan berorasi, mereka mendesak pemerintah Filipina dan Indonesia segera membebaskan 10 ABK yang kini masih disandera militan Abu Sayyaf di kawasan Filipina Selatan.

“KSPI mengecam kelalaian dan tidak seriusnya Filipina terhadap penyanderaan yang terus terjadi berulang di perairan Filipina,” tambah Sekjen KSPI, Muhammad Husni.

Dalam empat bulan terakhir, total 24 warga Indonesia disandera kelompok yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu, dalam empat kali penyanderaan, seperti dikonfirmasi pemerintah Indonesia. Sejumlah 14 ABK diantaranya yang disandera pada Maret dan April 2016 sudah dibebaskan bulan Mei.

Baru-baru ini penyanderaan kembali terjadi. Belum juga tujuh ABK tugboat Charles 001 yang disandera 23 Juni lalu dibebaskan, tiga orang ABK kembali diculik pada 9 Juli 2016 setelah kapal ikan mereka disergap di perairan Lahad Datu, Malaysia, oleh lima pria bersenjata. Mereka kemudian dibawa ke Tawi-Tawi, Filipina Selatan.

Husni mendesak pemerintah Indonesia untuk tak terlalu lama dalam negosiasi dan diplomasi menyangkut keselamatan sandera.

“Kami khawatir akan terjadi penyanderaan berikutnya jika tindakan tidak segera diambil,” tegasnya.

Husni mengancam akan terus berdemonstrasi dengan jumlah yang lebih besar jika pemerintah tidak segera membebaskan para sandera tersebut.

Keamanan laut

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu kepada wartawan di Istana Negara, Kamis, mengatakan pihaknya akan memastikan keamanan laut termasuk membahas teknis operasi dengan Menteri Pertahanan Filipina dan Malaysia dalam pertemuan di Kuala Lumpur, Kamis pekan depan.

Pemerintah Indonesia sebelumnya mengatakan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan pada 12 Juli.

“Kita akan berkoordinasi agar betul-betul aman. Kita juga akan membagi rute yang bisa dilalui atau misal masuk pengejaran di wilayah Filipina kita boleh masuk asalkan lapor dulu, kasih tahu apa yang dibawa, berapa orang kita bisa masuk,” ujarnya.

Untuk operasi pengejaran di darat, tambah Ryamizard, akan direncanakan seperti di bagian perbatasan mana TNI harus siap.

“Semua teknis butuh latihan dulu apalagi menyangkut patroli angkatan perang. Kalau tidak, bagaimana prosedur dilakukan?” jelasnya.

Menurut dia, saat ini sekitar 10.000 pasukan keamanan telah dikerahkan oleh Filipina dalam operasi militernya untuk menumpas kelompok yang sudah berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“Kita diminta untuk memantau dulu, 10 ribu kan bukan jumlah sedikit. Kalau ditambah lagi TNI bisa kacau,” kata Ryamizard.

Menteri Pertahanan Malaysia Dato’ Seri Hishammuddin Tun Hussein dalam sebuah pernyataan pers yang diumumkan Kamis di Kuala Lumpur menyatakan pertemuan tripartit pada 21 Juli nanti adalah yang ketiga dilakukan para menteri pertahanan ketiga negara.

Dalam pertemuan sebelumnya di Manila, kata dia, ditegaskan kembali komitmen yang dibuat Menteri Luar Negeri dan Kepala Angkatan Pertahanan dalam mengatasi tantangan maritim dan keamanan regional yang mempengaruhi ketiga negara.

“Kami juga sepakat bahwa praktik terbaik bersama oleh Malaysia dan Indonesia pada pengalaman kami dalam Patroli Selat Malaka (MSP) dapat diadopsi sebagai model untuk kerjasama trilateral untuk mengatasi masalah keamanan maritim di Laut Sulu,” kata Hishammuddin.

Hubungi perusahaan

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan pihaknya telah memberangkatkan perwakilan keluarga para sandera ke Malaysia guna mendapatkan informasi lebih lengkap mengenai perkembangan upaya penyelamatan.

“Penyandera pasti menghubungi pertama kali ke perusahaan. Koordinasi dengan pihak Filipina terus dilakukan,” katanya kepada wartawan.

Terkait dengan pemberian uang tebusan, Arrmanatha mengatakan pemerintah tidak akan memberikan sedikitpun pembayaran terhadap kelompok Abu Sayyaf.

“Saya belum ada info kalau pihak perusahaan menyanggupi membayar. Tapi semua opsi akan dilihat, yang utama adalah keselamatan para sandera. Itu prioritas kita,” katanya.

Saat ini, ujarnya, sedang diupayakan pendekatan persuasif di kawasan Mindanao.

“Kami melakukan kontak dengan banyak tokoh di sana untuk cari jalan keluar, tapi saat ini semua sulit karena Filipina sedang operasi militer,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.