Cafrinho, Keroncong Lugu dari Kampung Tugu

Arie Firdaus
2015.12.04
Jakarta
keroncong-620 Kelompok Keroncong Tugu saat tampil di Summarecon, Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Kamis 26 November 2015.
BeritaBenar

Di bawah langit mendung yang menaungi Summarecon Springs Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, pria itu berjingkat maju mundur. Sembari memainkan gitar yang tergantung di dada, ia tatap rekan-rekannya yang duduk berjajar di belakang.

Sejurus kemudian, seperti dikomando mereka berteriak, "Hei, Nurlela". Seketika musik berhenti. Keriuhan mencapai puncaknya. Penampilan pun berakhir sudah.

Kamis sore 26 November 2015, tembang yang dipopulerkan musikus ternama Bing Slamet menjadi lagu pamungkas. Namun tak ada lagi musik beraroma melayu yang ditingkahi suara bariton khas Bing Slamet. Petang itu, lagu bersalin rupa menjadi keroncong.

"Permintaan yang mengundang," kata pria tadi, Guido Quiko (46) menjelaskan perubahan aransemen.

Bersama kelompok keroncongnya, Cafrinho, Guido memainkan 15 lagu, sore itu. Mereka diundang untuk memeriahkan ulang tahun sebuah perusahaan properti ternama.

Baju koko putih dipadu celana batik coklat muda membalut tubuh Guido yang berkulit gelap. Ditambah syal dan topi pet coklat tua sebagai pemanis. Rekan-rekannya yang lain berdandan serupa.

"Kami berpakaian seperti ini (khas Betawi) setelah keroncong ditetapkan sebagai warisan budaya Jakarta pada akhir 1970-an," tuturnya kepada BeritaBenar.

Dimulai sejak 1925

Cafrinho berasal dari bahasa Portugis yang berarti sekelompok pemusik mengiringi tarian. Nama itu dipakai sejak 1991.

Sebelumnya, kelompok ini bernama Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe-Anno 1661. Nama itu dipilih oleh Jozef Quiko pada 1925. Angka 1661 merujuk pada tahun kedatangan orang-orang keturunan Portugis dari Malaka, Malaysia, ke Kampung Tugu di Jakarta Utara. Konon, nama Tugu dicomot dari penggalan Por-tugu-ese.

"Begitu menurut sejarawan Belanda, De Graff,” kata Sekretaris Ikatan Besar Keluarga Tugu, Johan Sopaheluwakan, menjabarkan sejarah Kampung Tugu.

Namun pendapat itu dibantah sejarawan Jakarta, JJ. Rizal. Menurut Rizal, penamaan Kampung Tugu bermula dari ditemukan prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara.

"Bukan karena itu (diambil dari nama Portuguese)," kata Rizal.

Jozef adalah generasi pertama komunitas keturunan Portugis yang secara resmi mendirikan kelompok keroncong di Kampung Tugu.

Sebelumnya, menurut Guido, warga keturunan Portugis hanya bermain musik untuk melepas penat usai bekerja. Kebiasaan itu dimulai sejak 1700-an. Mereka pun tidak menyebut musik yang mereka mainkan sebagai keroncong.

"Justru, orang di luar Tugu yang menamakannya keroncong," jelas Guido.  "Katanya, merujuk pada suara machina yang berbunyi "crong-crong"."

Machina adalah gitar kecil seukuran ukulele. Ketika itu, warga keturunan Portugis membuat sendiri gitar kecil ini. Alat musik itu dimainkan bersama frunga -berbentuk seperti ukulele tapi berukuran sedikit lebih besar, dan gitar.

Saat Jozef memulai orkes, ia menambahkan beberapa alat musik lain seperti biola dan rebana. Alat-alat itu tetap dipakai hingga sekarang.
Sepuluh tahun mengurus keroncong, Jozef lantas menyerahkan orkes pada adiknya, Jacobus Quiko. Musik keroncong tak banyak berkembang di bawah kepemimpinan sang adik. Guido mengatakan, stagnansi ini dipicu kondisi politik pada masa itu.

"Belanda, kan, datang lagi (ke Indonesia)," katanya.

Pada 1978, Jacobus menyerahkan kepemimpinan orkes kepada Samuel Quiko. Keroncong Tugu pun kian dikenal. Menurut Guido, mereka mulai rutin tampil di beragam acara, hingga sekarang.

Sehari setelah penampilan di Serpong, BeritaBenar berkunjung ke markas kelompok Cafrinho di Kampung Tugu dan Guido membuktikan omongannya. Markas yang sekaligus menjadi rumah bagi Guido dan kakaknya, Eugenea Quiko, itu merekam perjalanan kelompok keroncong Cafrinho dengan baik.

Pria yang kini mengganti namanya menjadi Daud Muhammad Yahya – setelah masuk Islam – itu memperlihatkan beberapa foto komunitas keroncong Cafrinho di masa lalu.

Pada salah satu foto, terlihat seorang perempuan tengah bernyanyi. Di sebelahnya, seorang pria berkulit putih memainkan machina.

"Itu tahun 1970-an. Saya lupa kapan persisnya," tutur Guido.

Dalam foto lain, tiga lelaki berpose dengan biola di pangkuan. Dua pria berdiri di belakang ketiga orang itu. Satu di antaranya mengenakan kemeja putih yang dilapisi jas hitam. Guido memperkenalkannya sebagai Samuel Quiko. Sebelum 1970, lanjut Guido, begitulah kelompok keroncong Tugu Cafrinho berpakaian jika manggung.

Guido juga menunjukkan foto dirinya tengah duduk berdampingan dengan mantan Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao. Menurut seorang rekan Guido yang ikut nimbrung saat BeritaBenar berkunjung, Guido cukup dekat dengan Xanana.

Atas dasar kedekatan itulah, Cafrinho tampil di Timor Leste saat pertemuan negara-negara berbahasa Portugis yang digelar di wilayah bekas provinsi Indonesia itu pada 2014.

Ketika disinggung perihal kedekatan itu, Guido tak membantah.

"Saya pernah minta dirinya tak mundur dari jabatan Perdana Menteri," ujarnya, lalu tertawa.


Guido Quiko (kanan) dan kelompok Keroncong Tugu ketika tampil di Summaeron Serpong, Kamis, 26 November 2015. (BeritaBenar)

Menjaga warna Keroncong Tugu

Guido mulai memimpin kelompok Keroncong Tugu Cafrinho sejak 2006. Lantas, apa rencana besarnya untuk kelompoknya?

"Saya akan menjaga warna asli musik keroncong orang-orang keturunan Portugis," ujar Guido.

Warna asli yang dijabarkan Guido sebagai kesederhanaan dalam bermusik.

"Karena karakter Keroncong Tugu itu adalah lugu. Lugu dari selugu-lugunya musik keroncong. Itu juga yang saya tekankan kepada anak-anak yang belajar keroncong di sini. Keroncong Tugu berbeda dengan keroncong Kemayoran atau Keroncong Jawa," jelasnya.

"Keroncong Tugu itu, kan, hanya tiga jurus," tambahnya.

Tiga jurus yang dimaksud Guido adalah tiga kunci gitar G, C, dan D, yang selalu dimainkan entah apapun lagunya.

Ketika ditanya apakah dia tak khawatir orang-orang akan bosan di tengah banyaknya muncul berbagai jenis musik, sejenak Guido tersenyum.

Lalu dia berujar, "Saya enggak cari duit, kok. Saya hanya melestarikan budaya leluhur."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.