China: Kami Berhak berlayar di Wilayah Perairan Natuna

Adu argumen antara Jakarta dan Beijing muncul usai kapal-kapal nelayan China disebut memasuki perairan Indonesia.
Arie Firdaus
2020.01.02
Jakarta
200102_ID_Natuna_1000.JPG Pada foto tertanggal 14 Juli 2017 ini, Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menunjukkan lokasi Laut Natuna Utara di map Indonesia dalam pertemuan dengan para wartawan di Jakarta.
Reuters

China berhak berlayar di perairan kepulauan Natuna, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China menegaskan hal tersebut Kamis (2/1), di tengah protes Indonesia atas masuknya puluhan kapal penangkap ikan dari dari negara Tirai Bambu itu di Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia bulan lalu.

Pernyataan terakhir dari juru bicara Kemlu China Geng Shuang itu bertentangan dengan apa yang pernah dinyatakan pemerintahnya sendiri dua hari sebelumnya yang mengatakan bahwa China bersedia bekerja sama dengan Indonesia untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

“Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, tidak ada yang akan mengubah kenyataan obyektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan terkait itu,” kata Geng kepada para wartawan dalam jumpa pers, Kamis.

“Apa yang disebut putusan arbitrase Laut China Selatan adalah ilegal, batal, dan tidak berlaku dan kami telah lama menegaskan bahwa China tidak menerima atau mengakuinya. China dengan tegas menentang negara, organisasi atau individu manapun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah itu untuk melukai kepentingan China."

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam pengaduannya terhadap China, dengan mengatakan tidak ada dasar hukum bagi Beijing untuk mengklaim hak historis di wilayah perairan itu. Beijing menolak keputusan itu dan melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah yang dikontrolnya di perairan tersebut.

Awal minggu ini, pemerintah Indonesia telah memanggil duta besar China untuk Indonesia Xiao Qian dan mengajukan protes ke Beijing setelah mengonfirmasikan bahwa 63 kapal ikan China dan dua kapal penjaga pantai dari negara tersebut memasuki perairan teritorial di kepulauan Natuna sejak 19 Desember lalu.

Komentar dari Geng tersebut adalah tanggapan terhadap pernyataan Kemlu Indonesia pada hari Rabu yang menyatakan bahwa klaim China itu tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.

"Klaim historis Cina atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak ada dasar hukum dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982," demikian pernyataan Kemlu Indonesia, merujuk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

“Kami mendesak China untuk menjelaskan dasar hukum dan memberikan definisi yang jelas untuk klaimnya terhadap ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982,” katanya.

Garis Sembilan-Dash

Cina, melalui apa yang disebut Garis Sembilan-Dash - demarkasi yang terletak samar-samar di peta - mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai miliknya, sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah itu.

Perseteruan antara China dan Indonesia sempat terjadi pada tahun 2016 setelah Beijing menuduh Angkatan Laut Indonesia menembaki kapal nelayan China dan melukai seorang anggota kru saat terjadi konflik antara kedua pihak di perairan Natuna, sebuah wilayah yang diklaim sebagai tempat penangkapan ikan tradisional China. Pejabat Indonesia mengatakan tembakan peringatan diberikan kepada beberapa kapal berbendera China yang diduga melanggar batas wilayah, tetapi tidak ada yang terluka.

Pada tahun 2017, Indonesia menegaskan klaimnya terhadap wilayah Natuna dengan mengganti nama perairan di sekitar pulau-pulau tersebut sebagai Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terpadu dalam rantai tersebut.

Pengawalan nelayan

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin mengatakan pemerintah harus mengambil sikap yang lebih kuat terhadap kapal ikan asing yang memasuki perairan secara ilegal.

"Jangan cuma diusir, tapi harus ditangkap agar ada efek jera. Sekaligus menunjukkan bahwa kita serius dan konsisten menjaga kedaulatan perairan Indonesia," kata Haripin.

Ditambahkan Haripin, secara hukum internasional posisi Indonesia atas perairan Natuna sudah valid jika merujuk aturan maritim internasional.

"Kita (Indonesia) tidak perlu gentar, termasuk kepada Cina. Posisi hukum kita kuat," ujarnya.

Untuk menangkal perdebatan, ia pun meminta otoritas Indonesia untuk mendampingi kapal nelayan kala menangkap ikan, seperti yang kerap dilakukan China.

"Menurut saya, itu bisa memberikan rasa aman kepada nelayan. Sehingga mereka juga tidak takut untuk melaut," katanya lagi.

Permintaan agar didampingi saat melaut sempat pula disuarakan sejumlah nelayan lokal, kala BeritaBenar mengunjungi Pelabuhan Pring di Ranai, Natuna, awal Desember lalu.

"Kalau bisa, kapal patroli juga mendampingi kami saat melaut, seperti nelayan-nelayan Vietnam yang dikawal kapal patroli mereka saat melaut. Jadi kami merasa aman," kata salah seorang nelayan bernama Wandarman.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.