Anggota DPR: China Protes Indonesia Soal Pengeboran di Laut Natuna dan Latihan Militer dengan AS
2021.12.01
Jakarta
China meminta Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi di Laut Natuna yang mereka klaim berada di wilayah perairannya dan menyatakan keberatan atas latihan militer TNI bersama Amerika Serikat dalam surat diplomatik beberapa bulan lalu, kata seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (1/12).
Keberatan China itu disampaikan dalam bentuk komunike diplomatik yang dikirimkan dalam dua kesempatan berbeda sekitar Agustus dan September 2021, kata anggota DPR Komisi I, Muhammad Farhan.
“Surat tersebut menyatakan sikap China terhadap aktivitas pengeboran lepas pantai di perairan Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Sikap mereka adalah bahwa lokasi pengeboran tersebut melanggar prinsip Nine-Dash Line,” kata Farhan kepada BenarNews.
Nine-Dash Line adalah garis demarkasi yang dijadikan dasar oleh China untuk mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.
“Tentu saja Pemerintah RI dan didukung oleh DPR RI Komisi I menolak hal tersebut karena kita berpatokan pada prinsip hukum UNCLOS,” ujarnya, merujuk pada Konvensi PBB mengenai Hukum Laut.
Farhan mengaku tidak melihat langsung surat yang dikirimkan China, namun isi komunikasi tersebut dibahas resmi di DPR berdasarkan informasi dan briefing dari tenaga ahli yang memiliki akses informasi, dilengkapi laporan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla).
“Tidak ada ancaman dalam suratnya, namun dalam pandangan pribadi saya sikap mereka ini harus kita sikapi sebagai sebuah ancaman, karena untuk pertama kalinya Tiongkok mengirimkan komunike diplomatik atas klaim wilayah di Laut China Selatan atau Natuna Utara,” paparnya.
Indonesia tidak merasa sebagai negara yang memiliki sengketa di Laut China Selatan, namun memiliki klaim hak maritim yang bersinggungan dengan China di perairan dekat Kepulauan Natuna.
Pengadilan arbitrase Den Haag 2016 memutuskan tidak mengakui klaim sembilan garis putus China, namun Beijing menolak putusan tersebut.
Pemerintah Indonesia menganggap daerah tersebut sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan UNCLOS. Bahkan Indonesia mengubah nama wilayah perairan di ujung selatan Laut China Selatan sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.
Namun China menolak keras penamaan tersebut dan bersikukuh bahwa wilayah tersebut termasuk zona laut tradisionalnya.
Antara Agustus dan Oktober tahun ini, kapal survei China Haiyang Dizhi 10 beroperasi di Laut Natuna Utara dekat ladang minyak dan gas Blok Tuna.
Kapal China itu sempat tidak berada di wilayah tersebut saat melakukan pemasokan perbekalan pada akhir September, namun kemudian terlihat kembali ke lokasi pada awal Oktober.
Namun pemerintah Indonesia tidak memperlihatkan kekhawatiran terhadap kehadiran kapal China itu, bahkan setelah para ahli menunjukkan bahwa pola seperti grid yang diciptakannya adalah tipikal aktivitas survei dasar laut maritim.
Pejabat Angkatan Laut (AL) dan Bakamla bersikeras bahwa kapal China itu tidak melakukan pelanggaran dan bahwa semua kapal asing bisa melewati Laut Natuna untuk tujuan damai.
Namun demikian, AL dan Bakamla mengerahkan kapal perang dan pesawat patroli udara untuk memonitor keberadaan kapal asing, termasuk Haiyang Dizhi.
Farhan menjelaskan, surat keberatan China ditujukan untuk pengeboran minyak di Blok Tuna oleh operator Premier Oil milik Rusia yang dimulai sejak Juni sampai September tahun ini.
Lapangan di Blok Tuna tersebut memiliki peran strategis secara geopolitik. Letaknya berbatasan dengan Vietnam dan dekat dengan Laut Cina Selatan yang kerap menjadi wilayah sengketa berbagai negara.
Keberatan atas Garuda Shield
Sementara dalam surat lainnya, kata Farhan, China menyatakan keberatan atas Garuda Shield – pelatihan militer TNI-Angkatan Darat Amerika Serikat yang dilakukan Agustus lalu yang dilaksanakan di tiga daerah - Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu di Sumatra Selatan, Amborawang Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, dan Makalisung Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara.
"Pemerintah China mengungkapkan keprihatinan mereka tentang stabilitas keamanan di daerah itu," kata Farhan.
Walaupun telah dilakukan rutin sejak 2009, baru kali ini China melayangkan protes pelatihan militer Indonesia –AS tersebut yang pada tahun ini merupakan training terbesar dengan melibatkan sekitar 4.500 prajurit dari kedua negara.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, enggan berkomentar terkait informasi yang diungkap Farhan.
“Komunikasi diplomatik, termasuk melalui nota diplomatik, bersifat tertutup. Saya tidak bisa mengonfirmasinya,” kata dia kepada BenarNews.
Sampai berita ini diturunkan, Kedutaan Besar China belum menjawab pertanyaan yang dikirimkan lewat email.
Tidak mendasar
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan protes yang dilayangkan China tersebut sangat tidak mendasar karena tidak sesuai dengan hukum internasional.
“Kita berhak kok, itu masih wilayah ZEE Indonesia. China itu sedang mempersiapkan diri untuk menggaungkan peaceful rise tapi juga di sisi lain bikin kasus di mana-mana. Indonesia harus mulai tegas menghadapi China,” kata dia kepada BenarNews.
Menurut dia, sikap China yang terus-menerus membingungkan bisa membuat Indonesia terpaksa menentukan sikap, salah satunya dengan terus melakukan latihan militer gabungan di sekitar Natuna dan di sepanjang selat strategis Indonesia.
“Latihan dengan Australia, latihan dengan Amerika, dengan Rusia, di Selat Malaka, di Laut Natuna. Indonesia harus konsisten terhadap hukum internasional yang ada,” ujarnya.
“Jika tidak tegas maka China bisa saja membuat aturan baru di luar nine-dash line seperti di jalur 3 mil tidak boleh ada aktivitas maritim apapun dengan alasan menciptakan perdamaian,” kata Rezasyah.
Hal senada disampaikan peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Sukma yang mengatakan China perlu membaca dan pahami lagi ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS.
“Indonesia jalan terus drillingnya karena gak ada dasarnya untuk protes. Itu ZEE kita,” katanya.
Sementara itu, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menilai sikap China menunjukkan sifat agresif negara itu.
“Ini dilema, bagaimana pemerintah menanggulangi hal ini sementara di sisi lain kita butuh bantuan dari mereka (China),” ujar Suzie kepada BenarNews.
“Indonesia terjebak dalam kepentingan real seperti mensejahterakan bangsa sehingga Indonesia terlihat seperti tidak punya pendirian,” tambahnya.