Aktivis lingkungan pertanyakan ambisi “hijau” Indonesia di tengah prioritas ekonomi
2024.11.25
Ketergantungan Indonesia pada industri yang merusak lingkungan, ditambah dengan penundaan rencana iklim, mencerminkan konflik antara ambisi pembangunan ekonomi dan komitmen nyata untuk mengurangi emisi karbon, menurut para kritikus dan pemerhati lingkungan.
Pada perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun ini di Azerbaijan (COP29), Jakarta menyampaikan rencana untuk menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan.
“Visi kami mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca hingga nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat sambil mempertahankan ketahanan ekonomi,” kata Hashim Djojohadikusumo, utusan khusus Indonesia untuk COP29, kepada para delegasi di Baku awal bulan ini.
Hashim, yang juga adalah adik dari Presiden Prabowo Subianto, menyoroti rencana untuk memulihkan hutan yang terdegradasi, memperluas energi terbarukan, dan meningkatkan ketahanan pangan. “Upaya kami membutuhkan tiga faktor pendukung utama: Kerangka kebijakan pertumbuhan ekonomi hijau yang komprehensif yang sedang kami selesaikan, investasi besar sebesar $235 miliar, dan kolaborasi internasional,” kata Hashim, seorang taipan dengan kepentingan bisnis di Indonesia meliputi pertambangan, energi, dan perkayuan.
Namun, kelompok lingkungan dan analis skeptis, mengatakan pendekatan pemerintah itu lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.
Perwakilan pemerintah tidak segera menanggapi permintaan BenarNews untuk memberikan komentar tentang masalah ini.
Indonesia telah berencana untuk menyampaikan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions-NDC) yang telah direvisi – elemen utama Perjanjian Paris yang menguraikan target untuk mengurangi emisi – di COP29. Namun hal ini tidak terjadi, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pegiat lingkungan.
NDC terbaru Indonesia saat ini sedang dirampungkan dan akan diserahkan pada Februari tahun depan, kantor berita Antara mengutip pernyataan penasihat senior pemerintah Hendra Yusran Siry.
Penundaan tersebut, menurut para kritikus, mencerminkan fokus pemerintahan Prabowo untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan yang ambisius sebesar 8%, sebuah tujuan yang terkait dengan perluasan industri dan proyek-proyek yang mencakup pertambangan nikel dan perkebunan untuk pangan.
“Pendekatan Indonesia mencerminkan kepemimpinan yang lemah dan ambisi yang tidak memadai untuk memerangi darurat iklim,” kata Torry Kuswardono, direktur eksekutif LSM Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL). “Penundaan dalam menyerahkan NDC menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah untuk mengatasi krisis iklim,” katanya kepada BenarNews.
Dalam NDC terbarunya, pada tahun 2022, Jakarta berjanji untuk lebih menurunkan emisi gas rumah kaca ke target tanpa syarat sebesar 31,89% dan target bersyarat sebesar 43,2%.
Orientasi bisnis
Menurut Edvin Aldrian, peneliti iklim di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), partisipasi Jakarta dalam perundingan iklim di Azerbaijan justru diwarnai dengan fokus bisnis yang besar.
“Fokus di COP29 jelas berorientasi bisnis karena delegasi [Indonesia] sebagian besar terdiri dari pengusaha,” kata Edvin kepada BenarNews. “Meskipun diskusi bisnis-ke-bisnis berjalan baik, masalah sebenarnya terletak pada manfaat apa yang ditawarkan.”
Edvin mengaitkan keterlambatan dalam merilis NDC yang diperbarui dengan fokus pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan industri yang lebih tinggi.
“Dorongan untuk mencapai tingkat pertumbuhan 8% membutuhkan investasi yang signifikan,” katanya.
“Solusi palsu”
Ketergantungan Indonesia pada proyek, seperti pertambangan nikel dan perkebunan pangan, telah menuai kritik dari para pemerhati lingkungan yang menggambarkannya sebagai “solusi palsu.”
“Proyek-proyek ini melayani elit politik dan perusahaan sambil menggusur masyarakat yang rentan,” kata Fanny Trijambore, kepala kampanye kelompok Wahana Lingkungan HIdup (Walhi), dalam sebuah pernyataan.
Ia menunjuk proyek perkebunan pangan – yang juga dikenal sebagai “food estate” – di wilayah Papua yang telah dikaitkan dengan penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penggusuran masyarakat adat.
Tahun lalu, Indonesia disebut kehilangan lebih dari 1,3 juta hektar hutan, menurut jaringan pemantau hutan independen, Global Forest Watch.
Walhi juga menuduh pemerintah Indonesia memanfaatkan perusahaan-perusahaan dengan catatan lingkungan dan hak asasi manusia yang dipertanyakan sebagai sponsor paviliunnya di COP29. “Alih-alih memperjuangkan solusi yang adil, delegasi tersebut telah membiarkan krisis iklim menjadi peluang bisnis,” kata Fanny.
Di Azerbaijan, Hashim membela program food estate pemerintah.
“Ada kesalahpahaman yang mengatakan bahwa kita merusak hutan kita,” katanya. “Sebaliknya, kita merevitalisasi lahan terdegradasi untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan rakyat kita,” paparnya.
Namun para pegiat lingkungan memiliki bukti lain. Beberapa solusi yang diusulkan pemerintah Indonesia untuk perubahan iklim telah gagal mengatasi masalah sistemik, kata para aktivis.
Misalnya, paket investasi yang mempromosikan penggunaan berbagai bentuk sumber energi seperti nuklir dan hidrogen, terutama menguntungkan perusahaan swasta, kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS).
“Solusi ini menciptakan masalah baru,” kata Bhima kepada BenarNews. Proyek-proyek ini “hanya menunda transisi dari bahan bakar fosil, menghambat kemampuan Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2050.”
Bhima mendesak Indonesia untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara untuk mencegah perusahaan "terus mengeluarkan gas rumah kaca tanpa hukuman."
Indonesia adalah salah satu penghasil karbon terbesar di dunia.
Pada tahun 2022, emisi sektor energi Indonesia melampaui 650 juta ton karbon dioksida, menurut Badan Energi Internasional, sebuah organisasi antarpemerintah.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia juga merupakan salah satu produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, dengan sebagian besar energinya berasal dari bahan bakar fosil. Negara ini saat ini memiliki lebih dari 250 pembangkit listrik tenaga batu bara, dan diperkirakan akan membangun lebih banyak lagi dalam beberapa tahun ke depan.
Seorang profesor ilmu lingkungan memperingatkan pemerintah terhadap greenwashing– atau tindakan yang mempromosikan solusi palsu untuk krisis iklim – dan menekankan perlunya komitmen sejati terhadap keberlanjutan.
"Tidak boleh ada trade-off antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan," Mahawan Karuniasa, akademisi dari Universitas Indonesia, mengatakan kepada BenarNews.
“Kunci transformasi Indonesia terletak pada optimalisasi sumber daya alamnya untuk mencapai emisi nol bersih sekaligus menjaga pertumbuhan ekonominya.”