7,2 Persen Siswa SMA Mendukung ISIS, Angka ini Mencemaskan: Aktivis
2015.03.31
Hasil penelitian survey dari Setara Institute (SI) terhadap 684 siswa SMA di Jakarta dan Bandung menyatakan bahwa 7,2 persen mendukung the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), pejabat dan aktivis memperingatkan jumlah tersebut bisa meningkat dan berdampak buruk.
“Kalau dihitung dengan angka jumlahnya memang hanya 49 siswa. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah dampaknya,” kata Wakil Ketua SI Bonar Tigor Naipospos dalam konferensi pers di Jakarta, tanggal 30 Maret.
Hasil penelitian SI menunjukkan bahwa radikalisme ternyata juga terlihat di sekolah.
“Angka ini tentunya bisa berubah tergantung peran serta guru, orang tua dan masyarakat dalam memberikan pengertian kepada mereka tentang apa, siapa dan mengapa mereka harus menolak ideologi ISIS,” kata Bonar kepada BenarNews setelah konferensi pers.
Penelitian SI dilakukan tanggal 9 sampai 19 Maret, 2015 dengan melibatkan 171 SMA di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.
“Kebanyakan memang di Jakarta, jumlahnya ada 106 SMA. Kami mengambil enam siswa dari setiap sekolah untuk mengisi pertanyaan kami,” terang Bonar.
Jakarta dan Bandung dipilih sebagai daerah penelitian karena keduanya dinilai unik.
“Jakarta kita pilih sebagai barometer kota lainnya di Indonesia, sedangkan Bandung, dipilih karena tingginya kasus intoleransi di sana,” tambahnya.
Penelitian ini juga tidak membedakan antara jenis kelamin, golongan agama, ras atau suku dari setiap responden.
Penelitian SI mengindikasikan dari 106 siswa yang tahu tentang Syiah, hampir separuh mendukung pembatasan kegiatan mereka.
"Jumlah ini tergolong besar. 43,8 persen dari 106 siswa menyatakan setuju bahwa kegiatan kelompok minoritas Ahmadiyah dan aliran Syiah harus dibatasi agar tidak meluas. 27,7 persen menyatakan tidak setuju dan sisanya, 28,5 persen tidak menjawab,” jelas Ismail Hasani, staf peneliti dari SI kepada BenarNews tanggal 30 Maret via telefon.
Intoleransi akar terorisme
Penelitian SI memperingatkan tingginya angka intoleransi dikalangan siswa SMA. Situasi ini mencemaskan karena dampaknya bisa meluas, kata ketua Badan Pengurus SI, Hendardi.
“Mencemaskan karena akar dari terorisme adalah intoleransi,” katanya.
"Karena itu untuk memberantas dan menghilangkan terorisme di Indonesia yang utama adalah memberantas intoleransi," kata Hendardi.
Hendardi juga mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu panik tetapi tegas terhadap upaya memberantas intoleransi.
"Ini juga berarti bahwa pewacanaan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memberantas ISIS juga tidak harus berlebihan," kata Hendardi.
Tanggung jawab masyarakat luas
Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mengatakan bahwa angka ini adalah peringatan keras bagi Indonesia bahwa intoleransi bukan hanya terjadi dikalangan usia dewasa tetapi sudah tumbuh sejak usia dini dan intolernasi bisa timbul di dalam dan diluar sekolah.
“Siswa adalah juga merupakan bagian dari masyarakat luas. Karena itu solusinya adalah membangun kepercayaan antara siswa, guru dan orang tua. Mereka harus bekerjasama untuk mendidik, mengarahkan dan mengawasi siswa di dalam dan diluar sekolah,” katanya.
Bonar mengatakan data yang dihasilkan dari SI juga tidak meliputi sisea yang menjadi radikal di sekolah.
"Ini merupakan studi awal tapi kami menduga bahwa sebagian besar pengaruh ekstrimis berasal dari luar sekolah," kata Bonar.