DKI Jakarta Terapkan Denda Progresif untuk Pelanggar PSBB
2020.08.21
Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menerapkan kebijakan denda progresif bagi setiap warga, pelaku usaha, dan penanggung jawab fasilitas umum yang melanggar protokol kesehatan pencegahan COVID-19 di tengah kasus positif yang terus meningkat di ibu kota pada Jumat (21/8).
Aturan denda tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 yang diteken Gubernur Anies Baswedan pada 19 Agustus 2020. Beberapa aturan yang berpotensi terkena denda jika dilanggar adalah pengenaan masker saat beraktivitas di luar termasuk saat menggunakan kendaraan umum.
Jika dilanggar, maka pelaku bisa dikenakan sanksi kerja sosial selama satu jam atau denda administrasi sebesar Rp250.000.
“Pelanggaran berulang satu kali dikenakan kerja sosial selama 120 menit atau denda administratif paling banyak sebesar Rp500.000,” demikian bunyi peraturan tersebut.
Denda untuk dua kali pelanggaran akan naik menjadi Rp750.000 dan Rp1 juta untuk pelanggaran berulang lebih dari tiga kali.
Denda progresif juga berlaku untuk pelaku usaha, pengelola, penanggung jawab perkantoran, perhotelan atau penginapan berupa sanksi administratif berupa penutupan sementara paling lama 3x24 jam.
Jika pelanggaran berulang satu kali maka akan dikenakan denda administratif sebesar Rp50 juta, dan terus berlaku kelipatannya hingga Rp150 juta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan penerapan sanksi denda buka semata-mata bertujuan menambah kas daerah melainkan memberi efek jera kepada warga yang membandel.
“Pemprov DKI Jakarta akan bekerja sama dengan TNI, Polri, Kejaksaan untuk memastikan pelaksanaan protokol kesehatan dengan baik,” kata Riza, dalam keterangan tertulisnya.
Data Kementerian Kesehatan pada Jumat menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kasus positif COVID-19 tertinggi dengan tambahan 657 kasus baru sehingga totalnya menjadi 32.267. Sementara kematian akibat COVID-19 di DKI bertambah 15 menjadi 1.063, sebut data yang sama.
Sementara itu, Jawa Timur menyusul sebagai provinsi dengan kasus COVID-19 tertinggi kedua dengan total 29.715 kasus terkonfirmasi positif dan 2.128 kematian pada Jumat.
Kasus terkonfirmasi positif COVID-19 secara nasional saat ini berjumlah 149.408 atau bertambah 2.197 dalam 24 jam. Tambahan 82 kematian membuat korban akibat COVID-19 saat ini mencapai 6.500 orang.
Survei: Pemerintah gagal kendalikan pandemi
Sementara itu, mayoritas golongan elite menilai pemerintah tidak berhasil mengendalikan penularan dari virus SARS-CoV-2 di dalam negeri, sebut survei terbaru Lembaga Indikator Politik Indonesia.
Sebanyak 64 persen responden menyatakan penyebaran COVID-19 tidak terkendali, dengan tingkat kepercayaan terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam menangani pandemi beroleh 42,8 persen suara dari responden.
Responden terdiri dari 304 pemuka opini yang di antaranya terdiri dari akademisi yang menjadi rujukan media, pengusaha, pengamat kesehatan, tokoh organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, LSM dan organisasi profesi.
“Mereka adalah tokoh yang memiliki informasi lebih luas dibandingkat masyarakat umum tentang penanggulangan COVID-19 di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, dalam keterangan tertulisnya.
Sebanyak 32,9 persen responden turut menilai kinerja pemerintah pusat dalam menangani COVID-19 baik, sementara 28 persen responden menyatakan biasa saja.
Sementara, penilaian terhadap pemerintah daerah justru lebih tinggi dengan 42,8 persen responden menyatakan penanganan yang dilakukan baik.
“Survei ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi model penanganan COVID-19 yang telah dicanangkan serta mengevaluasi kepemimpinan para pengambil keputusan,” lanjut Burhanuddin.
Keakuratan rapid test
Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengkritik kebijakan sejumlah rumah sakit yang masih mengandalkan rapid test dalam menguji deteksi virus corona.
Dengan masih masifnya penggunaan rapid test sebagai alat ukur seseorang dinyatakan positif atau tidak, Pandu menilai hal ini bisa membuat data yang dilaporkan harian oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menjadi diragukan kevalidannya.
“Rapid test itu salah, karena di dalam masalah pandemi itu, kita harus mendeteksi orang yang membawa virus. Kalau rapid test itu antibodinya seminggu kemudian,” kata Pandu dalam diskusi virtual, Jumat.
Sebaliknya, Pandu menyarankan pemerintah untuk menggencarkan tes berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk pendeteksian dini kasus COVID-19.
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan sampai saat ini pengobatan untuk pasien COVID-19 masih mengandalkan obat-obatan untuk penyakit lain.
“Sebagian menunjukkan efek positif, meskipun juga harus digunakan secara hati-hati sampai dapat direkomendasikan secara aman dan efektif,” kata Wiku dalam telekonferensi harian.
Wiku menambahkan, saat ini dokter-dokter yang tergabung dalam lima asosiasi kedokteran Indonesia telah merekomendasikan beberapa obat untuk menurunkan gejala COVID-19, di antaranya remdesivir, favipiravir, lovinavirritonavir, oseltamivir, dan obat lain untuk menerunkan gejala demam seperti Paracetamol.
“Untuk gejala sedang ada beberapa obat yang direkomendasikan yaitu klorokuin, azitromisin dan beberapa antikoagulan apabila terjadi potensi penggumpalan darah,” kata Wiku.
Pada Rabu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan bahwa obat anti-COVID-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga bersama Badan Intelejen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum valid sehingga belum bisa diedarkan dalam waktu dekat.
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, menyatakan obat ini memiliki kombinasi kandungan yang bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan.