Presiden Perintahkan Pembatasan Lebih Ketat dan Berskala Besar
2020.03.30
Jakarta
Presiden Joko Widodo memerintahkan pembatasan sosial dengan skala besar dan lebih ketat demi mengurangi penyebaran virus corona, menyusul tuntutan beberapa pihak agar pemerintah memberlakukan karantina wilayah.
Sementara itu, sebuah skenario yang disusun tim Badan Perencanaan Pembanguan Nasional (Bappenas) memprediksikan bahwa sekitar 140.000 orang Indonesia akan meninggal karena wabah COVID-19 pada bulan Mei jika pemerintah tidak mengambil langkah yang lebih agresif untuk menghentikan wabah ini.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi juga sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.
Beberapa pihak termasuk netizen yang aktif di sosial media telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan karantina wilayah, atau lockdown, untuk memotong penyebaran virus corona.
Menurut Jokowi, pemerintah fokus untuk mencegah penyebaran COVID-19 dengan mengurangi pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain salah satunya mencegah orang untuk mudik ke kampung halaman.
Penerapan protokol kesehatan tersebut dilakukan secara terukur, jangan sampai menimbulkan langkah screening yang berlebihan bagi pemudik yang terlanjur pulang kampung karena pembatasan aktivitas di Jakarta dan kota besar lain, kata Jokowi.
"Terapkan protokol kesehatan dengan baik sehingga memastikan bahwa kesehatan para pemudik itu betul-betul memberikan keselamatan bagi warga yang ada di desa," tandasnya.
Menurutnya, arus mudik terlihat lebih awal dari biasanya karena keterpaksaan pekerja informal di Jabodetabek yang memilih pulang kampung karena tidak ada penghasilan akibat diterapkannya kebijakan tanggap darurat untuk bekerja, belajar, dan ibadah dari rumah.
Oleh karena itu, ia meminta percepatan program jaring pengaman sosial (social safety net) untuk pekerja harian. “Program insentif ekonomi bagi usaha mikro, usaha kecil, betul-betul segera dilaksanakan di lapangan. Sehingga para pekerja informal, buruh harian, asongan, semuanya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari," jelasnya.
Ia menyebut setidaknya tercatat 876 armada bus antarprovinsi yang membawa kurang lebih 14.000 penumpang bergerak dari Jabodetabek ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta dalam delapan hari terakhir, belum termasuk angka pergerakan orang dengan menggunakan kereta api, kapal, dan pesawat terbang.
Tahun lalu, setidaknya ada lebih dari 19,5 juta orang yang mudik pada saat lebaran ke sejumlah kota di Indonesia.
‘Darurat Sipil’
Kebijakan pembatasan sosial skala besar tersebut, kata Jokowi, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil, yaitu upaya untuk membatasi orang yang berada di luar rumah demi mencegah penularan COVID-19.
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan penerapan darurat sipil merupakan langkah terakhir dalam pemberlakuan pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar.
“Pemerintah mempertimbangkan usulan darurat sipil supaya pembatasan sosial berjalan efektif, yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus COVID-19,” kata dia dalam keterangan tertulis kepada wartawan.
Ia memastikan, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi kementerian kesehatan, Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Perhubungan, dan instansi terkait.
Sampai 30 Maret, Kementerian Kesehatan Indonesia, melaporkan setidaknya 122 orang meninggal dunia, dari 1.414 orang sudah terkonfirmasi positif di seluruh Indonesia. Sebanyak 75 orang lainnya sudah dinyatakan sembuh.
Harus ada intervensi kuat pemerintah
Hasil penelitian tim pakar kesehatan kepada Bappenas Jumat lalu menunjukkan perlunya intervensi kuat dari pemerintah untuk memutus kenaikan angka penularan di Indonesia.
Model penelitian yang ditampilkan menerangkan adanya tiga tahapan dari intervensi pemerintah yaitu intervensi rendah, sedang dan tinggi. Hasilnya, Indonesia membutuhkan level yang lebih tinggi dalam hal intervensi untuk menjaga jarak sosial di masyarakat.
Jika pemerintah hanya mengimbau saja dengan intervensi rendah maka angka kematian penduduk Indonesia akibat COVID-19 bisa mencapai 144.266 jiwa dari jumlah kasus positif 1,5 juta orang pada akhir Mei atau awal Juni.
“Ini hanya angka perkiraan saja dan kami berharap ini tidak perlu terjadi. Oleh karena itu kami mendorong supaya meningkatkan intervensi pemerintah supaya angka ini tidak terjadi, kita masih punya waktu,” kata ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, kepada BenarNews.
Sementara, untuk intervensi tinggi angka kematian diperkirakan sekitar 11.000 jiwa.
“Kami mendorong supaya angkanya bisa setidaknya setengahnya saja, karena jika pasien mencapai lebih dari 50.000 maka kapasitas layanan kesehatan tidak mampu lagi merawat orang yang butuh perawatan,” ujar Pandu.
Ia berharap rumah sakit masih bisa menampung jumlah pasien ketika puncak COVID-19 yang diperkirakan awal Juni nanti. “Sehingga petugas kesehatan juga tidak kelelahan, supaya pelayanan juga maksimal,” kata dia
“Kita harus siap dengan keadaan yang terburuk nanti,” ujar dia.
Mengkhawatirkan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan kondisi di Jakarta saat ini masih sangat mengkhawatirkan karena terlihat lonjakan angka cukup besar dari hari ke hari.
DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi tertinggi, dengan 720 kasus positif, termasuk 81 tenaga kesehatan di 30 rumah sakit di Jakarta.
“Saya telah menginstruksi RT, RW dan tokoh masyarakat untuk memonitor warga yang rentan tertular penyakit COVID dengan penyakit penyerta di lingkungannya, dan secara khusus melakukan sosialisasi mencegah penularan, jika ada lansia yang tinggal sendiri harus ada yang dampingi, dan menyerukan warga untuk bertahan di rumah tanpa pergi ke luar,” kata dia.
Berdasarkan data dari dinas Pertamanan Pemprov DKI, sejak 6 - 29 Maret 2020, tercatat 283 pemulasaran dan pemakaman jenazah dengan kategori penyakit menular dan dengan prosedur COVID-19.
“Artinya ini adalah mereka (yang meninggal) belum sempat di tes, atau sudah di tes tapi belum keluar hasilnya,” ujar Anies.
Siap kawal
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Argo Yuwono menyatakan pihaknya siap mengawal pemerintah jika kebijakan karantina wilayah diterapkan, termasuk menyediakan kendaraan untuk mengangkut logistik.
“Polri mendukung penuh kebijakan pemerintah dengan mengacu pada prinsip keselamatan rakyat yang merupakan hukum tertinggi,” kata dia.
“Tentu akan kami persiapan dengan kegiatan tersebut,” kata dia.
Namun demikian, Anggota DPR Komisi 1, Sukamta mengatakan pemerintah tidak perlu membuat istilah baru seperti pembatasan sosial berskala besar, dan kebijakan darurat sipil.
“Yang harus dilakukan adalah darurat kesehatan dengan karantina wilayah istilah populernya 'Lockdown'. Jika masalahnya adalah perlu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya, segera buat PP tersebut. Itu menjadi domain pemerintah, mestinya bisa secara cepat dilakukan," kata Sukamta kepada BenarNews.
Menurutnya, pemerintah juga bisa mengambil pengalaman negara-negara lain yang berhasil menekan penyebaran virus serta menekan jumlah korban jiwa seperti Cina, Korea Selatan, dan Singapura.
"Saya melihat masyarakat siap secara mental untuk lockdown, di banyak tempat di dusun-dusun, kampung-kampung mereka melalukan lockdown swadaya. Masyarakat sudah semakin paham bahaya penyebaran virus corona. Banyak pemerintah daerah yang juga punya niatan lakukan karantina wilayah. Langkah baik ini mestinya didukung dengan segera membuat payung hukum PP-nya. " ujar dia.
Sementara itu, Pemerintah Kota Padang, Sumatra Barat menerapkan jam malam demi apa yang meerka sebut sebagai cara menekan penyebaran virus corona.
Jam malam diterapkan selama 14 hari kedepan, mulai Senin, 30 Maret 2020 dan berlaku mulai pukul 22.00 Wib sampai pukul 06.00 Wib.
“Hari ini saya sudah menandatangani sebuah surat keputusan berisi instruksi tentang pemberlakuan jam malam di kota Padang,” kata Mahyeldi kepada Benarnews.
M. Sulthan Azzam di Padang turut berkontribusi dalam laporan ini.