Survei: Pengaruh Cina atas Asia Tenggara Naik Saat Pengaruh AS Menurun

Responden mengidentifikasi ASEAN sebagai institusi terpenting untuk tatanan regional.
Drake Long
2020.06.10
Washington
ASEANorminsmeet2020_620.jpeg Para menteri luar negeri berfoto bersama dalam KTT Cina dan ASEAN mengenai COVID-19 di Viantiane, Laos, 20 Feb 2020.
AFP

Sebuah survei yang baru-baru ini dikeluarkan oleh lembaga kajian Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa Amerika Serikat sedang bekerja keras bersaing dengan Cina yang pengaruhnya semakin membesar di Asia Tenggara, meskipun ada dukungan kuat di antara mereka terhadap nilai-nilai demokrasi.

Survei itu juga menunjukkan bahwa di kawasan Asia Tenggara, pengaruh ekonomi Cina sudah jauh lebih besar daripada AS, dan kekuatan politik mereka pun sudah sedikit lebih banyak. Para ahli di CSIS yang melakukan survei tersebut memperkirakan bahwa kesenjangan itu akan melebar di dekade yang akan datang.

Lembaga yang berbasis di Washington dan bereputasi baik ini ini menargetkan para "elit strategis" atau pakar-pakar di lembaga nonpemerintah atau sejumlah mantan pejabat dari enam negara Asia Tenggara sebagai responden. Ada 188 responden dari Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, dan 13 orang lainnya di Fiji yang terlibat sebagai responden dalam survei ini.

Survei ini dilakukan pada bulan November dan Desember 2019, sehingga tidak memperhitungkan bagaimana pandemi COVID-19 dapat membentuk persepsi terhadap dua kekuatan itu. Virus corona diketahui berasal dari Cina, yang pada awal masa pandemi ini dituduh berusaha menutupi wabah tersebut. Virus tersebut telah menyebar ke seluruh dunia dan jumlah kematian terbanyak akibat virus ini tercatat berada di AS.

Laporan survei tersebut mendeskripsikan bahwa "hasil survei ini memberikan gambaran yang jelas akan pengaruh Cina yang semakin membesar di Asia Tenggara, pandangan yang kompleks dan berbeda terhadap Cina, dan keprihatinan mendalam terhadap persaingan strategis AS-Cina dan dampaknya terhadap Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN)”.

Responden diminta untuk memilih hingga tiga negara yang paling memiliki pengaruh politis di Asia Tenggara. Hasilnya menunjukkan bahwa Cina berada di posisi teratas dengan 94,5 persen, diikuti oleh AS dengan 92 persen.

Tetapi margin perbedaan antara kedua kekuatan tersebut tumbuh secara signifikan ketika pertanyaan beralih ke siapa yang akan paling berpengaruh selama 10 tahun terakhir, dengan 94,5 persen memilih Cina, dan 77 persen memilih AS, sementara dengan skor yang berbeda jauh dari keduanya, Jepang dan Indonesia masing-masing menempati posisi ketiga dan keempat.

Pat Buchan, direktur Proyek Aliansi AS di CSIS dan salah satu penulis yang terlibat di penelitian ini, mengatakan upaya Cina untuk mendapatkan pengaruh di kawasan ini telah meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir, dan hasil survei mencerminkan tren itu. Dia mengatakan ini harus menjadi peringatan bagi AS yang berusaha terus untuk bersaing dengan Cina.

"Dari sudut pandang historis, Amerika Serikat belum berfokus banyak pada Asia Tenggara sejak jatuhnya Saigon," kata Buchan dalam sebuah wawancara, merujuk pada akhir Perang Vietnam pada tahun 1975.

“Upaya-upayanya di Asia selalu difokuskan pada Asia Timur dan Asia Timur Laut, sehingga hal itu mencerminkan adanya semacam generasi yang hilang akan pengaruh Amerika dan keahlian Amerika di Asia Tenggara, ”ujarnya.

Dalam hal pengaruh ekonomi, survei tersebut mendapatkan suara bulat yang jelas bahwa Cina sudah menjadi yang terdepan dengan perbedaan yang besar dibanding dengan AS dan hal ini akan terus berlanjut dalam satu dekade ke depan.

Ketika ditanya tiga negara mana yang sekarang memiliki kekuatan ekonomi paling besar, sekitar 98 persen menyebutkan Cina, 70,6 persen menyebutkan AS dan 66,7 persen mengatakan Jepang. Sebanyak 96 persen responden mengatakan bahwa dalam 10 tahun ke depan, posisi Cina akan tetap sama, sementara 56,7 persen mengatakan AS dan 56,2 persen mengatakan Jepang.

Buchan mengaitkan hasil itu dengan kurangnya keterlibatan AS dalam sejumlah kesepakatan dan lembaga perdagangan multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik - yang dinegosiasikan oleh pemerintahan Obama sebagai bagian dari "poros" strategisnya ke Asia, namun kemudian dibatalkan oleh Presiden Donald Trump.

Terlepas dari pengakuan atas pengaruh Cina yang diperintah oleh rejim PKC, dan pemerintahan di Asia Tenggara yang kebanyakan cenderung otoriter, para responden menyatakan mereka mendukung nilai-nilai demokrasi.

Sekitar 85 persen para elit strategis itu mengatakan bahwa mereka percaya nilai-nilai demokrasi bermanfaat bagi stabilitas dan kemakmuran negara mereka. Hal ini terlihat paling menonjol dari responden di Thailand dan Filipina - yang telah menyaksikan bagaiman demokrasi mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir - dan Indonesia, yang terbukti demokrasinya lebih kuat.

"Itu terlihat pasti selama survei ini, bahwa ada keinginan untuk norma dan nilai-nilai demokrasi," kata Buchan. "Jika kita menjalankan survei ini 30 tahun yang lalu, Anda akan mendapatkan jawaban yang sangat, sangat berbeda."

"Pengaruh kekuatan lunak Amerika Serikat sekarang terlihat setelah dua generasi berlalu dan telah diterima sebagai norma yang berlaku,” katanya.

Sekitar 53 persen responden menganggap peran Cina bermanfaat bagi kawasan itu, sementara 46 persen menyebut hal itu merugikan. Pandangan yang negatif terlihat paling jelas di Vietnam dan Filipina - dua negara yang juga menyatakan keprihatinan paling besar tentang situasi di Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa dan diklaim seluruhnya oleh Cina.

Para responden mengidentifikasi ASEAN sebagai institusi terpenting untuk tatanan regional.

Vietnam, menjadi pengecualian dalam hal ini, yang mungkin disebabkan oleh rasa frustrasinya atas kegagalan ASEAN untuk mencapai konsensus tentang isu Laut Cina Selatan, dengan negara-negara anggota yang pro-Cina seperti Kamboja telah menggagalkan upaya mencapai konsensus.

Hampir setengah dari responden mengidentifikasi tekanan eksternal dari kekuatan besar sebagai ancaman terbesar bagi persatuan ASEAN, diikuti oleh kekhawatiran bahwa negara-negara anggota tidak memberikan prioritas yang cukup untuk blok 10-negara.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.