Credit Union di Kalimantan, Bangkitkan Ekonomi Warga
2017.04.25
Pontianak
Diperbarui 15 Agustus 2017, 22:35 WIB.
Lasminten sudah bergabung menjadi anggota Credit Union atau Koperasi Kredit Pancur Kasih (CUPK), pada 14 Februari 1989. Perempuan berjilbab asal Blitar, Jawa Timur, telah menetap di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, sejak 1966.
"Karena saya Muslim, banyak teman heran mengapa saya mau menabung di CUPK yang justru dipelopori oleh orang-orang Kristen," tutur Lasminten kepada BeritaBenar, Senin, 24 April 2017.
Kehadiran CU di Kalimantan Barat awalnya memang diprakarsai para aktivis Dayak yang beragama Katolik dan Protestan. Sehingga, sempat muncul anggapan bahwa CU sebagai lembaga khas orang Kristen.
"Tapi, saya tetap teguh dengan niat menabung. Ini bukan soal agama," kata Lasminten, yang kini lebih banyak menghabiskan hari tuanya di rumah.
Kala itu, Lasminten berjualan kue-kue di SMA Santo Fransiskus Asisi sehingga membuat dia akrab dengan aktivis Dayak dan memutuskan untuk mulai menabung di CUPK yang menumpang kantor di tempat itu.
"Saya nabung harian, tiap habis jualan. Kaget juga lama-lama kok jadi banyak uangnya," ungkap Lasminten sambil tersenyum, mengenang awal-awal dia terlibat dalam CU.
Dari hasil tabungannya, dia mencoba merintis usaha manisan lidah buaya, karena belum ada orang yang mengelola tumbuhan bernama latin Aloe vera ini secara serius. Kini, manisan lidah buaya menjadi oleh-oleh khas Kalimantan Barat.
"CU telah mengajarkan bagaimana menabung secara rutin. Jika hendak meminjam uang, harus digunakan untuk hal produktif, jangan justru diutamakan konsumtif," katanya.
Lasminten mengaku, keberhasilan usahanya berkat "melek finansial" yang diperolehnya dari pendidikan di CU. Kini ia memiliki 10 unit rumah, yang dijadikan rumah kontrakan, dan sejumlah usaha lain.
Berawal dari arisan guru
CUPK adalah koperasi kredit yang bermula sebagai wahana arisan antarguru swasta di Yayasan Pancur Kasih sebagai tempat berbagi menyikapi kecilnya gaji. Yayasan memiliki SMP dan SMA Santo Fransiskus Asisi.
Menurut Ketua Pengurus CUPK, FY Khosmas, tiga pionir lahirnya CUPK yakni AR Mecer, Paulus Florus, dan Stevanus Buan berkesempatan mengikuti kursus tentang koperasi kredit yang digelar Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak pada 1985.
Usai pelatihan, mereka mendirikan sebuah CU percobaan bernama Khatulistiwa Bhakti sebagai wahana mempraktikkan ilmu dari kursus itu.
Dua tahun kemudian, mereka mendirikan CUPK pada 28 Mei 1987, sebagai lanjutan dari “arisan” para guru yang ada sebelumnya, dengan 82 anggota perdana dan asset Rp2,6 juta.
“CUPK memulai kegiatan ala kadar: kantor menumpang, staf tetap belum ada sehingga dirangkap, dan layanan utama berupa simpan dan pinjam uang,” jelas Khosmas kepada BeritaBenar.
Seiring perjalanan waktu, perkembangan terus terjadi dan anggota CUPK tak terbatas lingkungan guru. Kalangan umum semakin banyak menjadi anggota.
Hingga akhir 2016 tercatat lebih 140 ribu orang anggota dengan total aset Rp2 triliun serta 40 lebih kantor cabang atau tempat pelayanan di seluruh Kalimantan Barat dan mempekerjakan hampir 400 karyawan, kata Khosmas.
Produk layanan CUPK berkembang seperti simpanan bunga harian, deposito, tabungan kendaraan, sampai program solidaritas kesehatan dan santunan kematian. Baru-baru ini sudah diluncurkan aplikasi berbasis android untuk transaksi digital.
Menurutnya, ada tiga pilar yang membuat CU bertahan yaitu pendidikan, swadaya, dan solidaritas.
"Setiap anggota bisa meminjam uang, jika dia telah ikut pendidikan, dibuktikan dengan sertifikat. Melalui pendidikan yang wajib diikuti semua anggota, prinsip-prinsip ber-CU disampaikan sejelas-jelasnya," paparnya.
Aspek swadaya ialah uang dihasilkan sendiri dari, oleh, dan untuk anggota. Sedangkan, aspek solidaritas, sesama anggota CU harus merasa sebagai satu keluarga.
Ikut membangun daerah
Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kalimantan Barat, Marsianus SY, mengatakan, saat ini tercatat 52 unit CU di seluruh provinsi itu dengan total aset Rp 8,5 triliun lebih. Pemerintah memandang CU sebagai lembaga yang ikut membangun daerah.
“Tak sekadar lembaga keuangan, CU memiliki aspek edukasi bagi masyarakat supaya lebih cerdas mengelola keuangan. Ada kerja sama dan saling percaya yang ditanamkan, selain nilai-nilai finansial," paparnya kepada BeritaBenar.
Setiap tahun CU harus menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT), sehingga anggota bisa tahu perkembangannya. Jika ada CU yang tak menyelenggarakan RAT, pemerintah akan menanyakan alasannya. Dia menggarisbawahi, ciri khas CU sebagai perkumpulan orang-orang, bukan kumpulan modal semata.
Pengamat ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma Pontianak, Maran, berpendapat secara teoritis besarnya tabungan linier atau proporsional dengan jumlah pendapatan. Artinya, jika pendapatan meningkat maka tabungan meningkat.
“Beda dengan konsep di CU. Pendapatan tidak bertambah, tapi tabungan masyarakat meningkat dari tahun ke tahun karena penerapan prinsip dari 100 persen penghasilan, 10 persen wajib ditabung, 30 persen angsuran pinjaman, dan 60 persen memenuhi kebutuhan sehari-hari,” jelas Maran.
Usaha kecil berbasis masyarakat bermunculan karena adanya fasilitas pinjaman yang disediakan CU, bisa dijangkau, tidak birokratis, dan berdasarkan kepercayaan.
“Jika dibandingkan, bank dimiliki pemilik modal. Sementara CU milik seluruh anggota, dan kebijakan juga diputuskan anggota dalam RAT. CU juga berkepentingan mendidik anggota,” pungkasnya.
Informasi tentang Stevanus Buan dalam artikel ini sudah dikoreksi.