FAO: 2021-2022 Indonesia alami penurunan deforestasi, aktivis: angka itu tidak berarti banyak

Greenpeace sebut deforestasi hutan alam dalam konsesi nikel justru meningkat pada 2016-2022, hingga 600%.
Tria Dianti
2024.07.25
Jakarta
FAO: 2021-2022 Indonesia alami penurunan deforestasi, aktivis: angka itu tidak berarti banyak Foto yang diambil pada 5 Maret 2021 ini menunjukkan pembukaan hutan untuk proyek pemerintah di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Galih/AFP]

Indonesia mengalami penurunan laju deforestasi sebanyak 8,4% pada tahun 2021-2022, menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), yang merupakan rekor terendah sejak tahun 1990an.

Meskipun tak menampik data penurunan, sejumlah pemerhati lingkungan mempertanyakan data itu dan komitmen pemerintah terhadap konservasi dan kelestarian hutan di Indonesia.

Dalam publikasi tentang Keadaan Hutan Dunia 2024, FAO - mengutip dari data pemerintah Indonesia, menunjukkan penurunan deforestasi sebesar 8,4% pada 2021-2022 di mana itu merupakan rekor terendah di Indonesia sejak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mulai mencatat laju deforestasi tahunan pada 1990.

“Secara keseluruhan, angka tersebut menurun hampir 90% selama periode tersebut,” demikian disebutkan dalam laporan yang diterbitkan awal minggu ini.

Namun capaian tersebut mendapatkan respons dari sejumlah pemerhati lingkungan yang mempertanyakan data tersebut dan komitmen pemerintah dalam mencegah kerusakan hutan di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur dan upaya menggenjot investasi.

Citra satelit yang disediakan oleh Planet Labs PBC ini menunjukkan perbandingan kelebatan hutan di wilayah Lelilef Sawai, Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, antara tahun 2016 (kiri) dan 2024 (kanan) setelah terjadi deforestasi untuk pembangunan industri nikel di area tersebut. [Planet Labs PBC via AP]
Citra satelit yang disediakan oleh Planet Labs PBC ini menunjukkan perbandingan kelebatan hutan di wilayah Lelilef Sawai, Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, antara tahun 2016 (kiri) dan 2024 (kanan) setelah terjadi deforestasi untuk pembangunan industri nikel di area tersebut. [Planet Labs PBC via AP]

Data yang tidak berarti banyak

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Iqbal Damanik mengatakan meskipun data pada tahun itu menunjukkan penurunan namun ancaman terhadap tutupan hutan alam yang tersisa masih tinggi.

“Data itu terlihat rendah karena memang belum ada pembukaan lahan baru dan konsesi baru dalam produksi sawit,” kata Iqbal kepada BenarNews, Kamis (25/7).

“Ini terjadi karena berbagai isu seperti bisnis melambat karena pandemi, harga pasar komoditi, atau perlambatan ekonomi dunia,” kata dia.

Menurut dia, jika melihat data Kementerian sejak 2001, secara statistik angka deforestasi 2022 dibandingkan 2021 turun sebanyak 8,4% tersebut tergolong kecil, yaitu 117.000 hektar sejak 2001.

Namun demikian data deforestasi justru naik bila angka 2023 dibandingkan dengan angka 2022, yaitu naik sebanyak 134.000 ha. “Ini angka fluktuatif saja,” tambahnya.

Berdasarkan data Greenpeace, data deforestasi terhadap hutan alam di dalam konsesi nikel justru terus meningkat sejak 2016 hingga 2022 bahkan angkanya hampir 600%.

“Deforestasi akan terus ada selama masih ada hutan alam yang belum terlindungi yang ditetapkan sebagai area deforestasi terencana atas nama pembangunan,” kata Iqbal.

Data Greenpeace yang diolah dari data pemerintah per September 2023 mencatat ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, yang sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia.

Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 ha, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 ha (20% dari total deforestasi Pulau Sulawesi) dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 ha (8% dari deforestasi Kepulauan Maluku).

Hal senada disampaikan Dwi Sawung, Juru Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, yang menilai angka yang dirilis FAO wajar saja jika dibandingkan dengan perusakan hutan yang terjadi di era 1990an.

“Jadi bukan sekedar angkanya tapi di mana lokasinya. Misalnya tambang, meski kecil luasannya tapi bisa langsung menghancurkan ekosistem yang ada di situ,” kata Dwi kepada BenarNews.

“Ini bisa memperparah krisis iklim, mencemari laut, mengancam punahnya keanekaragaman hayati, dan melanggar hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.”

Dampak langsungnya, ujar dia, bisa menjadi bencana alam yang masif. Dia menambahkan saat ini pemerintah cenderung mengubah aturan tata ruang demi melanggengkan rencana pembangunan infrastruktur.

“Harusnya bukan sekedar turun lagi tapi zero deforestasi,” kata Dwi.

Di latar belakang tampak perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara, yang oleh kelompok pemerhati lingkungan disebut melakukan deforestasi untuk operasinya. Foto diambil pada 8 Juni 2024. [Achmad Ibrahim/AP Photo]
Di latar belakang tampak perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara, yang oleh kelompok pemerhati lingkungan disebut melakukan deforestasi untuk operasinya. Foto diambil pada 8 Juni 2024. [Achmad Ibrahim/AP Photo]

Terlalu lambat

Pakar Iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian mengatakan posisi pengurangan laju deforestasi memang telah lama ditargetkan namun baru dirasakan hasilnya sekarang.

“Saya malah berharap lebih besar lagi dari 8,4 persen tadinya. Indonesia terlalu lambat kalau soal lingkungan hidup. Selama ini laju perusakan tinggi banget dan memang sudah saatnya menghentikan itu,” kata dia kepada BenarNews.

Menurut dia beberapa upaya yang selama ini dilakukan semua pihak untuk melestarikan lingkungan dinilai berhasil seperti program penanaman pohon sehingga pulau Jawa dan Sumatra bisa hijau kembali.

“Ke depannya kalau bisa terjadi penurunan terus-menerus. Indonesia punya banyak sekali bahan bakar yang tidak merusak lingkungan seperti panas bumi, energi laut tapi masih terlihat kalem sekali dan tidak berambisi sama sekali dalam hal ini,” kata dia.

Peneliti utama di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) Daniel Murdiyarso menilai reboisasi dan penghijauan skala besar berperan penting dalam meningkatkan penyerapan karbon.

“Satu-satunya tindakan yang paling penting untuk mempertahankan dan meningkatkan penyerapan karbon hutan adalah dengan menghentikan emisi dari deforestasi dan degradasi,” kata Daniel kepada BenarNews.

“Penghitungan global ini menggarisbawahi pentingnya konservasi berkelanjutan terhadap kawasan lindung dan pemulihan sektor lahan terdegradasi, terutama di daerah tropis,” kata Daniel.

Dia menyarankan penelitian di masa depan harus memasukkan karbon tanah, termasuk lahan gambut dan bakau, yang menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan hutan dataran tinggi.

“Pesannya jelas untuk melakukan tindakan dengan hati-hati, dan tidak menganggap remeh kapasitas karbon hutan,” Daniel.

“Untuk melindungi penyerap karbon, diperlukan kebijakan pengelolaan lahan untuk membatasi deforestasi, mendorong restorasi hutan, dan meningkatkan praktek pemanenan kayu.”

Jangan fokus pertumbuhan ekonomi semata

Pakar perubahan iklim dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa mengapresiasi pencapaian ini mengingat laju deforestasi tahun 1990-1998 berkisar antara 2 juta hingga 3,5 juta hektar lahan per tahun.

“Ini menggembirakan. Artinya Indonesia sudah melihat kondisi hutan tidak hanya soal perubahan iklim tapi soal biodiversity, pengelolaan tata air di aliran sungai dan mitigasi bencana, sehingga ada moratorium,” ujar Mahawan.

Dia menekankan pada pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja sehingga aspek lingkungan ditinggalkan.

“Sumber daya alam dipaksa terus, pembangunan harus dengan good practices,” kata Mahawan.

Beberapa dampak positif capaian ini antara lain mendapatkan kepercayaan dunia kepada Indonesia, terutama dalam menangani hutan hujan tropis, berkaitan dengan upaya pengendalian perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.

“Ini penting untuk posisi Indonesia dalam transformasi pembangunan global menuju pembangunan berkelanjutan,” ujar Mahawan.

“Dampak positif nasionalnya adalah keyakinan bangsa untuk menghadapi dan mencapai target perubahan iklim dan isu lingkungan lainnya.”

Menteri Kehutanan Siti Nurbaya menyambut baik atas hasil tersebut dan menyebut jika pendekatan Indonesia dalam mengelola sumber daya alam dan mengimplementasikan aksi iklim dilakukan secara sistematis dan terintegrasi

"Kami mengapresiasi kabar baik bahwa ada penurunan deforestasi yang signifikan di beberapa negara. Sebagai contoh, deforestasi diperkirakan telah menurun sebesar 8,4% di Indonesia pada tahun 2021-2022," ujar Siti.

“Namun, pekerjaan kita bersama masih jauh dari selesai," imbuhnya.

Siti mengungkapkan jika Indonesia kembali menetapkan target iklimnya yaitu pengurangan emisi Indonesia sebanyak 47,3%pada 2020, 43,8%pada tahun 2021, dan 41,6% pada 2022.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.