Studi: Indonesia penyumbang terbesar kerusakan hutan tropis karena pertambangan
2022.09.13
Jakarta
Indonesia menjadi salah satu dari empat negara penyebab 80 persen penggundulan hutan tropis yang disebabkan oleh penambangan skala besar dari dalam dua dekade terakhir, lansir lembaga studi berbasis di Amerika Serikat.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada Senin ini menyatakan bahwa Indonesia menyumbang hampir 60 persen dari hilangnya hutan oleh pertambangan di 26 negara yang diteliti.
Laporan tim ilmuan yang mengukur dampak pertambangan industri terhadap hilangnya hutan tropis tersebut menemukan empat negara yang dinilai paling bersalah atas deforestasi ini, yaitu Brasil, Indonesia, Ghana, dan Suriname.
“Kami menemukan bahwa 3.264 kilometer persegi hutan langsung hilang karena pertambangan industri, dengan 80 persen terjadi hanya di empat negara (tersebut),” ungkap para ilmuan tersebut.
Menurut studi tersebut, penambangan skala industri seperti batu bara, emas, dan bijih besi, telah memicu deforestasi tropis dengan membuka hutan yang dulunya tidak dapat ditembus untuk penambangan dan akses jalan.
Penelitian itu menyebutkan empat negara kaya hutan tersebut bersama-sama menyumbang sekitar 80 persen deforestasi tropis yang disebabkan oleh operasi penambangan skala besar dari tahun 2000 hingga 2019.
“Berfokus pada pertambangan industri, kami menggunakan data geospasial untuk menghitung hilangnya hutan langsung di lokasi pertambangan di 26 negara,” kata jurnal PNAS.
Wilayah pertambangan yang diselidiki meliputi 11.467 km2 lahan yang mencakup 7.019 km2 hutan tropis pada tahun 2000.
Pada 2019, 3.264 km2 (46,5%) dari kawasan hutan ini hilang karena perluasan tambang industri. Dengan 1.901 km2 area terdeforestasi, Indonesia sejauh ini merupakan negara yang paling terdampak, menyumbang 58,2% dari hilangnya hutan karena pertambangan dari 26 negara yang dikaji.
Penelitian itu menyebut bahwa ekspansi tambang di Kalimantan Timur untuk produksi batubara merupakan faktor utama dibalik hal itu.
Artikel di jurnal PNAS menyebutkan bahwa penelitian tersebut didasari meningkatnya permintaan mineral yang tinggi terus memicu deforestasi di seluruh dunia.
“Hutan tropis sangat rentan terhadap dampak lingkungan dari pertambangan dan pengolahan mineral,” katanya.
Selaras dengan hasil peneliti lokal
Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Hadi Jatmiko mengatakan temuan itu selaras dengan hasil riset milik mereka.
Berdasarkan data WALHI, kata Hadi, izin pertambangan di Indonesia saat ini sudah mencapai 11 juta hektar, di mana 4,5 juta hektarnya berada di dalam kawasan hutan.
“Inilah kenapa hasil riset itu nyambung dengan apa yang kami temukan terkait dengan pertambangan di dalam konservasi hutan, baik pertambangan mineral maupun batubara,” ujar Hadi kepada BenarNews pada Selasa.
Hadi mengatakan pemerintah Presiden Joko “Jokowi” Widodo sangat menggalakkan pertambangan sejak berkuasa tahun 2014.
“Dari izin yang dikeluarkan Jokowi, pertambangan yang terbesar dikeluarkan, mencapai 5 juta hektar,” ucap Hadi.
Untuk menyelamatkan hutan, Hadi mendorong pemerintah menghentikan perizinan baru tambang yang berada di kawasan hutan serta melakukan pencabutan izin.
“Awal tahun lalu Jokowi mengatakan mencabut ribuan pertambangan hutan maupun perkebunan sawit, tapi jika diteliti lagi, dari data ribuan itu baru sedikit yang dicabut,” kata Hadi.
Pada Januari 2022, Jokowi mengumumkan mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja.
Dia menambahkan data terkait penggunaan hutan sebagai pertambangan merupakan rangkaian yang dimulai sejak Soeharto berkuasa.
“Artinya memang secara tidak langsung di rezim-rezim ini terus melakukan penambahan wilayah pertambangan,” ujar Hadi.
Hadi menambahkan luasnya penguasaan lahan oleh badan usaha yang diberikan oleh pemerintah ternyata tidak sebanding dengan luasnya wilayah kelola yang diberikan kepada rakyat.
Dari target 12,7 hektar hak kelola kawasan hutan yang dijanjikan oleh Jokowi, capaiannya baru seluas 3 juta hektar atau 30 persen, ungkap dia.
“Jika angka 3 juta ini dibandingkan dengan luas penguasaan lahan yang diberikan ke badan usaha oleh enam presiden, totalnya mencapai 52 juta hektar, baru 5 persen yang di berikan kepada rakyat,” tukas Hadi.
“Artinya persentasenya masih sangat kecil. Hanya ada dua tahun lagi untuk mencapai target 12,7 juta hektar.”
Pertanyakan komitmen pemerintah
Sementara itu, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Mareta Sari, mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mencegah bertambahnya kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia.
Dalam pertemuan Perubahan Iklim (COP26) di Skotlandia, November lalu, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk mengakhiri deforestasi pada delapan tahun mendatang, bersama dengan lebih dari 100 negara lain di dunia.
Menurut Mareta, target pemerintah itu bertolak belakang dengan realitas di lapangan karena pemerintah sendiri mengeluarkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan. Batubara (Minerba) nomor 3 tahun 2020 yang di dalamnya membolehkan perusahaan bisa mendapatkan perpanjangan izin usaha tambang.
“Artinya karbon yang dilepas itu jadi emisi gas rumah kaca dan efek pemanasan global. Jadi mau mengurangi emisi, justru membuat regulasi yang justru memperpanjang (izin tambang),” kata Mareta kepada BenarNews.
Mareta mendorong pemerintah untuk lebih berpihak kepada masyarakat dengan mencabut izin tambang yang berdekatan dengan wilayah pemukiman penduduk dan melakukan pemulihan terhadap lubang tambang yang meracuni warga.
JATAM Kaltim mencatat 40 nyawa manusia melayang karena keberadaan lubang bekas tambang di Kalimantan Timur sejak 2011 lalu hingga 2021.
BenarNews menghubungi Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nunu Anugrah dan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono melalui pesan tertulis namun keduanya tidak menjawab.
Sementara DPR mengharapkan KLHK berkomitmen memperbaiki kualitas lingkungan hidup Indonesia dengan memulihkan ekonomi dan sosial yang berorientasi pada perlindungan sumber daya hutan.
“DPR berharap KLHK memprioritaskan rencana kerja dan anggaran untuk program prioritas yang memberikan pemulihan ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar hutan,” kata Ketua Komisi IV Sudin saat membuka rapat dengan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Selasa.