Jamaah Islamiyah bubar: Akhir sebuah era atau sekadar ganti bentuk?
2024.07.05
Yogyakarta
Jamaah Islamiyah (JI), kelompok militan Islam di Asia Tenggara, yang pernah berafiliasi ke al-Qaeda, secara publik telah mengumumkan pembubaran diri, menandai titik balik penanganan terorisme di Indonesia, namun pada saat yang sama menimbulkan kekhawatiran terkait kemungkinan gerakan bawah tanah kelompok itu terus berlanjut.
Deklarasi pembubaran, yang dilakukan pada Minggu (30/6), telah menuai berbagai macam reaksi skeptis dari sejumlah pakar mengenai motif keputusan tersebut dan potensi JI – yang pernah menjadi dalang pengeboman di Bali pada 2002 itu.
Abu Rusydan, salah seorang pemimpin JI, saat membacakan deklarasi di depan para anggota senior kelompok tersebut di Sentul, Bogor, Jawa Barat, mengaku akan mengembangkan pendidikan.
Dalam pidato tertulisnya, Abu Rusydan, yang memiliki nama asli Thoriquddin itu, menyebutkan beberapa poin berkaitan dengan sekolah-sekolah yang saat ini dikelola oleh kelompok JI di Indonesia.
Menurut Rusydan, JI setuju menjamin kurikulum dan materi ajar merujuk pada ajaran Islam sesuai sunah Nabi Muhammad, membentuk tim pengkajian kurikulum dan materi ajar, serta siap untuk terlibat aktif mengisi kemerdekaan sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Mohammad Adhe Bhakti, direktur eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), mengatakan JI telah bergeser dari kekerasan di bawah kepemimpinan Para Wijayanto – yang ditangkap pada 2019 serta hadir pada deklarasi akhir Juni tersebut – dengan tidak mengedepankan kemiliteran lagi.
“Saya melihat sesepuh JI sudah lebih rasional, bahwa mereka sudah enggak bisa lagi gunakan atau bernaung di bawah label JI,” kata Adhe kepada BenarNews.
Namun Adhe mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menjamin keputusan petinggi Jİ ini diikuti oleh anggotanya di tataran akar rumput.
“Tidak ada yang bisa menjamin. Tapi bahwa sudah ada deklarasi, saya bisa menjamin bahwa di tataran sesepuh ini akan diikuti. Kalau bicara akar rumput, JI sendiri kan punya sistem komunikasi terputus,” kata dia.
Abdul Rahim Ba’asyir, putra dari salah satu pendiri JI, Abu Bakar Ba’asyir, memandang positif deklarasi pembubaran organisasi tersebut yang dilakukan oleh para mantan pemimpinnya.
“Ketika mereka mau membubarkan diri dan menyatakan kembali ke NKRI itu satu hal yang baik ya buat mereka,” ujar Abdul Rahim kepada BenarNews.
“Dan tidak kemudian muncul fitnah di tengah-tengah umat tentang tuduhan-tuduhan seakan-akan umat Islam itu teroris dan sebagainya.”
JI didirikan pada tahun awal 1990-an dengan tujuan untuk mendirikan negara Islam di seluruh Asia Tenggara.
Kelompok ini telah melancarkan sejumlah serangan yang menyasar kepentingan Barat dan aparat keamanan Indonesia, pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman di hotel Marriott di Jakarta pada 2003 dan 2009, dan kedutaan besar Australia di Jakarta pada 2004.
Pemerintah Indonesia menindak JI setelah pengeboman Bali 2002, dengan menangkap dan memenjarakan banyak pemimpinnya, termasuk Ba’asyir.
Kelompok tersebut secara resmi dilarang pada 2008, tetapi terus beroperasi secara diam-diam, merekrut anggota, mengumpulkan dana, dan melakukan pelatihan militer, kata para analis.
Keputusan pembubaran ini muncul setelah bertahun-tahun mendapat tekanan dari aparat pemerintah Indonesia, yang telah menangkap dan memenjarakan puluhan anggota JI dalam beberapa tahun terakhir.
Neo-JI
Mantan anggota JI, Sofyan Tsauri, mengatakan bahwa ada pihak-pihak yang marah dengan deklarasi pembubaran ini terpantau dari grup-grup internal JI, dan bukan tidak mungkin mereka akan membentuk neo-JI dan semacamnya.
“Setelah pembubaran tentu harus ada monitoring dan pembinaan, ini tugas negara, karena tanpa monitoring dan pembinaan pembubaran ini omong kosong adanya,” ujar Sofyan kepada BenarNews.
Dia juga menyatakan kekhawatirannya tentang jaringan sekolah kelompok tersebut yang berjumlah hampir 100, yang katanya mengajarkan versi Islam yang literal dan puritan.
"Ini harus diubah," kata Sofyan.
Dalam deklarasi, para pemimpin JI berkomitmen untuk merombak kurikulum sekolah-sekolah kelompok tersebut agar selaras dengan ajaran Islam arus utama.
Sidney Jones, senior advisor Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta, mengatakan pembubaran tersebut sebagai "puncak dari langkah panjang menuju berakhirnya keberadaan JI sebagai organisasi terselubung, dan beroperasi secara terbuka demi kepentingan penyebaran dan pendidikan Islam."
"Itu nyata. Dalam beberapa hal, langkah itu dimulai pada 2009, tetapi semakin menguat setelah Para Wijayanto menjadi amir," kata Sidney kepada BenarNews.
Namun, dia juga mengakui adanya potensi untuk munculnya kelompok-kelompok sempalan. "Tentunya beberapa orang di JI akan melihatnya sebagai pengkhianatan.”
Dalam wawancara dengan BenarNews pada Mei, Ali Imron, yang menjalani hukuman seumur hidup atas perannya dalam pengeboman Bali pada 2002, mengatakan JI tidak memiliki pemimpin sejak pertengahan tahun 2000-an.
Tindakan keras pemerintah Indonesia terhadap kelompok-kelompok ekstremis telah membuat JI tidak memiliki pemimpin yang jelas, kata dia.
"Tidak ada pemimpin resmi JI sekarang," kata Ali, seraya menambahkan bahwa kesepakatan internal menunjukkan JI telah berhenti sebagai entitas resmi.
Di tengah menurunnya gerakan kekerasan yang dilakukan JI, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terinspirasi oleh Negara Islam muncul sebagai ancaman baru.
Berdiri pada 2015, JAD – yang sekarang dilarang – bertanggung jawab atas serangan terhadap gereja-gereja di Surabaya pada 2018 dan satu gereja katedral di Makassar pada kegiatan Minggu Palma.
Seorang penyerang yang berafiliasi dengan JAD juga mengebom markas polisi di Medan pada 2019, dan sejak saat itu tidak ada laporan serangan dari kelompok itu.
Irfan Idris, direktur pencegahan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengatakan bahwa deklarasi para pemimpin JI merupakan keberhasilan nyata aparat dan masyarakat dalam memerangi terorisme dan mencapai status 'zero attack' di Indonesia.
“Dan kami bekerja di bawah undang-undang, tentunya akan mengantisipasi dan selalu waspada terhadap bahaya dan juga ancaman yang mungkin muncul,” ujar Irfan.
“Karena terorisme dan ideologinya sangat berbahaya bagi keutuhan negara bangsa.”
Deklarasi pembubaran JI mungkin tampak seperti perkembangan positif di permukaan, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, terungkap realitas yang lebih kompleks dan berpotensi mengkhawatirkan, menurut Bilveer Singh, profesor hubungan internasional di Universitas Nasional Singapura.
Singh memperingatkan bahwa sejarah kelompok ekstremis di Indonesia, seperti JI, ditandai oleh transformasi dan kemunculan kembali.
"Kelompok radikal tidak pernah menghilang di Indonesia sejak 1945," kata Singh kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa JI sendiri memiliki sejarah berevolusi setiap 15-20 tahun.
"Deklarasi Bogor dapat membubarkan JI, tetapi ada risiko bahwa organisasi yang lebih berbahaya daripada JI dapat muncul di Indonesia," kata Singh.
___
Arie Firdaus di Jakarta berkontribusi pada tulisan ini.