Demonstrasi tolak kenaikan harga BBM berlanjut

Jokowi sebut tidak menutup opsi membeli minyak dari Rusia.
Arie Firdaus & Dandy Koswaraputra
2022.09.12
Jakarta
Demonstrasi tolak kenaikan harga BBM berlanjut Massa yang terdiri dari mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya melakukan aksi unjukrasa menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin, 12 September 2022.
[Eko Siswono Toyudho/Benarnews]

Ribuan orang pada Senin (12/9) berunjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah laporan bahwa Presiden Joko "Jokowi" Widodo sedang mempertimbangkan membeli minyak mentah dari Rusia kendati ada kekhawatiran sanksi negara Barat.

Bentrokan antara polisi dan pendemo bahkan terjadi di Aceh, di mana aparat menahan delapan orang mahasiswa yang dianggap sebagai provokator kericuhan. Polisi juga menerjunkan personel untuk mengamankan pompa bensin di provinsi tersebut.

Dalam unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan di Jakarta, para pendemo yang mayoritas berasal dari kelompok buruh mendesak Jokowi untuk segera mencabut kenaikan harga bahan bakar lantaran dinilai makin menyengsarakan rakyat kecil.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Hermanto Ahmad mengatakan kenaikan harga minyak akan diikuti kenaikan harga bahan-bahan pokok serta lonjakan ongkos energi di pabrik-pabrik sehingga perusahaan tidak akan menaikkan upah buruh.

"Walau pun sudah ada Bantuan Subsidi Upah (BSU) sementara, tapi kan tidak semuanya mendapatkan BSU," kata Hermanto dalam orasinya.

Demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar terjadi hampir setiap hari sejak dua pekan terakhir di beberapa kota di Indonesia setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan kenaikan BBM pada 3 September demi mengurangi beban subsidi energi dalam APBN.

Bahan bakar yang mengalami kenaikan harga adalah bensin RON 90 merk Pertalite dari semula Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 dan solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter. Ada pula bahan bakar non-subsidi RON 92 dengan merk Pertamax yang dikerek dari Rp12.500 menjadi Rp14.500.

Presiden KSPSI Said Iqbal dalam pernyataan pada unjuk rasa pekan lalu di Jakarta mengancam akan terus mengerahkan massa untuk berdemonstrasi hingga Desember jika pemerintah tetap tidak menurunkan harga minyak.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz Wuhadji mengharapkan pemerintah dapat menekan laju inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar dengan penyaluran bantuan sosial.

“Dan tentu saja kita harap dan tunggu sejauh mana pemerintah dapat menyelamatkan daya beli dan kehidupan ekonomi masyarakat itu sendiri berikut dampak sosial lainnya tetap menjadi prioritas,” kata Adi dalam keterangan tertulis.

Massa yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pembela Rakyat beserta mahasiswa dan elemen masyakat lainnya, melakukan aksi unjukrasa menolak kenaikan BBM di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin, 12 September 2022. [Eko Siswono Toyudho/Benarnews]
Massa yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pembela Rakyat beserta mahasiswa dan elemen masyakat lainnya, melakukan aksi unjukrasa menolak kenaikan BBM di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin, 12 September 2022. [Eko Siswono Toyudho/Benarnews]

Opsi beli minyak Rusia

Sementara itu Financial Times melaporkan bahwa Jokowi tidak menutup kemungkinan untuk mengimpor minyak mentah dari Rusia --seperti halnya China dan India, demi mengurangi tekanan tingginya harga minyak dunia yang berdampak terhadap tekanan fiskal Indonesia.

"Kami memantau semua opsi. Jika ada negara (menjual) dan memberikan harga lebih baik, tentu saja (kami membeli)," kata Jokowi kepada koran Inggris itu.

"Pemerintah memiliki kewajiban untuk mendapat beragam sumber untuk mencukupi kebutuhan energi bagi masyarakat. Kami ingin menemukan solusi," terang Jokowi saat ditanya apakah Indonesia bakal membeli minyak mentah dari Rusia.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Maret mengatakan bahwa perusahannya mempertimbangkan membeli minyak dari Rusia lantaran harga yang lebih murah di tengah konflik dan sanksi negara-negara Barat.

Menyusul invasi Rusia ke Ukraina, harga minyak mentah negara tersebut memang anjlok di bawah harga minyak mentah Brent yang menjadi tolak ukur global, mencapai US$30 per barel lebih murah.

Negara-negara Barat telah sejak lama mendesak Indonesia untuk terlibat dalam pembatasan harga minyak mentah Rusia, salah satunya dalam pertemuan G7 di Jerman beberapa waktu lalu.

Saat itu Jokowi yang hadir dalam pertemuan tidak menjamin menyanggupi permintaan tersebut.

Rencana pembelian minyak Rusia dikecam oleh kelompok hak asasi manusia yang melihat bahwa membeli minyak dari negara yang melakukan invasi itu sama saja dengan membiaya perang Vladimir Putin melawan rakyat Ukraina.

Kecaman juga datang dari Mantan Duta Besar RI untuk Ukraina, Yuddy Chrisnandi, yang mengatakan bahwa Indonesia yang sudah mengambil posisi menentang invasi Rusia ke Ukraina di Majelis Umum PBB harus bersikap konsisten dengan "mengedepankan simpati dan empati kepada penderitaan rakyat Ukraina hingga Rusia menarik diri dari Ukraina.”

“Secara tak langsung negara pembeli migas Rusia itu membantu membelikan mereka (Rusia) peluru, bom dan segala bahan dan mesin perang untuk terus menginvasi,” demikian pernyataan Yuddy pada April lalu seperti dikutip media.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyoroti efek negatif yang muncul jika pemerintah mengimpor minyak mentah dari Rusia.

Indonesia dinilai berpotensi menerima sanksi dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat berupa pengurangan impor dari Indonesia, penghentian kerja sama militer, dan pemutusan sistem pembayaran internasional SWIFT untuk keuangan Indonesia, kata Bhima.

“Akan ada konsekuensi produk Indonesia dihambat masuk ke negara-negara lain sehingga pertumbuhan ekonomi pun akan terganggu,” ujarnya kepada BenarNews.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati mengatakan membeli minyak mentah dari Rusia menguntungkan secara ekonomi, tapi berdampak politik.

“Dalam kasus ini yang dibutuhkan sekarang adalah kemampuan negosiasi. Bisa gak pemerintah mengatakan, ‘kami berteman dengan Barat dan Rusia?’” kata Nina kepada BenarNews.

“Atau jika mempertimbangkan presidensi G20, ya, jangan membeli sekarang, tapi setelah pertemuan G20.”

Merujuk data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi per Mei 2022, Indonesia mencatat kekurangan sekitar 500 ribu barel per hari (bph) untuk mencukupi kebutuhan domestik.

Tahun ini, produksi migas Indonesia ditargetkan 703 ribu bph sementara kebutuhan mencapai 1,4 juta bph.

Rusia selama ini tidak termasuk ke dalam negara utama eksportir minyak mentah ke Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2022, Nigeria merupakan pengekspor minyak mentah terbesar ke Indonesia, mencapai US$2,54 miliar, disusul Arab Saudi, Angola, dan Australia.

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan tak bisa memastikan apakah impor minyak mentah Rusia bakal mampu menurunkan harga bahan bakar di tanah air. “Perihal tersebut akan bergantung kepada besaran impor yang dilakukan pemerintah," kata Mamit.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.