Densus tangkap 59 terduga teroris yang diklaim akan ganggu Pemilu 2024
2023.10.31
Jakarta
Polisi Indonesia pada Selasa (31/10) mengatakan sepanjang Oktober tahun ini telah menangkap 59 terduga teroris dan mengklaim mereka berencana menggagalkan Pemilihan Umum 2024.
Juru bicara Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Komisaris Besar Polisi Aswin Siregar mengatakan 59 orang tersebut terdiri dari 40 anggota Jamaah Anshor Daulah (JAD) dan 19 anggota Jamaah Islamiyah (JI).
Penangkapan itu merupakan hasil dari operasi yang dilakukan sejak tanggal 2 hingga 23 Oktober, dengan pengembangan informasi pada 27 dan 28 Oktober dari berbagai wilayah di Indonesia, kata Aswin.
Aswin mengatakan 40 terduga teroris dari kelompok JAD merupakan pendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang dipimpin oleh seseorang berinisial AO.
“Ini adalah kelompok pimpinannya AO. Ada yang disebut dengan kegiatan yang terencana oleh kelompok ini untuk menggagalkan atau mengganggu jalannya pesta demokrasi pemilu,” ujar Aswin di Gedung Divisi Humas Polri, Jakarta, Selasa (31/10).
Aswin menerangkan mereka tersebar di berbagai wilayah termasuk Jawa Barat, Jakarta, dan Sulawesi Tengah.
“Bagi mereka, pemilu adalah rangkaian demokrasi, di mana demokrasi itu adalah maksiat, demokrasi ini adalah sesuatu yang melanggar hukum bagi mereka,” ujar Aswin.
Sementara itu, kata dia, 19 tersangka lainnya merupakan anggota JI yang ditangkap sejak selama 2 hingga 13 Oktober, dengan perincian satu orang ditangkap di Sumatra Barat, satu orang di Jawa Barat, lima orang di Sumatera Selatan, empat orang di Lampung, satu di Kalimantan Barat, dan tujuh di Nusa Tenggara Barat.
Menurut Aswin, mereka bukan sekadar simpatisan, tapi personel yang menduduki jabatan struktural di organisasi JI.
“Mereka merupakan jaringan struktural dari Jamaah Islamiyah, yang sampai saat ini belum dilakukan penegakan hukum. Ini mengingatkan lagi kepada kita bahwa jaringan struktural dari Jamaah Islamiyah masih ada dan terus eksis,” ucap Aswin.
Aswin menuturkan para terduga aktif menyebarkan propaganda terorisme dan materi-materi radikalisme di media sosial maupun dalam kegiatannya.
Aswin menampik anggapan bahwa penangkapan 59 orang ini adalah upaya pengalihan isu dari kasus lain seperti dugaan pemerasan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri.
“Kita bekerja murni karena adanya indikasi atau berupa tindakan-tindakan preventif terkait aksi terorisme. Kita berusaha mencegah di awal sebelum di tahap persiapan,” ujar Aswin.
Selain itu, Aswin menambahkan sebenarnya tidak ada peningkatan eskalasi yang tinggi terhadap ancaman keamanan di Indonesia, termasuk ancaman yang datang dari kelompok teror luar negeri yang masuk ke Indonesia.
“Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah tindakan preemtif dan preventif, jadi tindakan yang dilakukan sebelum atau pada tahap persiapan,” jelasnya.
Dengan penangkapan terbaru ini, Aswin mengatakan total sepanjang 2023 polisi telah menangkap 104 terduga teroris.
Angka ini, kata Aswin, lebih rendah dari total penangkapan tahun 2022. Ia tidak merinci angkanya lebih jauh.
Narasi anti demokrasi
Pengamat terorisme Rakyan Adibrata mengatakan dia meyakini hanya JAD, dan bukan JI, yang berpotensi melakukan teror pada saat pemilu.
“Mengapa saya bilang potensinya tinggi karena narasi anti demokrasi. Itu terlihat dari Pemilu 2019, banyak narasi-narasi aksi terorisme yang mereka rencanakan,” jelas Rakyan kepada BenarNews.
Rakyan menilai penangkapan para terduga teroris tidak berarti akan ada teror, tetapi lebih merupakan upaya antisipasi oleh Densus 88.
“Jadinya kelompok-kelompok yang punya potensi melakukan 'amaliah' ini yang ditangkapi dulu, yang tingkatannya berisiko,” jelas Rakyan.
Menurut Rakyan, aksi terorisme saat ini tidak harus lagi dengan mengebom. Ada yang menembak dengan senjata api hingga menabrakkan mobil kepada aparat keamanan.
“Itu juga aksi terorisme. Untuk JAD ini potensinya masih tinggi, apalagi karena mereka masih aktif di Indonesia,” jelas Rakyan.
Meski begitu, kata Rakyan, JI sampai kapanpun adalah satu organisasi radikal yang akan menggunakan segala cara untuk terlihat tidak berbahaya. Salah satunya adalah menggunakan narasi-narasi yang dapat diterima oleh masyarakat.
“Misalnya narasi-narasi penegakan syariah, itu adalah narasi yang biasa dipakai kelompok JI. Bukan berarti bahwa orang-orang yang menggunakan narasi penegakan syariah pasti JI lho ya,” katanya.
Pada 20 Oktober, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) melaporkan kelompok Islamis di Indonesia kemungkinan besar tidak akan memberikan pengaruh signifikan pada Pemilu 2024 atau terlibat dalam protes dengan kekerasan jika kandidat pilihan mereka kalah.
Menurut IPAC, ada beberapa alasan mengapa kelompok Islamis lebih lemah dibandingkan pada tahun 2019, salah satunya keberhasilan operasi anti-radikalisasi dengan melarang berbagai kelompok dan menangkap pemimpin mereka ditangkap seperti terjadi dengan Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia.
“Pemerintahan Jokowi telah berhasil meminggirkan kelompok-kelompok Islam terkemuka, dan tidak ada calon presiden yang akan mengandalkan dukungan mereka untuk mendapatkan keuntungan partisan,” terang IPAC.
Kekuatan JAD dan JI melemah
Sementara itu, peneliti IPAC Siswo Mulyartono tidak bisa menduga-duga apakah JAD dan JI akan benar-benar melakukan teror untuk mengganggu pemilu.
Menurut Siswo, kekuatan kelompok-kelompok tersebut semuanya melemah, baik yang bergabung dengan JAD ataupun ISIS maupun JI yang berkiblat ke Al-Qaeda.
Di Sulawesi Tengah sendiri, kata Siswo, rata-rata anggota JAD adalah mantan pengikut pimpinan Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso.
“Pemimpinnya sudah ditangkap, banyak yang ikrar setia kepada negara juga, mendukung program deradikalisasi pemerintah,” ujar Siswo kepada BenarNews.
Siswo mengatakan JI sekarang tidak memiliki program untuk melakukan teror sebagai organisasi. Sekalipun ada aksi kekerasan, itu dilakukan dalam konteks individu bukan organisasi, kata dia.
“Mereka mungkin ikut pemilu. Banyak juga orang eks-JI yang jadi calon legislator dan juru kampanye,” jelasnya.
Tak boleh langgar hak asasi
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengingatkan kepada aparat keamanan bahwa terdapat aturan hukum dalam menangkap seorang tertuduh teroris.
Menurut Usman, Pasal 28 ayat (3) UU Anti-Terorisme menyatakan pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
“Artinya, penangkapan, termasuk dalam kasus terorisme, harus mematuhi nilai-nilai HAM,” jelas Usman kepada BenarNews.
Usman menekankan terlepas dari tuduhan yang dialamatkan pada seseorang, setiap tersangka memiliki hak untuk dianggap tak bersalah hingga terbukti bersalah di pengadilan yang adil.
“Ini mencakup praduga tak bersalah, hak mengakses bantuan hukum, dan bertemu dengan keluarga selama penangkapan atau penahanan,” ujar Usman.