Program Deradikalisasi Melalui Media Sosial Belum Maksimal
2015.12.18
Jakarta
Upaya untuk mengantisipasi paham radikalisme dan terorisme di dunia maya melalui media sosial yang dilakukan oleh pemerintah dan otoritas terkait dinilai masih belum maksimal, sehingga kelompok garis keras tetap tumbuh subur di masyarakat.
Untuk itu, deradikalisasi melalui media sosial diharapkan menjadi salah satu program yang lebih gencar dan terstruktur dilaksanakan dengan melibatkan para pihak dalam upaya mencegah pengaruh kelompok ekstrimis karena mereka memanfaatkan dunia maya.
Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus di Museum Memorial Perdamaian di Banda Aceh, Jumat, 18 Desember. Diskusi yang digelar Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Aceh, dihadiri sekitar 15 orang, menghadirkan nara sumber dari kalangan akademisi, aktivis, praktisi teknologi informasi, dan perwakilan media massa.
Dedy Andrian dari Kesbangpol dan Linmas Aceh dalam pengantar awal menyebutkan kelompok radikal gencar melakukan kampanye dan pengaruhnya melalui dunia maya untuk merekrut anggota baru atau menyebarkan paham mereka. Untuk itu, katanya, perlu dipikirkan program deradikalisme melalui media sosial dalam membendung pengaruh paham terorisme.
Mudah terpengaruh
Okta Setiawan dari Komunitas Air Putih menyatakan pengguna internet di Indonesia, terutama Facebook dan media sosial lain, berusia muda dan produktif yang sangat mudah terpengaruh dengan paham-paham radikalisme dan terorisme.
Hal yang sama dikatakan Teuku Farhan, seorang ahli informasi teknologi. Menurut dia, dari 80 juta pengguna internet di Indonesia paling banyak pengakses media sosial. Apalagi, media sosial tak ada filter, sehingga sangat potensial digunakan kelompok radikal untuk mempengaruhi paham mereka.
“Malah, postingan kelompok radikal di media sosial sering dikutip dan menjadi berita di media mainstream. Dengan begitu secara tidak langsung media mainstream telah ikut menjadi bagian dari kampanye mereka,” ujarnya.
Wiratmadinata, seorang aktivis yang juga peneliti isu-isu konflik, menyatakan paham-paham radikalisme dan terorisme merupakan “alat yang digunakan para pengikutnya untuk melancarkan kehancuran karena gagalnya masyarakat sipil.”
“Ini bukan kebangkitan masyarakat sipil. Hal ini bisa dilihat bagaimana kehancuran terjadi di negara-negara Timur Tengah saat ini. Mereka memanfaatkan media sosial. Tapi, ini bukan kebangkitan sipil, melainkan kehancuran peradaban manusia akibat pengaruh paham radikal,” tegasnya.
Dia menambahkan hukum di Indonesia belum terlalu progresif dalam mengantisipasi paham-paham radikal melalui media sosial. Instrumen hukum terkesan lambat meski Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008.
“Tapi kesannya belum maksimal untuk mencegah paham-paham radikalisme melalui media sosial media,” ujarnya.
Sementara itu, Saifuddin Bantasyam, seorang pengamat hukum di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), yang menjadi fasilitator diskusi menyebutkan, media massa sering disalahkan ketika memberitakan aksi terorisme. Apalagi media terkesan menyalahkan Islam bila terjadi serangan teroris kalau pelakunya kebetulan Muslim.
“Kalau ada serangan yang pelakunya Muslim, media langsung melabel teroris. Tapi jika pelakunya bukan beragama Islam, media tak menyebut pelaku sebagai teroris,” tutur Saifuddin, yang juga Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah.
Perlu kerja keras bersama
Para peserta diskusi sepakat perlunya langkah konkret semua pihak dalam mencegah paham-paham radikalisme dan terorisme melalui media sosial di Indonesia. Selain itu, dukungan media mainstream sangat diperlukan dalam melakukan kampanye itu agar seluruh elemen masyarakat tersampaikan informasi bahwa aksi radikalisasi dan terorisme keliru.
“Harus dicoba program deradikalisasi lewat media sosial. Jika ditanya apakah efektif atau tidak belum bisa diprediksi, tapi harus segera dilakukan. Bisa saja menggandeng pengguna media sosial dari kalangan selebriti untuk mengampanyekan deradikalisasi karena mereka banyak pengikut,” kata Okta.
Said Azhar dari Dewan Dakwah meyakini kalau kelompok radikal bisa mempengaruhi paham mereka melalui media sosial, maka sudah barang tentu upaya deradikalisasi juga terbuka lebar untuk dilaksanakan.
“Tapi selama ini kesannya seperti kurang program deradikalisasi melalui media sosial dan kalaupun ada, tidak sebanding dengan apa yang dilakukan kelompok garis keras dalam mempengaruhi masyarakat,” katanya.
“Menutup situs kelompok-kelompok radikal seperti dilakukan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tidak terlalu berpengaruh karena hari ini ditutup, besok bisa dibuka lagi,” tambahnya.
Farhan mengharapkan perlu pelibatan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat dalam mencegah paham radikalisme dan terorisme. Bila perlu mereka memiliki akun media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan damai yang jauh dari pengaruh radikalisme.
“Yang juga tak kalah penting ialah mengemas informasi deradikalisasi yang gampang dipahami oleh semua lapisan masyarakat lewat sinergi antara ulama dan komunitas dunia maya,” ujarnya.
Muda Bentara, seorang aktivis media sosial, menyatakan bahwa selama ini langkah yang ditempuh untuk membendung pengaruh radikalisme dengan mengedepankan cara-cara radikal juga, sehingga tidak efektif.
“Seharusnya pola yang digunakan melalui pendidikan dan secara lembut,” katanya merujuk pada langkah yang diambil pemerintah dalam merespons aksi terorisme yang kerap mengedepankan pola kekerasan seperti penembakan yang sering dilakukan oleh Densus 88 terhadap terduga teroris.