Tarjono Slamet, Difabel yang Memotivasi Sesama
2016.06.01
Bantul
Trafo di tangannya meledak saat Tarjono Slamet (44) sedang bekerja. Kaki kirinya putus, jari jemari kedua tangannya rusak sehingga tak lagi berfungsi dengan baik.
Kecelakaan kerja yang terjadi tahun 1990 membuat Slamet terpaksa harus keluar dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) wilayah Klaten, Jawa Tengah, padahal dia baru setahun bekerja. Kejadian itu juga mengubah jalan hidupnya.
“Sejak itu, saya memakai kaki palsu,” ujarnya saat ditemui BeritaBenar, di rumahnya di Gatak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 25 Mei 2016.
Tidak mudah baginya bangkit dari keterpurukan. Butuh waktu dua tahun untuk kembali semangat. Dia belajar di Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta serta mengikuti berbagai pendidikan dan ketrampilan khusus bagi penyandang cacat.
Berkat ketekunannya, Slamet diangkat menjadi staf Yakkum. Dia mendapat kesempatan ikut pelatihan ke Selandia Baru, Australia dan Belanda – termasuk pelatihan cara menggalang dana dan pemasaran.
Pada 2003, Slamet mengajak 25 sesama difabel di Yakkum untuk bergabung dengan CV Mandiri Craft, yang didirikannya dengan memakai tabungan dan warisan orang tuanya. Mereka memproduksi mainan anak-anak. Berbekal ilmu yang diperolehnya saat mengikuti berbagai pelatihan, Slamet tidak mengalami kesulitan memasarkan kerajinan tangan yang mereka buat.
Hingga tahun 2006, jumlah pegawai CV Mandiri Craft menjadi 50 orang. Semuanya adalah difabel. Mereka tak hanya dari Yogyakarta, tapi juga dari sejumlah daerah di Indonesia. Mereka yang dari luar Yogyakarta diizinkan menumpang di lokasi produksi Mandiri Craft.
“Dalam tiga tahun itu produksi kami sudah bagus sekali. Pasar kami sudah masuk di seluruh Indonesia,” tutur Slamet.
Kembali jatuh
Saat usahanya sedang berkembang, kemalangan kembali menimpa. Gempa bumi 27 Mei 2006 merobohkan tempat produksi Mandiri Craft dan merusak seluruh mesin yang berjumlah 15 unit. Seorang rekannya tewas akibat gempa 6,2 Skala Ritcher yang mengguncang selama 57 detik.
“Saya collapse, empat bulan tak berbuat apa-apa. Semuanya rusak, teman-teman saya yang berasal dari luar Jawa saya pulangkan,” kenang Slamet.
Seiring banyaknya relawan kemanusian membantu korban gempa, Slamet pun bersemangat kembali. Dia mendapatkan bantuan dari Palang Merah Belanda, Palang Merah Jepang, Palang Merah Malaysia, France Handycap, dan Caritas Jerman. Bantuan itu berupa dana, bangunan dan pelatihan.
Slamet pun mengubah konsep usaha. Ia mengajak para difabel korban gempa untuk bergabung, disamping rekan-rekannya dulu. Dari 65 sahabat Slamet ketika memulai kembali usahanya, 40 persen adalah korban gempa.
Tarjono Slamet menunjukkan sejumlah hasil kerajinan tangan buatan para difabel di Yayasan Penyandang Cacat Mandiri di rumahnya di Bantul, Yogyakarta, 25 Mei 2016. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Menjadi motivator
Mengajak difabel korban gempa yang belum punya keahlian membawa tantangan sendiri. Tak hanya itu, mereka masih dibayangi trauma gempa dan adaptasi dengan kondisi baru dari normal menjadi cacat.
“Saya saja dulu butuh waktu lama, sementara mereka selain cacat juga ada yang kehilangan keluarga, harta dan mata pencaharian,” tutur Slamet, yang mendirikan Yayasan Penyandang Cacat Mandiri.
Dia memberitahu rekan-rekannya bagaimana melatih difabel korban gempa: penuh kesabaran dan trik khusus agar mereka tidak terhanyut dalam lamunan dan kesedihan.
“Kita turuti kemauan mereka, kita maklumi keterbatasan mereka dan kita bekali program yang padat agar tidak lupa. Kita juga selalu mengajak bercanda setiap kali mereka mulai melamun,” papar Slamet.
Butuh waktu setahun membangkitkan korban gempa. Slamet selalu menyemangati mereka. “Mereka mau melanjutkan hidup, itu yang penting,” tutur Slamet yang tak mempedulikan hasil produksi selama setahun tersebut.
Sawiji (45), adalah seorang rekan Slamet di Mandiri Craft yang sama-sama menjalani pelatihan di Yakkum Yogyakarta. Pengidap polio sejak kecil dan pengguna kursi roda bergabung dengan Mandiri Craft akhir tahun 2006. Ia melakukan semua pekerjaan: memotong kayu, mengampelas, dan mengukir.
“Saya senang di sini karena kami sangat dihargai dan saya senang bertemu teman-teman senasib sepenanggungan,” tutur Sawiji.
Di mata Sawiji, sosok Slamet punya pengaruh besar bagi seorang difabel untuk tetap produktif. Jika di luar banyak orang memandang difabel sebelah mata, Slamet justru mendorong mereka untuk mandiri.
Iskandar (31) juga bersyukur ikut bersama Mandiri Craft. Ia sempat kebingungan saat tak bisa berjalan setelah tertimpa reruntuhan rumahnya ketika gempa 10 tahun lalu. Dia terpaksa berhenti bekerja dari tempat produksi kerajinan Meubel di Kaliurang.
“Semangat hidup saya bangkit lagi setelah bekerja di sini, saya tahu saya tidak sendiri,” ujarnya.
Mandiri Craft sudah punya dua showroom yaitu di Jalan Parangtritis KM 7,5 Bantul dan di Jalan Parangtritis KM 9 Bantul, yang dibangun Palang Merah Jepang. Produksi Mandiri Craft juga telah merambah pasar mancanegara dan rutin mengekspor satu kontainer ke Jepang, Belanda, Australia dan Jerman setiap tiga bulan sekali.
“Kalau pasar sepi, pendapatan Rp50 juta per bulan. Jika pasar ramai bisa mencapai Rp150 juta perbulan,” terang Slamet mengenai pendapatan yang mereka peroleh.
Berkat usahanya membangkitkan semangat para difabel korban gempa Yogyakarta, Slamet sering diundang menjadi motivator di berbagai daerah di Indonesia. Dia tak hanya memotivasi para difabel, tetapi juga mereka yang normal secara fisik, supaya tak mudah putus asa dan segera bangkit bila terkena musibah.
“Hidup tak selalu mudah, yang penting kita selalu bergerak dan berusaha,” demikian pesan dari difabel yang tidak pernah menyerah terhadap keterbatasan ini.