Pendaki difabel daki Gunung Kawi, awali misi “Disability Seven Summits Indonesia”
2024.12.17
Malang
Langkah demi langkah, tubuh-tubuh itu terus bergerak di lereng Gunung Kawi di Kabupaten Malang, meski tanah basah dan akar pohon licin kerap menghambat.
Selama tiga hari, 5-7 Desember, Difabel Pencinta Alam (DIFPALA) membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk menaklukkan alam. Pendakian Puncak Batu Tulis, Gunung Kawi (2.603 mdpl), memulai misi “Disability Seven Summits Indonesia” yang menargetkan pendakian tujuh gunung tertinggi di Tanah Air.
Pendakian inklusif ini melibatkan 27 pendaki, sembilan di antaranya penyandang disabilitas. Mereka berasal dari berbagai latar belakang hambatan fisik, netra, rungu, hingga cerebral palsy (kelumpuhan otak).
Namun, tekad yang terpancar jelas membuat pendakian ini lebih dari sekadar penaklukan puncak—ini adalah langkah nyata membuka mata publik bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk menaklukkan ketinggian.
Farouq Uz Zaman Al Qodry, pendaki dengan disabilitas fisik, berkisah bagaimana akar pohon yang melintang, tanah berlumpur, hingga kemiringan tajam memaksa para pendaki dengan kekurangan fisik untuk beradaptasi dengan cara unik.
“Kaki saya menyentuh di pinggiran akar agar bisa berpegangan di pohon, kalau tidak, bisa terpeleset, “ kata Farouq.
Dengan adaptasi, ia terus bergerak, berpegangan pada semangat tim yang tak kenal lelah.
“Bisa dibilang tongkat saya kurang berperan banyak dalam pendakian, soalnya kurang efektif juga karena pipa bolong sering masuk tanah, “ ujarnya.
Hujan deras menyambut pendakian, menjadikan jalur semakin licin. Kholilurrohman, pendaki tunanetra yang sudah merasakan dinginnya Semeru, mengakui medan Gunung Kawi memaksanya ekstra hati-hati.
“Saya sempat terpeleset. Tapi alhamdulillah, saya menikmati ini,” tuturnya sambil tersenyum.
“Dengan kondisi netra, sabar dan telaten. Meraba-raba dengan tongkat, ada akar, lubang, medan berlumpur dan licin, “ tambahnya.
Sementara itu, di tengah rintangan akar pohon, Wahyudi—anggota DIFPALA—harus berjuang melawan kram kaki.
“Perjalanannya cukup menantang dan ekstrem tapi cukup mengesankan,’’ ujarnya. ’’Mungkin awal Januari mendaki lagi.”
Di balik pendakian ini, ada pesan kuat tentang inklusivitas dan kesetaraan. DIFPALA bersama LINKSOS, organisasi pendukung utama, ingin menghapus pandangan bahwa penyandang disabilitas selalu menjadi pihak yang bergantung.
‘’Selama ini masyarakat memandang penyandang disabilas orang yang tidak mampu, tidak memiliki keterampilan, orang yang selalu dibantu,’’ ujar Kikin Purnawirawan Tarigan Sibero, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas.
‘’Tapi dengan kegiatan ekstrem seperti ini membuktikan bahwa teman-teman memiliki kemampuan yang sama dengan non disabilitas walaupun dalam beberapa hal harus didampingi sesuai dengan hambatan masing-masing.’’
Para pendaki tunanetra, misalnya, didampingi pemandu untuk menuntun jalur.
Meskipun hanya tujuh pendaki, dua di antaranya dari kelompok difabel, yang berhasil mencapai puncak karena cuaca buruk, keberhasilan ini adalah awal yang berharga.
Misi melawan stigma
Pendakian ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga upaya menciptakan kesetaraan dan inklusivitas, ujar Fatimah Asri Muthmainah, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, yang ikut mendaki.
“Motivasi saya membersamai teman-teman, sama-sama membuktikan bahwa disabilitas punya cara berbeda, cara makan, cara berinteraksi, berkomunikasi bahkan naik gunung,’’ ujar Fatimah. ‘’Biar masyarakat tahu, betul ada hambatan tapi dengan cara kami, bisa dilewati kok.’’
‘’Tujuannya, disabilitas punya hak untuk bahagia, mengeksplorasi, menyalurkan bakat. Kalau memang passion-nya gunung kenapa tidak?’’ ujarnya. ‘’Kami memang punya hambatan tetapi bisa sampai ke puncak.’’
Setelah sukses di Gunung Kawi, DIFPALA dan LINKSOS, sebagai pendukung utama, tengah merancang pendakian kedua. Rencana perjalanan berikutnya adalah Gunung Sibayak di Sumatra Utara atau Gunung Tanggamus di Lampung.
Lebih dari sekadar ekspedisi, DIFPALA berharap bisa menginspirasi gerakan inklusif serupa di berbagai daerah.
“Kami juga bisa menjadi champion utuk menyampaikan mencintai alam dan menjaga kebersihan. Yang utama, eliminasi stigma,’’ kata Fatimah. ‘’Ada yang menderita cerebral palsy, tapi gerakannya seperti Spiderman.’’