Bali, ketika pariwisata “di luar kendali” merambah pertanian dan budaya

Warga lokal khawatir atas dampak turisme terhadap lahan, lingkungan, dan tradisi mereka.
Luh De Suriyani
2023.06.01
Tegalallang, Bali
Bali, ketika pariwisata “di luar kendali” merambah pertanian dan budaya Made Satri meletakkan sesajen di sebuah tempat persembahyangan yang terbuat dari rangkaian bambu di sawahnya di Tegallalang, Bali, 21 Mei, 2023.
Luh De Suriyani/BenarNews

Made Satri berjalan meniti tepian sawah miliknya dan meletakkan sesajen, persembahan berupa nasi kuning dari beras hasil panennya di atas sebuah tempat persembahyangan sederhana dari rangkaian bambu. Ia pun melantunkan doa kepada Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan bagi umat Hindu.

Satri, 60, dan suaminya merupakan sedikit dari warga lokal yang masih bertahan menggarap tanah di Tegalallang, sebuah area persawahan di Bali, yang terkenal dengan keindahan panorama padinya.

Area yang semula hanya berupa hamparan hijau padi yang berundag-undag, kini telah dikelilingi dengan struktur beton; kafe, restoran dan bahkan kolam renang.

“Kami tidak akan pernah menjualnya, berapa pun uangnya,” kata Satri tentang sawahnya, yang luasnya sekitar 45 are (4.500 meter persegi). Alasannya, sawah tersebut dari orang tua, dan akan mereka wariskan juga ke anak laki-lakinya yang berkebutuhan khusus yang saat ini hanya bisa bekerja di rumah.

Pasangan suami istri itu membuka warung sederhana menjual air kemasan dan kartu pos sambil bercocok tanam padi. Satri dan suaminya tidak menjual hasil panennya; mereka mengonsumsinya sendiri.

Kisah mereka merefleksikan dilema yang dihadapi Pulau Dewata itu saat mencoba menyeimbangkan warisan budaya dan lingkungannya dengan tuntutan pembangunan ekonomi.

Bali telah lama menjadi magnet bagi wisatawan dari seluruh dunia. Namun, pariwisata juga menimbulkan tantangan seperti kepadatan penduduk, polusi, konversi lahan, dan erosi budaya di pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu.

Satri kini menjadi saksi bagaimana Tegallang semakin dipadati bangunan permanen. Jika awalnya turis hanya minum kopi atau makan di tengah sawah, kini mereka berendam di kolam renang dengan air yang terus mengucur. Kontras dengan para petani yang bekerja keras membersihkan saluran irigasi airnya, di Bali dikenal dengan sistem subak.

Bagi Bali, subak bukan hanya sistem pengairan yang mengatur distribusi air antar sawah, namun juga merupakan lembaga sosial dan keagamaan yang memupuk keharmonisan komunal dan penghormatan terhadap alam.

Keunikan subak tersebut bersama lanskap teraseringnya yang tersebar di lima kabupaten di Bali, salah satunya Tegalallang, dicatat oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia pada 2012.

Namun ketika turisme merambah wilayah persawahan, warisan itu terancam punah.

Wisatawan berjalan di dekat sawah yang diairi oleh sistem irigasi tradisional yang disebut “subak” di Bali, 18 April 2022. [Tatan Syuflana/AP]
Wisatawan berjalan di dekat sawah yang diairi oleh sistem irigasi tradisional yang disebut “subak” di Bali, 18 April 2022. [Tatan Syuflana/AP]

“Membangun surga”

Pembangunan dan pertumbuhan populasi di Bali, memberi tekanan besar pada sumber daya air, hal yang diperparah oleh salah urus sumber daya, demikian kata akademisi dan pencinta lingkungan.

Menurut data pemerintah daerah, pada 2020 terjadi kehilangan lahan pertanian terbesar dalam sejarah di Pulau Surga, salah satu julukan yang diberikan kepada Bali, dengan 1.200 hektar dikonversi menjadi peruntukan lain.

“Pariwisata telah menjadi masalah ketidakadilan agraria, budaya dan sosial,” kata laporan tersebut.

Laporan lainnya yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Transnational Institute, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amsterdam, menemukan bahwa pariwisata sering menggusur petani dari tanah mereka, mengambil sumber daya air secara berlebihan dan mencemarinya, serta mengikis keragaman dan warisan varietas padi lokal.

Laporan tersebut juga menyebut bahwa Bali telah kehilangan hampir 25 persen lahan pertaniannya dalam 25 tahun terakhir, sementara populasi dan industri pariwisatanya berkembang secara signifikan masing-masing sebesar 66 persen dan 330 persen.

Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Tabanan, I Gusti Nyoman Omardani, mengatakan 3.100 hektar tanaman padi di sana akan diganti dengan kawasan wisata karena ladang menjadi kurang produktif dalam beberapa tahun terakhir akibat kurangnya irigasi, portal berita Bali Sun melaporkan.

Made Satya Bhuana, anak muda Tegallalang, mengakui risau dengan perubahan yang terjadi di kampungnya. Ia mengatakan mendengar cerita lucu petani yang menyewakan pohon ke investor atau lahan yang disewakan ke investor tanpa memperoleh uang, hanya janji mendapatkan bangunan bekas.

“Tegallalang terkenal dengan kesenian dan kerajinan. Ubud terkenal karena guest house. Turis bisa mengalami hidup sehari-hari orang Bali,” ingat Satya, merefleksikan perubahan yang terjadi. Namun kini ada kecenderungan turis memilih menyewa villa atau membuat villa sendiri di lokasi-lokasi sepi dengan panorama alam eksotis, ungkapnya.

Kepala Pariwisata Bali Cokorda Bagus Pemayun mengakui Bali makin didominasi free individual traveler, bukan grup-grup yang dihandel travel agent lagi. Kecenderungannya wisata alam yang berdampak pada pembangunan akomodasi di kawasan hijau. Ia menyebut orang asing tidak bisa membuat villa sendiri kecuali melalui skema investasi penanaman modal asing minimal Rp 10 milyar.

Pihaknya belum memetakan pelanggaran tata ruang dari pembangunan akomodasi atau atraksi wisata alam ini. “Kami belum punya datanya, dalam tata ruang sudah ditentukan kawasan wisata yang bisa membangun akomodasi,” sebutnya.

Dia mengatakan, pemerintah provinsi telah mendesak penghentian pembangunan hotel, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan pemberian izin kepada pemerintah daerah.

Pemandangan sawah di Tegallalang, Bali, 21 Mei 2023. [Luh De Suriyani/BenarNews]
Pemandangan sawah di Tegallalang, Bali, 21 Mei 2023. [Luh De Suriyani/BenarNews]

Dilema pariwisata

Industri pariwisata Bali telah berkembang pesat sejak tahun 1970-an, ketika para hippie dan peselancar menemukan pesona pantai kawasan itu. Bali yang berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa, sekarang menerima lebih dari 6 juta pengunjung setiap tahunnya, kebanyakan dari Australia, China dan Eropa.

Penelitian menunjukkan bahwa pariwisata secara langsung atau tidak langsung menyumbang lebih dari 80% ekonomi pra-pandemi di pulau itu.

Covid-19 menghantam pariwisata Bali, membuat jumlah pengunjung anjlok dan menyebabkan kerugian hingga 9,7 triliun rupiah sebulan pada awal tahun 2020, menurut Wakil Gubernur Tjok Oka Artha Ardhana.

Kedatangan wisatawan manca negara pulih menjadi 2,1 juta tahun lalu, tetapi angka itu jauh dari 6,3 juta turis asing yang berkunjung pada 2019, demikian data dari Biro Pusat Statistik Indonesia.

Masuknya turis asing bangkit kembali tahun ini, namun banyak dari mereka yang memicu kemarahan penduduk lokal karena perilaku wisatawan yang tidak menghormati peraturan dan tradisi setempat.

Selama Januari-Mei 2023 setidaknya 129 warga negara asing (WNA) dideportasi, tersangkut pidana 15 orang.

Kasusnya beragam seperti penyalahgunaan visa, pidana, pelecehan pura, berperilaku buruk seperti telanjang di tempat sakral. Jumlah ini diluar 1.100 WNA yang ditindak karena melanggar lalu lintas.

Perilaku buruk tersebut membuat Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan daftar hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan bagi wisatawan.

Sebagian orang Bali merasa bahwa budaya mereka telah dikomodifikasi dan dikompromikan untuk pariwisata massal.

I Made Sarjana, dosen pertanian Universitas Udayana yang meneliti dampak pariwisata dan pertanian, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak petani yang menyewakan atau menjual tanah mereka untuk vila atau fasilitas lainnya.

“Begitu masa sewa berakhir, lahan sudah berubah dan tidak bisa dikembalikan menjadi lahan pertanian,” ujarnya.

Hal itu, kata dia, bertentangan dengan tujuan awal pembangunan pariwisata, yakni mengurangi ketimpangan pendapatan antara petani yang menjadi aset utama pariwisata Bali dengan pekerja di bisnis pariwisata.

Konsep wisata back to nature juga dinilai bertolak belakang dengan harapan karena makin banyak memprivatisasi kawasan seperti pertanian atau lokasi-lokasi eksotis. Di sisi lain Sarjana melihat pengembangan wisata ini bisa tidak terkontrol karena persaingan makin tinggi dengan ditetapkannya sejumlah daerah wisata super prioritas lain di Indonesia.

Tantangan Bali terletak pada bagaimana memitigasi dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi, ujarnya.

“Meski dalam situasi sekarang, Bali masih bisa bertahan, tapi tanpa pariwisata tidak mungkin,” ujarnya dalam diskusi publik oleh media jurnalisme warga Bali, Balebengong.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan pemerintah berencana menerapkan kebijakan yang akan melestarikan warisan Bali dan menguntungkan ekonomi lokal.

“Kami berkomitmen untuk melestarikan budaya dan lingkungan Bali secara berkelanjutan dan berkualitas yang kami yakini dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Sandiaga dalam pernyataan tertulis.

Tapi I Wayan Wilyana, yang menjalankan sebuah biro perjalanan, pesimis.

“Ini sudah di luar kendali,” dengan banyak fasilitas akomodasi dan atraksi yang melanggar peraturan tata ruang, keluhnya, “pariwisata tidak lagi menjanjikan seperti dulu.”

Ritual sakral telah menjadi profan untuk memenuhi permintaan para wisatawan, paparnya, sebagai contoh ritual penyucian diri Hindu yang dikenal sebagai melukat.

“Sekarang melukat tidak melulu tentang spiritual. Kebanyakan tamu saya just for fun,” jelasnya.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.