Djoko Tjandra dan 2 Polisi Penerima Suap Terancam 5 Lima Tahun Penjara
2020.11.02
Jakarta
Mantan buron kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra, beserta tiga orang yang terlibat dalam kongkalikong penghapusan red notice agar mantan pengusaha itu bisa kembali ke Indonesia secara sah menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (2/11), dengan keempatnya sama-sama terancam hukuman lima tahun penjara karena memberi dan menerima suap.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Djoko dituduh telah menggelontorkan total uang hampir Rp16 miliar untuk memuluskan proses penghapusan dirinya dari DPO dan melancarkan proses hukum Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Dari total itu, sekitar Rp8 miliar untuk duo jenderal dan sisanya digunakan menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar sekitar Rp7,35 miliar.
Dua jenderal polisi yang membantu pengurusan penghapusan red notice Djoko adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
"Bersama terdakwa Tommy Sumardi, terdakwa (Djoko Tjandra) memberi uang kepada Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo untuk menghapus namanya dari DPO," kata jaksa Zulkifli, membacakan dakwaan Djok, Senin.
Djoko menolak dakwaan meski menurut kuasa hukumnya, Soesilo Aribowo, pengusaha ini tidak mengajukan nota keberatan. Djoko terancam hukuman lima tahun penjara karena melanggar UU Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman hukuman yang sama juga diterima Napoleon karena menerima suap senilai total Rp6 miliar, sementara Prasetijo menerima senilai total Rp2,1 miliar dari Djoko melalui perantara Tommy. Namun dalam dakwaan Jaksa, Napoleon sempat dilaporkan meminta imbalan lebih dari Tommy.
"Terdakwa Napoleon tidak mau menerima nominal tersebut dan mengatakan, 'Ini apaan segini? Enggak mau saya. Naik jadi tujuh (miliar), soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang menempatkan saya kan Beliau. Petinggi kita ini'," kata Jaksa Erianto, menirukan pernyataan Napoleon tanpa merinci siapa petinggi Polri yang dimaksud dalam dakwaan.
Menyusul surat Napoleon tersebut, lanjut jaksa, Direktorat Jenderal Imigrasi kemudian menganulir status DPO Djoko Tjandra melalui surat bertanggal 13 Mei 2020. Nama Djoko Tjandra pun raib pada Sistem Informasi Keimigrasian.
"Terdakwa Irjen Napoleon memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham tanggal 29 April 2020 untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO)," kata Jaksa.
Tommy juga menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas dakwaan memberikan atau menjanjikan uang kepada pejabat negara dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.
Haposan Batubara, kuasa hukum Napoleon, menyebut dakwaan untuk kliennya yang menghapus DPO di Imigrasi sebagai tuduhan yang janggal. "Itu di luar kewenangan Beliau sebagai polisi. Jadi menurut saya, dakwaan yang dibacakan tadi (dakwaan) janggal dan aneh," kata Haposan saat dihubungi BenarNews.
Haposan mengatakan pihaknya akan mengajukan nota keberatan dalam sidang lanjutan yang digelar Senin pekan depan.
Sementara Napoleon seusai persidangan menyatakan keberatan dengan dakwaan jaksa seraya menyebut, "Kebenaran sejati akan dibuktikan di persidangan."
Mengomentari dakwaan Napoleon yang menyebut ia meminta tambahan uang untuk petinggi polisi, Juru Bicara Polri Kombes Ahmad Ramadhan hanya mengatakan, "Biarkan sidang berjalan, kita tunggu saja."
Selain dua jenderal polisi, jaksa Pinangki, dan Tommy, dua orang lain juga terseret dalam kasus red notice Djoko Tjandra, yaitu mantan pengacara Anita Kolopaking dan politikus Andi Irfan yang merupakan perantara Djoko dengan Pinangki.
Adapun Jaksa Pinangki telah lebih dulu menjalani sidang dengan dakwaan menerima suap senilai USD 500 ribu dari Djoko Tjandra dan terancam hukuman maksimal lima tahun penjara.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti berharap rangkaian persidangan kasus Djoko Tjandra dapat menguak kasus hingga tuntas. "Jangan sampai berhenti pada mereka yang kini sudah disidang,” pungkas Ray.
Kronologi suap menyuap
Merujuk dakwaan yang dibacakan di persidangan, keterlibatan Napoleon dan Prasetijo bermula dari niatan Djoko Tjandra untuk kembali ke Indonesia pada awal April 2020, demi mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya di Mahkamah Agung. Kala itu, ia berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Djoko menyampaikan niatnya itu kepada Tommy dan meminta rekannya untuk menanyakan status red notice-nya ke Divisi Hubungan Internasional Polri yang saat itu dipimpin Napoleon. Dalam percakapan itu pula, Djoko mengatakan kepada Tommy bahwa dirinya siap menjanjikan Rp10 miliar bagi siapa pun yang bisa membantunya masuk ke Indonesia dengan aman.
Tommy lantas menemui Prasetijo yang saat itu menjabat Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim. Oleh Prasetijo, Tommy kemudian diantar menemui Napoleon.
Setelah pertemuan tersebut, Djoko Tjandra melalui istrinya lalu mengirimkan dokumen permohonan penghapusan red notice kepada Tommy dan diteruskan kepada Prasetijo. Prasetijo disebut jaksa sempat meminta anak buahnya menyunting surat tersebut sebelum menyerahkan kembali kepada Tommy.
Pada 16 April, Tommy kembali menemui Napoleon di ruang kerjanya di lantai 11 Gedung Trans-National Crime Center Mabes Polri, Jakarta, untuk menanyakan status red notice Djoko dan diminta datang lagi keesokan harinya.
Hari berikutnya, Tommy kembali menemui Napoleon. Saat itu pula Napoleon disebut secara blak-blakan menuntut imbalan.
"Dalam pertemuan tersebut, terdakwa Napoleon menyampaikan bahwa red notice Djoko bisa dibuka karena Lyon (markas besar Interpol) yang membukanya," seraya menambahkan, "saya bisa buka, asal ada uangnya," terang Jaksa dalam persidangan.
Tommy kemudian melaporkan permintaan Napoleon kepada Djoko, dan diberikan uang USD 100 ribu. Uang itu lalu dibawa Tommy ke Napoleon, tapi di tengah jalan setengah jumlah uang tersebut diminta Prasetijo. Masing-masing dari mereka menerima USD 50 ribu.
Napoleon lantas menolak dan meminta tambahan hingga total Rp7 miliar yang belakangan diberikan Tommy dalam beberapa tahap.
Setelah mencukupi, Napoleon lantas memerintahkan anak buah Kombes Tommy Aria Dwianto untuk menerbitkan surat pembaruan data Interpol yang berisi penghapusan red notice Djoko Tjandra ke Ditjen Imigrasi. Surat tersebut menyatakan bahwa Djoko Tjandra telah dihapus dari DPO sejak 2014.