Pengamat: UU Dewan Pertimbangan Presiden "karpet merah bagi Jokowi"
2024.09.19
Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis mengesahkan Rancangan Undang-undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang menjadikan badan itu lembaga negara dan menghapus batasan keanggotaan yang sebelumnya delapan orang menjadi sesuai dengan kebutuhan presiden.
Para analis menilai kebijakan itu, yang disetujui oleh seluruh partai politik, diteken oleh koalisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memberikan wadah bagi Presiden Joko “Jokowi” Widodo setelah tidak lagi menjabat pada 20 Oktober.
DPR juga mengesahkan RUU Kementerian Negara yang memberikan keleluasaan bagi Prabowo untuk memiliki anggota kabinet lebih dari 34 menteri karena ketentuan itu kini telah dihapus, memungkinkan presiden terpilih berbagi kekuasaan dengan mitra koalisi multipartai.
Ketua Badan Legislasi DPR Wihadi Wiyanto dari Partai Gerindra menyebut hasil pembahasan RUU tentang perubahan atas Undang-undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2006 terdiri dari delapan perubahan.
Pertama, perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia.
“Kedua, perubahan pasal dua terkait tanggung jawab Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia kepada Presiden dan Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini,” ucap Wihadi.
Selanjutnya perubahan terkait komposisi Wantimpres yang sebelumnya terdiri dari seorang ketua, merangkap anggota, dan delapan anggota, kini jumlahnya diserahkan kepada presiden.
Wakil Ketua Badan Legislasi Achmad Baidowi menuturkan perubahan UU Kementerian Negara 2008, yang didalamnya menghapus batasan maksimal 34 menteri untuk memudahkan presiden menyusun kabinet agar pemerintahan lebih demokratis dan efektif.
“Perubahan pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai kebutuhan presiden,” kata Baidowi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas meyebutkan bahwa pemerintah pada prinsipnya memahami dan mendukung sepenuhnya penyusunan RUU Wantimpres.
“Peran Wantimpres menjadi krusial sebagai sumber pandangan dan saran yang independen dan strategis. Dengan demikian, perubahan ini diharapkan mampu memperkokoh kedudukan Wantimpres,” ungkap Azwar mewakili pemerintah di DPR.
Selain itu, dia mengatakan prinsip dasar yang menjadi dasar dalam mengesahkan RUU Kementerian Negara yaitu demi berjalannya efektivitas pemerintahan.
“Penyusunan RUU Kementerian Negara adalah langkah strategis untuk memperkuat koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/lembaga dalam menyukseskan pembangunan nasional yang berdampak bagi masyarakat,” ujar Azwar.
'Karpet merah bagi Jokowi'
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan menjadikan Wantimpres sebagai lembaga negara dipersiapkan oleh koalisi Prabowo kepada Jokowi usai tak lagi menjabat.
“Ini karpet merah bagi Jokowi. Oligarkinya semakin kental. Dia tetap akan punya kuasa dan pengaruh kuat di pemerintahan Prabowo,” jelas Trubus kepada BenarNews.
Menurut Trubus, jika Jokowi masuk menjadi ketua maupun anggota Wantimpres, hal itu tidak baik bagi demokratisasi Indonesia ke depan.
“Jelas Jokowi masih bisa cawe-cawe ke depan dengan posisi barunya di Wantimpres dan ini bisa diikuti oleh presiden-presiden selanjutnya yang ingin tetap berkuasa,” ujar Trubus.
Menurut Trubus, banyak anggota Wantimpres yang ditunjuk pemeritnah tidak berkaitan dengan isu ekonomi dan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan publik saat ini.
“Seharusnya anggota Wantimpres diisi oleh para teknokrat dan akademisi,” jelas dia.
Senada dengan Trubus, pengamat politik Universitas Airlangga Ali Sahab menyarankan Wantimpres lebih baik ditempati orang-orang yang mempunyai visi yang bagus dalam bernegara dan lebih mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan politik praktis.
“Namun jika lembaga tersebut dibuat untuk memfasilitasi seseorang supaya tetap berperan dalam pengambilan kebijakan, saya rasa itu kontraproduktif,” ujar Ali kepada BenarNews.
Ali belum tahu siapa saja yang akan masuk mengisi posisi Wantimpres. “Namun yang pasti jika lembaga itu diisi orang-orang yang justru menimbulkan konflik kepentingan pasti akan terjadi matahari kembar dalam pemerintahan Prabowo.”
“Secara prinsip demokrasi tidak sepenuhnya salah, tapi jika output dan outcome-nya tidak untuk sepenuhnya masyarakat dan negara, ya nanti masyarakat akan menjadi kontrol sosial dan politik ketika partai politik mengalami disfungsi,” kata dia.
Politik akomodasi koalisi gemuk
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan perubahan formasi Wantimpres dan kementerian ini sebagai politik akomodasi, konsekuensi koalisi besar pendukung Prabowo Gibran pada Pilpres 2024.
“Jadi jargon ‘Gemoy’ bukan hanya kampanye, tapi saat menyusun kabinet juga, ini jauh dari substansi efektivitas dan efisiensi pemerintahan,” ujar Charles pada BenarNews.
Menurut Charles, meskipun menteri-menteri adalah hak prerogatif presiden, seharusnya hal itu tetap memperhatikan prinsip check and balances. Salah satu cara mengimplementasikan prinsip tersebut adalah dengan membatasi jumlah kementerian atau struktur di bawah eksekutif.
Pesan ini, menurut Charles sebenarnya ada pada UU Kementerian sebelumnya yang membatasi jumlah kementerian hingga 34.
“Rupanya pesan dari pembentuk UU sebelumnya ini dilupakan, pembatasan ini sebenarnya dimaksudkan agar presiden tidak tersandera politik akomodasi dan bisa melakukan kontrol efektif,” ujar dia.
“Lagi-lagi pertimbangan politik yang muncul dan membebani itu rakyat. Pemerintahan ke depan itu gemuk di struktur dan miskin fungsi,” tambah dia.
Pembagian kekuasaan, menurut dia, bisa saja dilakukan, tapi pada ruang yang terbatas.
“Pejabat setingkat menteri itu orang-orang pilihan dan mampu bekerja membawahi kerja-kerja besar dan mampu menerjemahkan keinginan presiden. Bukan hanya duduk karena representasi politik,” ujar dia.
Trubus juga menilai perluasan kementerian sangat tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan.
Menurut dia, kabinet yang berisi 34 kementerian yang selama ini dijalankan Presiden Jokowi saja sudah banyak tumpang tindih.
Dia mencontohkan tugas Kementerian Pertanian banyak bersinggungan dengan Badan Urusan Logistik, Badan Pangan Nasional, dan terakhir dibentuk Badan Gizi Nasional.
“Kebijakannya banyak yang bertabrakan. Dampaknya ini jadi membebani APBN,” ujar dia.
Begitu juga, lanjut dia, dengan urusan kepegawaian yang ditangani Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara.
“Padahal kita juga memiliki Menteri Tenaga Kerja, kenapa tidak ditangani mereka dengan membentuk Dirjen Aparatur Sipil Negara dan Dirjen Non-Aparatur Sipil Negara?” tanya dia.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini