DPR Minta Operasi Tinombala di Poso Segera Dituntaskan

Aktivis LPS-HAM Sulawesi Tengah menilai berlarut-larutnya Operasi Tinombala di Poso hanya menghabiskan uang negara.
Keisyah Aprilia
2017.05.09
Palu
170509_ID_Poso_1000.jpg Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K. Harman (kanan), didampingi Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi (tengah), menjawab pertanyaan wartawan terkait Operasi Tinombala saat kunjungan kerja di Palu, 8 Mei 2017.
Keisyah Aprilia/Berita Benar

Komisi III DPR RI mendesak Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala untuk segera menuntaskan pengejaran sekitar sembilan sisa anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman, meminta keseriusan aparat keamanan untuk menyelesaikan sisa kelompok sipil bersenjata yang pernah dipimpin Santoso alias Abu Wardah karena selama masa perpanjangan operasi, tak seorang militan pun yang tertangkap.

"Laporan yang kami terima, pengejaran kelompok radikal di Poso masih berlangsung dan membutuhkan waktu untuk dituntaskan. Mau sampai kapan?" katanya kepada wartawan saat melakukan kunjungan kerja di Palu, ibukota Sulteng, Senin, 8 Mei 2017.

Santoso, tewas dalam kontak senjata dengan pasukan TNI pada 18 Juli 2016 di kawasan pegunungan Tambarana. Pengganti Santoso yaitu Basri alias Bagong juga sudah ditangkap aparat keamanan pada 14 September lalu.

Menurut Benny, jika perpanjangan operasi keamanan selama tiga bulan ke depan belum juga membuahkan hasil, sepatutnya diberhentikan.

Selain memburu sisa anggota MIT, tambahnya, perlu dilakukan membendung pengaruh paham radikal di tengah masyarakat.

"Dalam operasi juga membutuhkan anggaran cukup besar. Kalau itu terus berlarut-larut tanpa penyelesaian, otomatis merugikan keuangan negara," imbuh Benny.

Satgas berupaya

Kapolda Sulteng, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi, mengatakan sisa anggota MIT diperkirakan masih bersembunyi di hutan Poso.

Pihaknya terus berupaya agar kelompok yang telah terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu bisa ditangkap atau menyerahkan diri.

"Satgas terus berupaya di Poso, termasuk melakukan pendekatan pada sejumlah pihak keluarga mereka agar mau menyerahkan diri," ujarnya.

Operasi Tinombala, kata Rudy, diperpanjang selama tiga bulan terhitung mulai 4 April hingga 4 Juli 2017, dengan melibatkan sekitar 1.800 personel gabungan TNI dan Polri untuk mengejar dan menangkap sembilan militan yang tersisa.

"Operasi ini pun tidak bisa serta-merta dihentikan jika tidak ada instruksi langsung dari pusat. Apalagi operasi masih berjalan dan sembilan anggota MIT masih bersembunyi di wilayah Poso," tegasnya.

Imbauan Pemkab Poso

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso terus mengimbau agar pengikut MIT segera menyerahkan diri kepada aparat keamanan agar bisa hidup lebih aman. Imbauan itu dikeluarkan menyusul maklumat Polda agar mereka menyerahkan diri.

"Saya mengimbau kawan-kawan yang masih di gunung segera turun dan menyerahkan diri pada aparat. Dari pada capek dikejar-kejar, lebih baik menyerahkan diri, kita bangun daerah ini bersama-sama," ajak Bupati Poso, Darmin Agustinus Sigilipu.

Menurutnya, saat ini situasi keamanan di Poso sangat kondusif, meski sejumlah tempat masih terlihat poster dan baliho yang memuat wajah para militan.

"Bersyukur Poso sudah aman, pemerintah juga telah menyebarkan maklumat susulan kepada seluruh keluarga mereka yang ada di Poso," kata Darmin.

‘Rugikan negara’

Berlarut-larutnya Operasi Tinombala dikritisi oleh aktivis Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng yang menyebutkan, operasi diperpanjang di Poso hanya menghabiskan uang negara.

"Mendingan dana itu untuk keperluan lain yang lebih mendesak ketimbang hanya untuk operasi yang tak berujung," kata Direktur LPS-HAM Sulteng, Moh Afandi di Palu, kepada BeritaBenar.

Afandi menilai, jika aparat serius dalam pelaksanaan operasi pasti sembilan sisa anggota MIT sudah ditangkap. Apalagi pemetaan Satgas Tinombala di Poso telah cukup bagus dan melibatkan ribuan personel gabungan.

"Di Poso hampir semua otoritas keamanan yang pakai uang negara untuk operasional. Mau sampai kapan, sementara operasi tidak jelas selesainya. Negara harus perhatikan itu," ujar Afandi.

Sembilan anggota MIT yang tersisa dipimpin Ali Kalora alias Ali Ahmad setelah Santoso tewas dan Bagong ditangkap.

Delapan orang lainnya adalah Askar Hidayat alias Pak Guru, Adji Pandu Suwotomo alias Sobron, Basir alias Romzi, Nae alias Galuh, Abu Alim, Moh Faizal alias Kobar, Firdaus, dan Qatar alias Farel. Sebagian besar mereka berasal dari luar Poso.

Sejak Operasi Tinombala 2016 dimulai 10 Januari lalu, belasan anggota MIT, termasuk enam etnis Uighur dan Santoso, tewas dan beberapa lainnya ditangkap.

Sebelumnya, saat Operasi Camar digelar tahun 2015, tujuh anggota MIT tewas dan 31 lagi ditangkap.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.