Dua tahun berlalu, keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan tak kunjung datang
2024.09.30
Malang, Jawa Timur
Devi Athok Yulfitri duduk di antara 100-an anak muda yang sedang menyiapkan aksi doa bersama pada hari Minggu (29/9) di luar stadion Gajayana di kota Malang untuk menuntut keadilan bagi keluarga korban tragedi Kanjuruhan.
Pria berusia 45 tahun, yang kehilangan dua putrinya dalam insiden impit-impitan kerumunan yang menelan 135 nyawa pasca-pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu merasa keadilan tidak berpihak kepadanya.
“Keadilan belum kita genggam,” kata Devi Athok di hadapan anak-anak muda seraya menyatakan akan bergabung di aksi doa massal pada Selasa, memperingati tepat dua tahun tragedi itu, di depan Markas Kepolisian Resor Malang dan Balai Kota.
“Mari lambungkan #belumtuntas, sebarkan di media sosial kalian,” kata Devi Athok.
Selain itu, tambah Devi Athok, keluarga korban akan menggelar doa bersama di Gerbang 13 stadion tersebut yang menjadi saksi bisu berjatuhannya korban saat ratusan suporter Arema FC menjebol ventilasi gerbang tersebut untuk menyelamatkan diri dari gas air mata.
Tragedi Kanjuruhan terjadi usai tim satu provinsi Persatuan Sepakbola Surabaya (Persebaya) mengalahkan tuan rumah Arema FC Malang dengan skor 3-2, di mana anggota Aremania turun ke lapangan berniat menyemangati tim sepak bolanya, sekaligus melampiaskan kekecewaan mereka kepada petugas.
Merespons hal tersebut petugas keamanan di lapangan menyemprotkan gas air mata yang menyebabkan para penonton kalang kabut dan berjejal ingin ke luar dari stadion melalui pintu-pintu yang sempit dan terbatas, di mana akhirnya seratusan lebih korban akhirnya tewas.
Penggunaan gas air mata sebagai tindakan penertiban dalam pertandingan sepak bola adalah dilarang Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Impunitas atas pelaku?
Devi Athok mengatakan pemerintah dan kepolisian tidak serius menangani kasus tragedi Kanjuruhan.
Apalagi, kata dia, Inspektur Jenderal Nico Avinta yang turut bertanggungjawab dalam insiden tersebut justru naik jabatan sebagai sekretaris jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Kok, Nico Avinta naik jabatan? Ada usaha membersihkan nama institusi polisi dalam tragedi Kanjuruhan. Pihak kepolisian rupanya ingin menutup aib dengan menempatkan para pelaku di lembaga penting,” katanya.
Devi Athok menilai selama ini hanya pelaku lapangan yang dihukum, sementara hukumannya tidak setimpal dengan ratusan korban jiwa dan trauma yang ditimbulkan. Para pelaku, katanya, selayaknya dihukum berat dan dipecat dari kepolisian.
“Dijerat pasal kelalaian, menyalahkan embusan angin. Padahal gas air mata itu sengaja ditembakkan,” kata dia.
Devi Athok juga mengecam telah dibongkarnya Gate 13 Stadion Kajuruhan oleh kontraktor PT Waskita Karya. Padahal sebelumnya, perusahaan BUMN tersebut berjanji tidak akan membongkar gerbang itu. Pembongkaran Gate 13 sebagai bentuk impunitas kepada pelaku kejahatan tragedi Kanjuruhan dan upaya penghilangan barang bukti saat pengusutan yang belum tuntas, ujarnya.
Cederai rasa keadilan
Sekretaris Jenderal Federasi Komite untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Andy Irfan Junaedi menilai pengangkatan Nico mencederai rasa keadilan keluarga korban.
Bukannya dihukum malah penanggung jawab tertinggi di kepolisian itu justru dipromosikan, kecamnya.
“Seolah-olah pemerintah tidak memiliki keseriusan mengungkap tragedi Kanjuruhan hingga tuntas,” ujar Andy.
Federasi KontraS, yang mendampingi 23 keluarga korban, mendesak hakim di Pengadilan Negeri Surabaya untuk memutus restitusi bagi keluarga korban.
“Belum ada respons sampai sekarang. Keluarga korban berhak atas restitusi,” ujarnya.
Restitusi bagi keluarga korban diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 3 Oktober tahun lalu, namun hingga kini belum ada putusan, kata Andy.
LPSK mengajukan restitusi sebesar Rp 8,8 miliar untuk keluarga korban atas kerugian korban jiwa, kerugian imaterial, pengobatan, termasuk biaya advokasi.
“Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengenal kadaluwarsa. Meski kasusnya telah inkracht (memiliki keputusan hukum tetap) hakim bisa memutuskan restitusi untuk keluarga korban,” tutur Andy.
Andy juga mendorong Komnas HAM menyelidiki kasus tragedi tersebut dalam perkara pelanggaran HAM berat.
KontraS sendiri telah menemukan unsur kejahatan HAM, meliputi tembakan gas air mata yang dilakukan secara sistematis sesuai komando yang menimbulkan korban jiwa dalam skala luas.
“Terpenuhi unsur ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Sayang Komnas HAM belum menurunkan tim khusus untuk penyelidikan,” kata dia, walaupun organisasinya telah meminta Komnas HAM untuk menyelidikinya sejak Desember 2022.
Pengamat Sepak bola Anton Sanjoyo menilai transformasi yang digagas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) selepas tragedi Kanjuruhan belum berjalan maksimal.
Dia merujuk sejumlah suporter klub Persib Bandung yang masih memasuki lapangan dan menyalakan suar (flare) di pertandingan melawan Persija Jakarta di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu.
Padahal merujuk standar keselamatan FIFA, keberadaan suar di dalam stadion tidak diperkenankan, terang Anton.
"Menurut saya sudah ada pembenahan, tapi belum menyeluruh. Berkaca di Si Jalak Harupat, masih ada penonton yang masuk ke lapangan dan menyerang steward serta menyalakan flare," kata Anton kepada BenarNews.
"Administrasi keamanan sudah ada kemajuan, enggak bawa gas air mata. Di Si Jalak Harupat, polisi hanya membawa rotan dan tameng."
Hanya saja, Anton kecewa dengan pengungkapan kasus hukum dalam tragedi Kanjuruhan lantaran sampai saat ini sejumlah petinggi kepolisian yang bertugas di Jawa Timur saat insiden terjadi belum dimintakan pertanggungjawabannya
Ada pula penyidikan perkara Akhmad Hadian Lukita, mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru yang merupakan operator kompetisi sepak bola Indonesia, yang masih mandek dan belum diserahkan kepolisian ke kejaksaan.
"Mantan Kapolda Jawa Timur, Nico Afinta, yang padahal paling bertanggung jawab terkait penembakan gas air mata, tapi dia tidak tersentuh," katanya.,
Mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan, Akmal Maharli, menambahkan penegakan kasus hukum tragedi Kanjuruhan masih belum sepenuhnya tuntas.
Menurut Akmal, polisi sampai saat ini belum menetapkan tersangka lain. Padahal, masih banyak pihak yang berpotensi bisa terseret dalam tragedi itu, mulai dari petinggi kepolisian lokal hingga provokator di dalam stadion.
"Harapan yang paling penting bahwa kasus ini dikembangkan dan tidak berhenti pada lima orang yang sudah terhukum," kata Akmal kepada BenarNews.
BenarNews menghubungi sejumlah pejabat Mabes Polri terkait tuntutan keluarga korban serta mantan kapolda Nico yang justru beroleh promosi jabatan di Kemenkumham, tapi belum beroleh balasan
Anggota DPR Arteria Dahlan mengatakan promosi Nico sebagai pejabat Kemenkumham adalah hal yang terpisah dengan tragedi Kanjuruhan.
"Saya pikir kejadian Kanjuruhan itu kan Nico hanya bertanggung jawab dalam konteks pertanggungjawaban dua tingkat di atasnya dan tidak patut juga segala kesalahan dibebankan kepada saudara Nico Afinta," kata Arteria dikutip dari Antara.
Arie Firdaus di Jakarta turut berkontribusi pada laporan ini.