Menlu: Ada Kejanggalan dalam Kasus Dugaan Penyelundupan Senjata di Sudan
2017.01.25
Jakarta
Pemerintah meyakini ada sejumlah kejanggalan terkait dugaan penyelundupan puluhan senjata yang dituduhkan atas Satuan Tugas (Satgas) Polisi Penjaga Perdamaian (Formed Police Unit atau FPU) VIII Polri di Sudan.
“Karena kita melihat ada beberapa kejanggalan. Pada tahap ini, saya tidak akan menarik kesimpulan apapun. Dari informasi yang kami terima, terjadi beberapa kejanggalan yang harus kita verifikasi lebih lanjut,” ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Marsudi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.
Ditanya apa kejanggalan itu, Retno menjawab, “Nggak. Saya belum mau menyampaikan masalah kejanggalan-kejanggalan, karena sekali lagi, ini harus diverifikasi dulu,” katanya.
Seperti diberitakan media dalam dua hari terakhir, otoritas Sudan menemukan 29 senapan Kalashnikov, empat senjata pistol, senjata GM3, 61 senjata lain serta amunisi dekat barang bawaan 139 anggota Satgas FPU VIII yang mau pulang usai menyelesaikan misi perdamaian selama setahun di Darfur, Sudan.
Sebagian laporan malah menyebutkan mereka ditangkap Jumat pekan lalu. Hingga Rabu, ke-139 anggota Polri itu belum bisa pulang ke tanah air dan masih tertahan di Bandara El-Fashir, Darfur.
Terkait temuan senjata yang diduga hendak diselundupkan, pihak berwenang Sudan dan Misi Gabungan PBB-Afrika di Darfur (UNAMID) masih menginvestigasi kasus tersebut.
Pemerintah Indonesia juga langsung membentuk tim khusus gabungan terdiri dari lima sampai enam personel Polri dan Kementerian Luar Negeri untuk dikirim ke Sudan guna membantu pengusutan bersama pihak terkait.
“Akibat investigasi itu, anggota Satgas FPU VIII Polri belum bisa meninggalkan Sudan. Selain itu, Satgas FPU IX Polri yang telah tiba di Sudan belum bisa bertugas,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Rikwanto, dalam jumpa pers, Selasa, 24 Januari 2017.
Sedangkan, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan pihaknya masih menunggu hasil investigasi.
"Hasil pemeriksaan diyakinkan bahwa personel kita tidak memiliki tas yang berisi senjata itu," ujarnya kepada wartawan, Selasa.
UNAMID adalah misi penjaga perdamaian terbesar yang beranggotakan sekitar 17.000 tentara dan 5.000 polisi dari berbagai negara.
UNAMID bertugas menjaga keselamatan penduduk sipil di Darfur, kawasan perlawanan kelompok pemberontak yang sering melakukan kekerasan sejak tahun 2003. PBB mencatat konflik itu telah menewaskan sekitar 300.000 orang.
Tim bantuan hukum
Retno mengatakan pihaknya tengah berupaya agar tim bantuan hukum yang dikirim bisa segera masuk ke daerah Al-Fashir dan melakukan komunikasi langsung dengan Menlu Sudan demi meluruskan masalah ini.
“Hari ini saya kembali melakukan komunikasi dengan Duta Besar RI di Khartoum (ibukota Sudan). Komunikasi terus dilakukan antara Al-Fashir – Khartoum – Jakarta dan New York. Satu hal yang saya tekankan bahwa kita ingin memperoleh akses secepat mungkin,” jelasnya.
Menurut Retno, dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapai bandara terdekat dan satu minggu untuk memasuki wilayah Al Fashir.
“Tetapi saya sampaikan bahwa ini adalah situasi yang tidak normal. Kami ingin secepat mungkin agar dapat akses atau bertemu dengan anggota kontingen Indonesia. Semoga akses masuk ke Al Fashir dapat segera diberikan,” tegasnya.
Tergesa-gesa
Pakar militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati berharap kasus ini diinvestigasi secara menyeluruh karena menyangkut nama baik Indonesia di mata internasional.
“Pemerintah harus melakukan pendampingan hukum dengan baik agar semuanya jelas,” katanya.
Menurutnya, kontingen pasukan perdamaian dari Indonesia tidak mungkin menyeludup senjata karena telah melalui seleksi yang ketat.
“Belum tentu pelakunya dari Indonesia karena di sana banyak sekali pasukan, hanya saja ditemukan dekat pasukan kita,” ujar Susaningtyas.
Anggota DPR Komisi I, Tubagus Hasanudin menyayangkan otoritas Sudan yang tergesa-gesa menyebut pasukan Indonesia terlibat penyelundupan senjata.
“Di Sudan, bandara kecil sekali, banyak pasukan dari berbagai negara bercampur yang juga menunggu pesawat, sangat crowded, material tidak teratur, banyak kemungkinan dari kejanggalan yang dimaksudkan,” katanya kepada BeritaBenar.
Ia menilai tidak mungkin seorang polisi atau tentara menyelundupkan senjata di dalam pesawat, tanpa perlakuan khusus.
“Ini gila karena sama saja mereka mau bunuh diri kan, senjatanya pun sudah tergolong usang,” katanya.
Menurut dia, selama ini pasukan perdamaian dari Indonesia terkenal sangat berdedikasi dan berprestasi sehingga tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak tidak senang.
Namun, dia tidak mau berspekulasi lebih jauh mengenai hal ini. “Ya kita tunggu saja hasil investigasinya nanti,” katanya.
FPU adalah Satgas polisi berseragam yang dikirim untuk misi perdamaian atas prakarsa dan permintaan dari Sekretaris Jenderal PBB kepada pemerintah suatu negara.
Satgas FPU dikirim berdasarkan nota kesepahaman (MoU) antara PBB dengan kepolisian masing-masing negara. FPU Indonesia dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 2008, untuk misi perdamaian ke Darfur Sudan.
Lebih 1.300 personel Polri sudah pernah bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian di bawah misi PBB sejak 1989. Mereka ditempatkan di Sudan, Sudan Selatan, Bosnia, Haiti, dan Mozambik.