Gelombang dukungan partai politik ke Prabowo: Antara berkah dan kutukan

Pengamat memandang berbalik arahnya partai-partai oposisi mendukung Prabowo akan memunculkan kartel politik.
Ami Afriatni dan Pizaro Gozali Idrus
2024.05.02
Jakarta
Gelombang dukungan partai politik ke Prabowo: Antara berkah dan kutukan Menteri Pertahanan dan presiden terpilih Prabowo Subianto difoto saat berbicara dengan Menteri Pertahanan Jepang Minoru Kihara (tidak terlihat di foto) di Tokyo, Jepang, 3 April 2024.
Kimimasa Mayama/Pool via Reuters

Gelombang dukungan partai politik kepada Prabowo Subianto, setelah dia resmi ditetapkan sebagai presiden terpilih, bisa mendorong stabilitas di eksekutif dan legislatif namun juga mereduksi fungsi pengawasan yang menjadi tugas politik, menurut sejumlah analis politik.

Sejumlah partai politik yang awalnya menjadi lawan Prabowo Subianto pada pemilu Februari, sekarang satu per satu merapat mendukung presiden terpilih yang akan mulai memimpin negara, bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka, pada Oktober tahun ini.

Presiden terpilih Prabowo mendapat dukungan dari 10 partai politik yang pada pemilu Februari lalu memenangkan 48% dari 580 kursi yang diperebutkan, ungkap analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Wasisto Raharjo Jati.

Artinya, dengan perolehan tersebut koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran, belum menjadi mayoritas di DPR. Prabowo perlu mengundang partai lain ke dalam koalisinya agar bisa menjadi mayoritas di legislatif.

Pucuk dicinta ulam tiba, pada saat penetapan pemenang pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 24 April, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar memberi sinyal dukungan kepada Prabowo.

Padahal, PKB – bersama Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Keadilan Sejahtera – merupakan koalisi pendukung Anies Baswedan yang berpasangan dengan Muhaimin pada Pemilu 2024.

Partai NasDem menyusul PKB dengan menyatakan dukungannya kepada Prabowo pada pertemuan ketua partai tersebut, Surya Paloh, bersama presiden terpilih pada 25 April.

Jika PKB dan Partai NasDem bergabung dengan pemerintahan berikut, maka Prabowo akan mendapatkan dukungan mayoritas, yaitu 71% di DPR, kata Wasisto.

“Namun, dengan adanya koalisi besar, fungsi pengawasan menjadi tugas politik itu akan tereduksi kalau semua partai diajak bergabung,” kata Wasisto kepada BenarNews.

Terbaru, dua partai lainnya yang beroposisi kepada Prabowo, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) – yang keduanya partai Islam namun berbeda kelompok koalisi – memberikan sinyal mendukung pemerintahan yang akan datang.

Dalam acara halalbihalal di Kantor Dewan Pimpinan Pusat PKS di Jakarta pada pekan lalu, Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Alhabsyi memberikan sinyal partainya siap bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran setelah dua periode menjadi oposisi.

Aboe mengatakan bahwa pimpinan partainya siap menggelar karpet untuk Prabowo jika bersedia bertemu dengan kader partainya. Namun, Ketua Bidang Humas DPP PKS Ahmad Mabruri mengatakan partai belum memutuskan waktu pertemuan tersebut.

“Belum dijadwalkan, lagi musyawarah Majelis Syuro,” ujar dia kepada BenarNews.

PKB, NasDem dan PKS merupakan kelompok partai politik yang menamakan diri Koalisi Perubahan untuk mendukung Anies dan Muhaimin pada pemilihan presiden Februari lalu.

Sementara PPP adalah salah satu partai yang masuk koalisi bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dua partai kecil lainnya.

PDIP sendiri sebagai partai penguasa dan pemenang pemilu legislatif belum menentukan arah politiknya, apakah akan bergabung mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran atau menjadi partai di luar pemerintahan, kata Cyril Raoul Hakim, politisi senior partai tersebut.

“Kalau kita bicara soal suasana kebatinan atau hati dari pendukung, simpatisan, dan kader-kader kami, dari mula di akar rumput, ranting, DPD, DPP, elit-elit sampai hari ini sepertinya memilih di luar pemerintahan,” kata Chico – panggilan akrab dia – kepada BenarNews.

“Namun ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui untuk mengambil sikap yang resmi.”

Presiden terpilih Prabowo Subianto (kiri) dan Muhaimin Iskandar, mantan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024  dan ketua Partai Kebangkitan Bangsa saling berjabat tangan di Jakarta pada 24 April 2024. [AFP]
Presiden terpilih Prabowo Subianto (kiri) dan Muhaimin Iskandar, mantan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 dan ketua Partai Kebangkitan Bangsa saling berjabat tangan di Jakarta pada 24 April 2024. [AFP]

Kartel politik

Kecenderungan berbalik arahnya partai-partai tersebut, menurut Wasisto, akan memunculkan kartel politik yang menjadi kekuatan parpol utama dan mayoritas dalam merumuskan wacana dan kebijakan.

“Kecil kemungkinan untuk menerima pandangan alternatif. Potensi kartel bisa menjadi besar dan bisa mereduksi suara alternatif yang penting untuk demokrasi,” ujar Wasisto. 

“Kalau semakin besarnya koalisi, tentu akan makin besar jumlah lembaga atau institusi. Akan menambah jabatan baru atau pos-pos baru. Nanti akan membuat pemerintahan ke depan itu semakin lamban karena banyak rantai yang harus dilewati.”

Senada dengan Wasisto, Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Bandung, Idil Akbar, mengatakan jika parpol-parpol lawan bergabung dengan Prabowo, hal itu bisa memperkuat pemerintahannya ke depan, namun cenderung merusak sistem demokrasi.

“Tentu saja itu menjadi keuntungan pemerintah yang nanti berjalan, karena pada akhirnya semua program yang direncanakan pemerintah nantinya dipastikan disetujui semua anggota dewan. Secara otomatis ini akan menutup peluang adanya oposisi dan mungkin akan menjadi penyeimbang,” ujar Idil kepada BenarNews.

“Kita tidak akan memiliki partai politik yang memang mampu memberikan posisi tawar lain kepada pemerintah Prabowo-Gibran, sementara demokrasi membutuhkan keseimbangan,” tukas Idil.

Menurut Idil, perlu ada keseimbangan komposisi kursi partai politik di DPR agar proses check and balance berjalan.

“Ketika semua partai politik justru mendukung pemerintah, menurut saya berat juga harus mengatakan baik-baik saja ke depannya,” kata dia.

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Partai NasDem Surya Paloh berpose untuk media setelah bertemu di rumah Prabowo di Jakarta pada 25 April 2024. [Donal Husni/AFP]
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Partai NasDem Surya Paloh berpose untuk media setelah bertemu di rumah Prabowo di Jakarta pada 25 April 2024. [Donal Husni/AFP]
Tidak etis

Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, menilai langkah partai-partai Koalisi Perubahan yang kini berbalik mendukung Prabowo merupakan tindakan yang tidak etis.

“Tentu tidak pas, tidak cocok dan kurang baik juga kalau partai yang kalah itu masuk atau gabung ke pemerintahan. Tapi di politik kita ini kan tidak ada standar etisnya, ini yang repotnya,” ujarnya kepada BenarNews.

Menurut Ujang, parpol-parpol di Indonesia kerap tidak menjadikan standar etika sebagai acuan atau referensi dalam politik.

“Yang ada adalah langkah taktis, pragmatis dan kepentingan jangka pendek. Ketika kalah ya menginginkan jabatan lalu bergabung dengan kekuasaan, itu yang terjadi selama ini hampir di banyak partai politik,” terangnya.

Ujang berharap munculnya oposisi yang kuat dan tangguh ke depan di masa pemerintahan Prabowo Gibran, namun harapan itu akan kandas ketika NasDem dan PKB gabung ke pemerintahan.

“Nah dalam konteks itu memang sulit masyarakat mengharapkan untuk bisa menghadirkan pihak-pihak yang kalah itu menjadi oposisi, pihak-pihak yang kalah itu bisa bersama rakyat untuk mengawasi atau mengontrol jalannya pemerintahan,” tukasnya.

Pengamat politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menilai Koalisi Perubahan terlihat rapuh dalam berpolitik dan itu ditunjukkan dengan upaya NasDem dan PKB merapat ke Prabowo-Gibran.

"Pasca-penetapan kemenangan Prabowo-Gibran, Koalisi Perubahan yang tampak garang selama kampanye 2024 lalu, ternyata menjadi koalisi yang paling rapuh dalam kalkulasi pragmatisme politik praktis,” ucap Khoirul dalam keterangannya.

Merapatnya NasDem dan PKB ke Prabowo, menjadi indikator yang nyata dan begitu vulgar dari Koalisi Perubahan yang terbukti sangat mudah berubah, tambah dia.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan jika bicara tentang konteks 'merangkul' untuk menyamakan persepsi bahwa pemilihan presiden sudah selesai tentu itu adalah hal yang baik.

Namun, kata dia, jika tafsir "merangkul" itu harus mengajak beberapa pihak dalam koalisi bersama untuk mengharuskan dan berbagi menjadi menteri, maka itu kurang tepat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.