Menteri KKP Resmi Tersangka Dugaan Korupsi Terkait Ijin Ekspor Benih Lobster
2020.11.25
Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu malam (25/11) resmi menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap terkait izin ekspor benih lobster, setelah sebelumnya lembaga anti rasuah itu menangkap politisi partai Gerindra tersebut dan 16 orang lainnya.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh tersangka seperti diumumkan oleh Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango.
“KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh Penyelenggara Negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020,” ujar Nawawi, dalam konfrensi pers di gedung KPK.
“KPK menetapkan tujuh orang tersangka,” tambahnya.
Dalam pernyataan KPK, disebut Edhy dan empat tersangka lainnya akan menjalani penahanan hingga 14 Desember 2020 di Rutan KPK. Dua orang tersangka hingga kini masih diburu.
Sebelumnya pada dini harinya, Edhy dan istrinya yang baru mendarat di Jakarta sepulang dari lawatan dinas ke Hawaii ditangkap bersama enam pejabat KKP lainnya di Bandara Soekarno Hatta. Sementara itu pada hari yang sama sembilan orang lainnya, diantaranya staf KKP dan juga pengusaha ditangkap di sejumlah wilayah Jakarta dan Depok, Jawa Barat.
Edhy dan istri, bersama rombangan sejumlah pejabat KKP sebelumnya berkunjung ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, untuk menyaksikan penandatangan kerjasama antara KKP dengan Hawaii Pacific University Oceanic Institute terkait budidaya udang, demikian disebut oleh pejabat KPK.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Edhy yang merupakan orang kedua di Partai Gerindra di bawah pimpinan Prabowo Subianto itu, menyatakan permintaan maafnya.
“Saya akan bertangungjawab dengan apa yang terjadi. Saya memohon maaf kepada masyarakat Indonesia khsususnya yang berhubungan dengan KKP,” ujar Edhy yang dihadirkan dalam konferensi pers tersebut bersama keempat tersangka lainnya.
“Saya mohon maaf terhadap partai saya, dengan ini saya akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum Partai Gerindra dan juga akan mengundurkan diri sebagai menteri,” tambahnya.
Dugaan utamakan kroni
Edhy mencabut larangan ekspor benih lobster yangdilakukan oleh pendahulunya, Susi Pudjiastuti, di mana pada masa kepemimpinan Susi larangan itu dimaksudkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan memperkuat industri lobster dalam negeri.
“Saya ingin buka kembali ekspor ini karena ada masyarakat kita yang lapar gara-gara dilarang, gara-gara ada peraturan ini,” kata Edhy beberapa waktu lalu.
Namun laporan investigasi Majalah Tempo mengatakan bahwa kebijakan ekpor itu lebih banyak menguntungkan kroni-kroni Edhy di Partai Gerindra dibandingkan masyarakat nelayan umumnya.
Investigasi Tempo pada Juli tahun ini mendapati 25 perusahaan yang berhasil mendapatkan ijin ekspor benih lobster itu banyak yang baru berdiri dua bulan setelah ijin ekspor tersebut dibuka Kementerian pada bulan Mei tahun ini, dan kebanyakan dari perusahaan tersebut terkait politisi Partai Gerindra.
Edhy menceritakan kepada Tempo saat itu bahwa izin diberikan sesuai prosedur dan tidak ada perusahaan yang diberi perlakuan istimewa.
Percaya KPK
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan menyerahkan penyidikan dugaan kasus korupsi yang menyeret nama menterinya itu kepada KPK.
“Kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, dan profesional," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka.
Jokowi juga menegaskan dukungan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. "Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," ujar Jokowi.
Ketua DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya belum bersikap apa pun mengenai penangkapan terhadap Edhy Prabowo.
“Pak Prabowo sudah tahu dan meminta seluruh kader untuk tidak bertindak apa pun sebelum mendapatkan informasi resmi dari KPK,” katanya.
Edhy merupakan menteri perdana di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin yang ditangkap oleh KPK. Pada periode sebelumnya, dua menteri Jokowi dipidana dalam kasus korupsi.
Idrus Marham terbukti terlibat kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau saat ia menjabat sebagai Menteri Sosial dan divonis 5 tahun penjara.
Selain itu, Imam Nahrawi yang merupakan Menteri Pemuda dan Olahraga di periode pertama Jokowi, ditangkap KPK dalam kasus pemberian dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan dijatuhkan hukuman penjara selama 7 tahun bulan Juni tahun ini.
Risiko serangan balik
Penangkapan terhadap Edhy diapresiasi banyak pihak, di tengah semakin menurunnya kepercayaan publik atas kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri itu.
Namun Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengingatkan risiko serangan balik yang akan dihadapi KPK setelah penangkapan yang dipimpin penyidik senior Novel Baswedan itu.
"ICW mengapresiasi tim penyidik KPK. ICW juga mengingatkan KPK agar dapat memitigasi risiko serangan balik dari pihak-pihak tertentu," kata Kurnia, dalam keterangan tertulisnya
Sementara itu peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai penangkapan Edhy sebagai sesuatu yang signifikan karena merupakan yang pertama melibatkan pejabat tinggi untuk periode kabinet 2019-2024.
"Yang jelas yang pertama, apapun itu saya harus mengapresiasi KPK ya. Jika benar berhasil menangkap seseorang yang diduga terkait tindak pidana korupsi," katanya sebagaimana dilasir Detik.com.
Menurutnya KPK selama ini semakin sulit melakukan operasi tangkap tangan, karena prosedur perizinan kepada dewan pengawas KPK memakan waktu 1x24 jam. Sedangkan penyadapan, kata Zaenur, sangat mengandalkan momentum.
"Berarti penyelidikan kasus ini sudah berlangsung lama dan ini akumulasi kerja yang dilakukan KPK," katanya.