Paket Ekonomi IV: Pemerintah Dinilai Terlalu Mengatur Sistem Pengupahan
2015.10.16
Jakarta
Serikat buruh dan pengamat ekonomi menilai pemerintah terlalu mengatur sistem pengupahan dalam Paket Kebijakan Ekonomi IV yang diumumkan Kamis sore, 15 Oktober.
Paket ekonomi terbaru ini berfokus pada berbagai kebijakan yang mengatur ketenagakerjaan, termasuk penetapan upah buruh, dan bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menjamin upah buruh akan naik setiap tahunnya, dengan formula yang ditetapkan dalam paket kebijakan tersebut.
Darmin menjabarkan formula Upah Minimum Provinsi adalah upah minimum tahun ini ditambah tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Tujuan utama dari penetapan Upah Minimum Provinsi adalah membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Juga untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Semua ini merupakan bukti kehadiran negara dalam bentuk pemberian jaring pengaman sosial melalui kebijakan upah minimum dengan sistem formula…. Untuk memastikan buruh tidak terjatuh ke dalam upah murah,” kata Darmin dalam keterangan pers di Kantor Presiden.
Selain itu standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh, yang berisikan 60 item kebutuhan buruh, akan ditinjau tiap lima tahun sekali.
Sambutan dingin dari buruh
Akan tetapi niat pemerintah untuk menjamin kesejahteraan buruh justru mendapat respon dingin dari serikat buruh.
Menurut Mudhofir Khamid, President Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, jilid IV paket kebijakan ini belum bisa mengakomodir aspirasi buruh.
Pasalnya, kata Mudhofir, standar KHL buruh yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2012 masih jauh dari harapan. Padahal KHL akan sangat berperan menentukan UMP.
“60 item ini saja banyak yang harus dikoreksi, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya radio transistor dan rumah berukuran 4x4 meter persegi itu sudah tidak relevan. Ini perlu perbaikan. Tapi kalau pemerintah tetap berpatokan pada KHL ini, upah buruh akan tergerus pada lima tahun mendatang,” kata Mudhofir kepada BeritaBenar.
Mudhofir mencontohkan misalnya Jakarta dengan UMP Rp. 2,7 juta. Dengan adanya inflasi lima persen dan pertumbuhan ekonomi lima persen tahun ini, upah buruh masih di bawah Rp. 3 juta.
“Apakah dengan Rp. 3 juta bisa mencukupi hidup di Jakarta? Itu jadi tanda tanya besar. Sebenarnya berapa UMP yang pantas? Itu fungsinya perundingan. KHL perlu direvisi. Kami khawatir upah buruh justru makin terpuruk,” ungkapnya.
Sementara pemerintah, lanjut Mudhofir, dinilai belum bisa hadir menyediakan standar kehidupan layak untuk buruh, seperti penyediaan rumah susun sederhana dan pendidikan murah.
“Dari 40 juta buruh di Indonesia, mungkin baru 15 persen yang menjadi peserta Jamsostek,” ujarnya.
Mudhofir khawatir penetapan UMP oleh pemerintah ini justru akan menghilangkan fungsi dewan pengupahan dan asas perundingan bipartit antara pengusaha dan buruh, padahal konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang sudah diadopsi juga oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia, sudah jelas menjamin buruh untuk berserikat.
KSBSI, kata Mudhofir, akan berunding dengan organisasi-organisasi buruh lainnya untuk membahas formulasi ini lalu kembali melobi pemerintah.
“Jika pemerintah bersikukuh, bukan tidak mungkin kami akan bergerak dan memberi tekanan-tekanan kepada pemerintah,” tegasnya.
Perlu penyesuaian per provinsi
Penetapan UMP selama ini berdasarkan kesepakatan provinsi, pengusaha dan buruh di tiap daerah, berdasarkan kondisi dan kebutuhan di daerah itu.
Untuk UMP 2013 DKI misalnya, formulasi KHL yang disepakati di tahun sebelumnya adalah = KHL (hasil survei tahun berjalan) + regresi (November-Desember) tahun berjalan + proyeksi KHL tahun berikutnya.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengakui bahwa niat pemerintah dengan peluncuran paket ini memang untuk menstabilkan ekonomi buruh. Namun dia menilai dengan menetapkan formula UMP pemerintah terlalu mengatur sistem pengupahan buruh..
“Biarkan itu menjadi wewenang provinsi, karena mereka yang tahu situasi ekonomi daerah masing-masing. Kecuali kalau pertumbuhan ekonominya disesuaikan dengan daerah. Buruh yang bekerja di daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan nasional pasti diuntungkan. Tapi bagaimana dengan yang pertumbuhan daerahnya di atas pertumbuhan ekonomi nasional seperti Jawa Barat?” jelas Lana kepada BeritaBenar.
Lana juga mempertanyakan apakah penetapan UMP ini sudah didiskusikan dengan pengusaha dan buruh. Pasalnya, jika upah buruh dinilai terlalu mahal, bukan tidak mungkin perusahaan akan mengalihkan faktor produksi buruh ke mesin.
“Karena lebih efisien. Lalu penggunaan buruh makin lama makin sedikit. Ini mesti diwaspadai,” ungkap Lana.
Jika di Paket Kebijakan Ekonomi III dijelaskan ada insentif untuk pengusaha dengan menurunkan harga bahan bakar minyak industri, kehadiran formulasi upah buruh di jilid IV ini justru dikhawatirkan Lana dapat mengganggu efektivitas yang sudah ada.
“Kalau saya pengusaha, jika ada kenaikan upah buruh, apa yang saya lakukan dalam waktu dekat adalah dengan menaikkan harga sebagai kompensasinya. Akhirnya sisi negatifnya harga-harga akan naik, padahal UMP baru ditentukan Januari,” tukasnya.
“Karena ketika UMP dipatok dengan formula khusus, orang-orang sudah bisa memprediksi kenaikan upah buruh dan harga akan mengikuti. Ini perlu diantisipasi. Harapan saya pemerintah sudah menyiapkan kebijakan yang bisa mengantisipasi kenaikan harga ini,” tutupnya.