Ekonomi Indonesia Q2 tumbuh 5,44% di tengah ancaman resesi global

Analis: pertumbuhan disebabkan oleh COVID-19 yang mereda dan ekspor komoditas yang harganya naik akibat perang Rusia di Ukraina.
Dandy Koswaraputra
2022.08.05
Jakarta
Ekonomi Indonesia Q2 tumbuh 5,44% di tengah ancaman resesi global Pekerja pembuat sandal untuk keperluan hotel di berbagai kota di Indonesia mengikuti sebuah workshop di Surabaya, 5 Juli 2022.
[Juni Kriswanto/AFP]

Pemerintah mengumumkan pada Jumat (5/8) ekonomi Indonesia kuartal kedua tahun ini tumbuh 5,44 persen dari periode yang sama tahun 2021 di tengah ancaman resesi global, sementara pertumbuhan April-Juni ini mencapai 3,72 persen dibanding triwulan pertama.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa dari sisi produksi, lapangan usaha transportasi dan pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi 21,27 persen secara tahunan, sementara dari sisi pengeluaran, komponen ekspor barang dan jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 19,74 persen.

“Penguatan ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan kedua 2022 terlihat pada semua wilayah,” tulis BPS di situsnya, menambahkan bahwa kelompok provinsi di Pulau Jawa menjadi kontributor utama sebesar 56,55 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kinerja ekonomi yang tumbuh 5,66 persen secara tahunan dibanding periode yang sama tahun lalu.

BPS menjelaskan perekonomian Indonesia berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan kedua 2022 mencapai Rp4.919,9 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.923,7 triliun.

Pengaruh berbagai faktor

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua ini memang dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 yang pada triwulan tersebut sudah jauh menurun setelah mencapai puncaknya pada Februari.

Dengan kasus yang lebih melandai, kata dia, akhirnya pemerintah juga bisa lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan pelonggaran restriksi mobilitas masyarakat dan di saat yang bersamaan  pada kuartal kedua ini ada momen bulan Ramadan dan Idul Fitri.

“Sehingga ini kemudian menjadi pendorong konsumsi rumah tangga tumbuh relatif lebih tinggi jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun lalu,” kata Rendy kepada BenarNews.

Pelonggaran restriksi mobilitas sosial ini juga yang menjelaskan kenapa lapangan usaha transportasi dan pergudangan menjadi sektor lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi dengan capaian 21,27 persen, kata Rendy.

“Karena masyarakat memanfaatkan momen mudik yang relatif lebih longgar untuk dilakukan di kuartal kedua tahun ini,” ujar dia.

Sementara pertumbuhan net ekspor yang menjadi salah satu komponen yang mencatatkan pertumbuhan terkait perang Rusia-Ukraina yang justru berdampak terbalik bagi Indonesia yang justru diuntungkan dengan meningkatnya harga komoditas utama ekspor seperti kelapa sawit, batubara dan nikel, kata Rendy.

Namun, tambahnya, pada sisi lain ini juga menunjukkan kerentanan dari ekspor Indonesia karena relatif tergantung dari ekspor hasil komoditas.

“Tentu perlu diwaspadai dampak dari resesi terhadap penurunan harga komoditas yang pada muaranya bisa berdampak terhadap ekspor Indonesia dan juga dampak lain ke penerimaan negara,” tegas Rendy.

Potensi resesi global

Analisis Rendy sejalan dengan pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memprediksi 2023 akan menjadi tahun kelam akibat krisis ekonomi, pangan, dan energi akibat pandemi virus korona dan perang Rusia di Ukraina.

Presiden mengatakan prediksi itu terungkap saat dia berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB, pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF), dan para pemimpin negara G7.

“Mereka bilang ke saya, ‘Presiden Jokowi,  tahun depan tahun yang kelam, ini bukan hanya di Indonesia, tapi ini juga dunia, hati-hati’,” tegas Jokowi pada acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD di Bogor, Jumat, seperti dilansir portal Sekretariat Kabinet.

Jokowi menyatakan menerima informasi dari Bank Dunia bahwa 66 negara akan runtuh karena kondisi ekonomi yang buruk di mana awalnya hanya sembilan negara, kemudian bertambah 25 negara, 42 negara, menjadi 66 negara.

"Mereka menghitung secara rinci, kami benar-benar melihat apa yang kami khawatirkan dan sekarang 320 juta orang di dunia sudah menderita kelaparan akut. Saya mengatakan ini apa adanya."

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara besar seperti Singapura, Eropa, Australia, dan Amerika justru turun. Namun, penurunan pendapatan masyarakat tersebut diimbangi dengan kenaikan harga barang dan inflasi.

Di Indonesia, dia menjelaskan, pemerintah berusaha mengendalikan harga BBM agar tidak terjadi inflasi. Namun akibat dari tindakan tersebut membuat subsidi yang dikucurkan pemerintah membengkak.

"Anggaran subsidi tidak kecil, Rp502 triliun, tidak ada negara yang berani memberikan subsidi sebesar Indonesia," kata Jokowi.

Pertumbuhan positif sudah terprediksi

Ekonom Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan pertumbuhan positif ini sudah diprediksi sebelumnya.

Menurut Yayan, sektor riil ekonomi bergerak lebih cepat karena permintaan ekspor yang tinggi akibat membaiknya konsumsi domestik yang terlihat pada pertumbuhan sektor transportasi yang bergerak lebih cepat dibandingkan dengan sektor lainnya.

Dengan angka ini, kata Yayan, tampaknya selama periode triwulan kedua merupakan kebijakan countercyclical (fiskal) seperti subsidi relatif efektif, dan kebijakan infrastruktur, serta kebijakan moneter berjalan beriringan secara optimal walaupun di tengah fluktuasi dolar yang bertahan di Rp14.900 per US$1.

“Apakah kita baik-baik saja, pada saat kemarin ya. Alhamdulillah kita relatif stabil, ini menjadi modal untuk menjaga momentum kinerja ekonomi yang semakin berat di triwulan ketiga,” kata Yayan kepada BenarNews.

Meski pemerintah mensyukuri kinerja ekonominya, tetapi tantangan inflasi sampai akhir tahun akan terus semakin berat karena bank sentral Amerika gencar terhadap kebijakan inflasi yang membuat negara seperti Indonesia terpukul terhadap pelarian modal (capital flight) dan kembalinya investasi (return on investment) yang mungkin tidak menarik bagi investor, ujarnya.

“Kita harus waspada walaupun indikator makro kita baik, tetapi belum tentu membaik dari sisi mikro. Kondisi ini bisa berbalik dengan cepat jika kita lengah,” pungkas Yayan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.