Dua Kali Ekonomi Terkontraksi, Indonesia Resmi Masuki Masa Resesi
2020.11.05
Jakarta
Kinerja konsumsi rumah tangga yang masih terpuruk selama pandemi COVID-19 membawa perekonomian Indonesia mengalami resesi pertama dalam lebih dari dua dekade terakhir, dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi untuk kedua kalinya pada tahun ini, demikian laporan biro statistik pada Kamis.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengumumkan produk domestik bruto (PDB) sepanjang kuartal ketiga mengalami kontraksi hingga 3,49 persen. Pertumbuhan ekonomi mengalami minus 5,32 persen secara tahunan di empat bulan kedua.
“Meski masih terkontraksi 3,49 persen, tetapi tidak sedalam kuartal sebelumnya. Artinya terjadi perbaikan,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi Kamis (5/11).
Kinerja ekonomi sepanjang kuartal ketiga masih dipengaruhi konsumsi rumah tangga yang tercatat minus 4,04 persen, sedikit lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya dengan minus 5,52 persen.
“Konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2020 ini merupakan sumber kontraksi terdalam. Ini bisa disadari karena bobotnya kepada PDB paling besar, sekitar 57 persen,” tambah Suhariyanto.
Laju sektor investasi yang menyumbang sekitar 30 persen dari PDB juga masih tercatat minus 6,48 persen pada periode ini.
Sementara, satu-satunya komponen pengeluaran PDB yang tumbuh positif pada periode ini adalah konsumsi pemerintah dengan mencapai 9,76 persen, membaik signifikan dari kuartal kedua dengan minus 6,9 persen, sebut laporan BPS.
Suhariyanto menyebut lonjakan ini merupakan respons atas pemberian stimulus dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menangani dampak wabah COVID-19.
Pemerintah, di sisi lain, mengungkapkan optimisme akan membaiknya ekonomi karena angka kontraksi pada kuartal ketiga yang lebih sedikit dari periode sebelumnya.
“Ini menunjukkan adanya pembalikan arah dari aktivitas ekonomi nasional ke arah zona positif,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam telekonferensi, Kamis.
Sri Mulyani mengatakan Indonesia telah melewati dampak terburuk akibat pandemi COVID-19 namun akan tetap berfokus pada pemulihan utamanya pada sektor manufaktur dan perdagangan.
“Kinerja dua sektor ini dipengaruhi oleh kondisi perbaikan penanganan COVID-19 karena sangat berkaitan erat dengan indikator mobilitas masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk mengendalikan COVID-19, dibantu semua pihak, akan sangat menentukan pemulihan di berbagai kegiatan sektor ekonomi,” katanya.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, menambahkan pemerintah juga akan terus memacu peningkatan belanja pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi pada kuartal selanjutnya.
“Fakta ini menjadi catatan positif karena sesuai dengan prinsip ‘counter cyclical’, artinya ketika perekonomian lesu, belanja pemerintah menjadi andalan untuk mendorong perekonomian,” kata Edy.
Resesi Indonesia terakhir kali terjadi pada tahun 1999 dengan mengalami kontraksi hingga 6,13 persen akibat krisis finansial di Asia.
Kendati demikian, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai dampak resesi sejatinya sudah dirasakan oleh pebisnis hingga masyarakat saat pembatasan aktivitas mulai diberlakukan baik secara nasional maupun global akibat virus SARS-CoV-2.
“Dampak resesi itu sudah kita alami. Lonjakan PHK dan turunnya pendapatan sebagian masyarakat yang kemudian berdampak menurunnya permintaan sehingga dunia usaha kinerjanya menurun juga,” kata Piter.
Puluhan juta pekerja terdampak COVID-19
Kasus terkonfirmasi COVID-19 bertambah 4.065 pada Kamis, sehingga total yang sudah terinfeksi menjadi 425.796, menurut data Kementerian Kesehatan. Jumlah kematian bertambah 89, menjadikan total 14.348.
Dalam rilis Kamis, BPS juga mengumumkan sebanyak 29,12 juta pekerja di Indonesia menerima efek pandemi COVID-19 dari mulai pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan jam kerja, hingga hilangnya kesempatan untuk mendapatkan peluang kerja.
“Dari data ini kita bisa melihat dampak COVID-19 terhadap ketenagakerjaan itu bukan hanya terlihat dari peningkatan pengangguran saja,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Secara terperinci, BPS menyebutkan sebanyak 2,5 juta orang menjadi pengangguran sejak wabah COVID-19 masuk Indonesia hingga Agustus 2020, kemudian disusul 24,03 juta pekerja mengalami pengurangan jam kerja, dan sisanya tidak berhasil mendapat pekerjaan.
Secara keseluruhan, angka pengangguran di Indonesia hingga Agustus 2020 mencapai 9,77 juta orang, atau naik 2,67 juta dari periode yang sama pada tahun lalu.
“Paling besar terjadi di perkotaan, tingkat pengangguran terbuka sebesar 8,98 persen dan desa 4,71 persen,” tambah Suhariyanto.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan resesi ekonomi yang dialami saat ini bisa memperparah situasi ketenagakerjaan karena potensi kebangkrutan masih membayangi sejumlah perusahaan.
“Dengan gelombang PHK yang masih akan terjadi, maka angka pengangguran serta kenaikan jumlah orang miskin baru masih akan dihadapi,” kata Bhima kepada BenarNews.
Selain itu, Bhima memprediksi wilayah pedesaan akan menjadi tempat migrasi bagi para pengangguran yang sebelumnya banyak bermukim di daerah industri. Kondisi ini memicu persaingan mencari kerja yang akan semakin sulit.
“Konflik sosial di masyarakat bisa meningkat karena ketimpangan semakin lebar. Kelas perusahaan kalaupun lakukan perekrutan akan memprioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman,” katanya.
Pihaknya menyarankan pemerintah untuk melakukan revisi total atas seluruh program PEN yang pelaksanannya cenderung mandek, seperti program Pra-Kerja, subsidi bunga untuk perbankan dan kreditur, hingga penempatan dana pemerintah di perbankan.
“Anggaran perlindungan sosial perlu ditambah dan diperluas bagi kelas menengah rentan miskin. Anggaran yang ada saat ini masih relatif kecil karena secara total anggaran jaminan sosial berada di bawah 3 persen dari PDB,” tukasnya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sebelumnya mengatakan pemerintah akan terus mengupayakan agar angka pengangguran tidak tembus dua digit akibat pandemi COVID-19 dengan mengandalkan investasi baik dari dalam maupun luar negeri.
“Kita ingin dunia usaha terus membaik agar roda kegiatan ekonomi mampu bergerak yang pada akhirnya menyerap kembali tenaga kerja,” kata Ida, dalam rilis resmi kementerian bulan lalu.
Senin (3/11) malam, Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhirnya menandatangani UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hampir sebulan setelah disahkan oleh DPR dan disusul demonstrasi oleh buruh dan mahasiswa yang menentang legislasi itu.
Pemerintah mengklaim UU setebal 1.187 halaman tersebut adalah pintu gerbang perbaikan ekonomi karena memudahkan investasi masuk hingga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Sebaliknya, kalangan buruh menilai UU tersebut terlalu berpihak kepada pengusaha dengan mengabaikan hak-hak dasar pekerja.