Ekonomi Indonesia Terkontraksi 2,1 Persen Sepanjang 2020, Terburuk dalam 2 Dekade

Kebijakan yang berubah-ubah dalam mengatasi pandemi disebut berdampak terhadap perekonomian.
Ronna Nirmala
2021.02.05
Jakarta
Ekonomi Indonesia Terkontraksi 2,1 Persen Sepanjang 2020, Terburuk dalam 2 Dekade Seorang pedagang di sebuah pasar tradisional di Tangerang, 7 Desember 2020.
AP

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 berada di zona negatif, kontraksi pertama kali sejak 2018, akibat penurunan kinerja investasi yang signifikan dan imbas dari pembatasan selama pandemi COVID-19, lapor Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (5/2). 

Produk domestik bruto (PDB) pada kuartal keempat tahun lalu mengalami kontraksi hingga 2,19 persen, sehingga kumulatif pertumbuhan ekonomi tahunan berada di posisi minus 2,07 persen dibanding tahun sebelumnya. 

“Sejak 1998, untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi terkontraksi,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers daring. 

Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menjadi sumber kontraksi terdalam dengan minus 1,63 persen, disusul konsumsi rumah tangga yang turun hingga 1,43 persen, kata Suhariyanto. 

Catatan BPS menyebut komponen pengeluaran yang berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi berkontribusi sebesar 89,40 persen terhadap PDB. 

Angka ekspor juga minus 7,7 persen dan impor minus 14,71 persen. Satu-satunya komponen yang tumbuh positif sepanjang tahun lalu adalah konsumsi pemerintah sebesar 1,94 persen. 

“Dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu minus 2,07 persen, maka PDB per kapita mengalami penurunan seiring bertambahnya jumlah penduduk, yaitu sebesar Rp56,9 juta per kapita atau setara U.S.$3.911,7,” kata Suhariyanto.

Data Bank Dunia mencatat PDB per kapita Indonesia pada tahun 2019 berada di posisi U.S.$4.135,6. 

Indonesia memasuki resesi pada tahun lalu saat pertumbuhan ekonomi tercatat minus untuk dua kali berturut-turut pada kuartal kedua dan ketiga. 

Sinyal pemulihan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan meski pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu terkontraksi, sinyal pemulihan sudah terlihat dengan perbaikan kinerja PDB yang dilihat secara quarter-to-quarter (qtq). 

BPS melaporkan angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua minus 5,2 persen, kemudian minus 3,49 persen pada kuartal ketiga dan minus 2,19 persen pada kuartal terakhir. Airlangga mematok pada 2021, ekonomi akan tumbuh di kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen. 

“Berbagai usaha mengalami perbaikan akibat perbaikan kinerja domestik, pada saat yang sama, optimisme pemulihan permintaan global juga mendorong peningkatan sektor usaha domestik,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual di Jakarta. 

Airlangga juga menyebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mulai menguat sejak awal tahun 2021. 

“Neraca perdagangan juga surplus di U.S.$21,74 miliar. Momentum ini akan berlanjut di 2021 sehingga pertumbuhan ekonomi akan di 4,5 persen-5,5 persen didukung peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor,” katanya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan pemerintah akan memastikan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam penanganan COVID-19 akan berjalan efektif untuk mendukung daya beli masyarakat serta menstimulasi pemulihan dunia usaha. 

“APBN 2021 terus diarahkan untuk mendorong pemulihan ekonomi namun tetap konsolidatif dengan defisit 5,7 persen terhadap PDB,” kata Febrio. 

Indonesia memasuki resesi pada kuartal ketiga tahun 2020, saat pertumbuhan ekonomi tercatat minus secara berturut-turut dalam dua kuartal. 

Secara keseluruhan, kinerja pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 masih berada di kisaran prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mematok di minus 2,2 persen, namun lebih rendah dibanding prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) dengan kontraksi 1,9 persen.

Dibandingkan mitra dagangnya, Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. PDB Amerika Serikat pada kuartal keempat tercatat minus 2,5 persen, Singapura minus 3,8 persen, Hong Kong minus 3 persen dan Uni Eropa minus 4,8 persen. 

Kebijakan yang berubah-ubah terkait COVID-19

Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan turunnya konsumsi rumah tangga serta kinerja investasi sepanjang 2020, juga disebabkan karena kebijakan yang berubah-ubah dalam mengatasi pandemi COVID-19. 

“Kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun. Ada vaksin, ada new normal, tapi kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen,” kata Bhima kepada BenarNews.

Bhima merujuk pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diberlakukan sejak 11 Januari 2021 di sejumlah daerah di Jawa-Bali untuk menekan angka penularan COVID-19. PPKM tahap pertama telah berakhir pada 25 Januari 2021, namun dilanjutkan hingga 8 Februari 2021. 

Per Jumat, angka terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah 11.749 menjadi 1.134.854 kasus, sementara kematian berjumlah 31.202 atau naik 201 dari hari sebelumnya. Sementara, angka tenaga kesehatan yang telah divaksinasi mencapai 744.884 dari target 1,5 juta orang, demikian data Kementerian Kesehatan.  

Bhima mengakui, program vaksinasi berhasil mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen pada akhir 2020. Namun, optimisme itu turun ketika dihadapkan pada problem kecepatan distribusi vaksin dan kebijakan pembatasan mobilitas.

“Jadi optimisme pemulihan ekonomi nasional yang lebih cepat pada akhirnya dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah,” katanya.  

Selain itu, stimulus PEN juga berjalan kurang efektif karena lemahnya dukungan pada sisi permintaan, yang terlihat pada alokasi untuk perlindungan sosial sebesar Rp220,3 triliun dan realisasi belanja kesehatan sebesar Rp63,5 triliun yang lebih kecil dibandingkan stimulus lainnya. 

“Idealnya, pemerintah mendorong demand side policy (kebijakan sisi permintaan) dibanding fokus pada supply side policy (kebijakan sisi pasokan). Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha,” katanya.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif Budimanta, mengatakan pemerintah akan tetap mengalokasikan 3,5 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp619,83 triliun untuk mendukung program PEN, termasuk di dalamnya vaksinasi. 

“Itu artinya, pemerintah terus mendorong agar ekonomi kita pulih dalam waktu yang cepat baik dari sisi supply maupun demand,” kata Arif dalam keterangannya, Jumat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.