Indonesia: Hanya Perusahaan yang Patuh Kewajiban yang Boleh Ekspor Batu Bara

Pemerintah tidak membuka informasi perihal berapa banyak perusahaan yang tidak patuhi kewajiban.
Ronna Nirmala
2022.01.13
Jakarta
Indonesia: Hanya Perusahaan yang Patuh Kewajiban yang Boleh Ekspor Batu Bara Dalam foto tertanggal 31 Agustus 2019 ini, tongkang batubara mengantri untuk ditarik di sepanjang sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, sementara di latar belakang tampak sebuah perahu dengan seorang laki-laki berdiri di atasnya.
Reuters

Pemerintah hanya akan mengizinkan ekspor batu bara untuk perusahaan yang sudah memenuhi kewajiban menjual kepada negara meski pasokan domestik dipastikan sudah aman setelah 12 hari larangan diberlakukan, demikian pejabat pemerintah, Kamis (13/1). 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah saat ini baru mengizinkan 37 kapal pengangkut batu bara berlayar keluar Indonesia setelah hasil verifikasi domestic market obligation (DMO) perusahaan pemasok dinyatakan valid. 

“Mengingat stok dalam negeri yang sudah dalam kondisi aman berdasarkan laporan PLN, maka untuk 37 kapal yang sudah melakukan loading per tanggal 12 Januari, dan sudah dibayarkan pihak pembelinya akan di-release untuk melakukan ekspor,” kata Luhut dalam keterangan tertulis kementerian, Kamis. 

Senin lalu, Luhut mengumumkan pemerintah akan melonggarkan larangan ekspor pada pekan ini, menyusul permintaan sejumlah negara agar Indonesia mencabut kebijakan yang turut menyebabkan harga batu bara dunia meroket dalam sepekan terakhir. 

Namun dalam rapat lanjutan yang digelar antar-kementerian, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pemangku kepentingan terkait lainnya, pada Rabu malam, disepakati bahwa izin pelayaran kapal pengangkut batu bara baru akan diberikan kepada perusahaan yang patuh pada DMO. 

DMO mewajibkan para perusahaan batu bara untuk menyetorkan 25 persen dari hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri. 

DMO juga mengatur PLN akan membeli 25 persen suplai itu senilai U.S.$70 per metrik ton, angka yang menjadi keberatan para pengusaha karena dinilai jauh di bawah harga pasar dunia yang lebih dari dua kali lipatnya. 

Luhut mengatakan, perusahaan yang belum mendapat izin ekspor wajib memenuhi pasokan untuk domestik dan membayar denda keterlambatan terlebih dahulu. Nilai perhitungan denda masih dalam perhitungan pejabat terkait dengan merujuk pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

“Untuk perusahaan batu bara yang telah memenuhi kontrak penjualan kepada PLN dan kewajiban DMOnya sudah 100 persen pada tahun 2021, maka akan diizinkan untuk memulai ekspor pada tahun 2022,” kata Luhut.

Berlayar ke Thailand, China

Kementerian ESDM memutuskan untuk menyetop ekspor batu bara selama bulan Januari, menyusul pasokan dalam negeri pada saat itu kurang dari 1 persen dari batas minimal 5 juta metrik ton. 

Pejabat di Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan Kemenkomarves tidak merespons pertanyaan BenarNews perihal perusahaan pemasok batu bara untuk 37 kapal yang mendapatkan izin berlayar. Pejabat di kementerian juga tidak membuka informasi perihal berapa banyak perusahaan yang tidak patuh kewajiban. 

Sementara, data yang diperoleh CNBC Indonesia dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub menyebutkan setidaknya ada 21 perusahaan yang mendapatkan izin mengekspor dengan total volume mencapai 5,72 juta ton. 

Beberapa perusahaan batu bara besar yang masuk dalam daftar itu adalah Adaro Indonesia, PT Bukit Asam, Bayan Resources, dan Kideco, dengan tujuan pengiriman di antaranya ke Thailand, China, Bangladesh, Korea Selatan, Filipina, India, dan Jepang. 

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan pihaknya baru akan memberikan izin pelayaran setelah ada keterangan resmi dari Kementerian ESDM. Sementara, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam keterangan pers, Rabu, mengatakan keterangan resmi itu baru bisa diberikan setelah PLN merilis surat resmi terkait kecukupan pasokan domestik. 

Pemerintah mengatakan setelah 12 hari larangan diberlakukan, PLN telah berhasil mengamankan pasokan untuk 15 hari operasional dari batas maksimal 20 hari operasional. 

“Pengamanan ini memang kita lakukan secara total karena kita ingin memastikan stok tersedia secara nasional dipakai memenuhi situasi emergency yang kita hadapi,” kata Arifin. 

Arifin mengatakan, sekitar 40 persen dari jumlah produksi batu bara nasional yang mencapai 600 juta ton per tahun memenuhi spesifikasi kebutuhan pembangkit listrik PLN. Sementara, jumlah pasokan yang dibutuhkan seluruh pembangkit hanya berkisar 150 juta ton. 

“Jadi, sebetulnya kalau pemasok ini disiplin memenuhi komitmennya, kita tidak perlu mengalami krisis,” katanya. 

Solusi adil

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, LSM yang berfokus pada sektor energi, mengatakan langkah pemerintah untuk membenahi kepatuhan perusahaan sebelum memberikan izin ekspor adalah langkah tepat dan solusi yang adil bagi semua pihak. 

“Desakan-desakan dari negara tetangga begitu kuat, desakan dari pengusaha juga kuat. Tapi pemerintah perlu juga melakukan ini secara bertahap agar kejadian serupa tidak terjadi di bulan mendatang. Jadi, sebenarnya ini sudah win-win solution,” kata Mamit melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Kamis. 

Kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), baik milik PLN maupun swasta, mencapai sedikitnya 11 juta metrik ton per bulan, kata Mamit. 

Data Kementerian ESDM per Juni 2021, menyebutkan kapasitas PLTU di Tanah Air telah mencapai 34.865 MW atau setara kebutuhan listrik bagi 34 juta rumah tangga dalam setahun. 

Mamit menambahkan, idealnya Indonesia mengantongi 20 juta metrik ton per bulan untuk mengamankan operasional pembangkit listrik hingga 20 hari. Maka, penting bagi pemerintah untuk segera memperbaiki mekanisme kontrak pembelian PLN yang tidak lagi dengan system mendadak

“Kontrak harus dibuat jangka panjang, sehingga pengiriman pasokan bisa diamankan dalam waktu panjang juga,” katanya. 

Di sisi lain, pihaknya melihat harga beli PLN senilai U.S.$70 tidak sepenuhnya merugikan bagi pengusaha. 

“Kewajiban ini kan cuma 25 persen, 75 persen yang lain kan tetap bisa diekspor. Dengan harga batu bara yang terus tinggi, pengusaha sebetulnya gak rugi-rugi banget, memang marginnya gak banyak. Jadi seharusnya mereka gak usah teriak-teriak terus lah,” kata Mamit. 

Sementara itu, aktivis lingkungan hidup dari Greenpeace, Tata Mustasya, menyayangkan keputusan Indonesia untuk melonggarkan larangan ekspor batu bara karena desakan negara-negara tetangga di kawasan. 

“Keputusan pencabutan larangan ekspor itu menguntungkan oligarki batu bara karena mereka bisa menjual ke pasar domestik dengan harga lebih tinggi dan mendorong jumlah ekspor batu bara,” katanya.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.