El Niño, larangan ekspor beras India picu kekhawatiran keamanan pangan di Asia Tenggara
2023.09.28
Washington
Dalam banyak bahasa di Asia Tenggara, kata "makan" digunakan dalam arti “makan nasi” karena beras merupakan sumber kehidupan di wilayah tersebut.
Beras menjadi 50% hingga 70% makanan pokok bagi masyarakat Asia Tenggara dan wilayah ini menyumbang 30% dari persediaan beras dunia.
Namun makanan pokok di kawasan ini tidak terjngkau oleh puluhan juta orang di Asia Tenggara karena harga beras telah melonjak lebih dari 40% sejak akhir tahun 2022. Hal ini dipicu oleh eksportir terkemuka, India, melarang penjualan berasnya ke luar negeri dan karena fenomena El Niño, yang menggagalkan sejumlah panen.
Kenaikan harga bisa menjadi krisis nyata jika terus berlanjut, kata Joseph Glauber, peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional di Washington.
“Di negara-negara dimana beras berperan penting sebagai sumber utama kalori – seperti di Asia Selatan dan Asia Tenggara, akan terjadi krisis jika harga beras naik dua atau tiga kali lipat, dari sudut pandang ketahanan pangan,” kata Glauber kepada BenarNews.
Pada Agustus, larangan India terhadap ekspor beras non-basmati yang dimulai pada tanggal 20 Juli menyebabkan harga beras putih dengan kadar beras pecah 5% Thailand, yang merupakan standar Asia, melonjak ke level tertinggi dalam 15 tahun – menjadi lebih dari US$650 (kurang lebih Rp10 juta) per ton, atau 50% lebih tinggi dari $400 di bulan Desember.
Harga telah sedikit turun sejak bulan Agustus, namun dalam waktu enam bulan hingga satu tahun, harga akan naik setidaknya hingga US$700 hingga $750 per ton, kata seorang pakar asal AS kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa semakin banyak fakor pemicu ini bisa mengakibatkan biaya mencapai $1.000 per ton.
Sementara itu, dampak penuh El Niño, dengan pola cuaca ekstremnya, baru akan terlihat pada akhir tahun atau awal tahun 2024, kata banyak pihak.
“Bahkan jika produksi turun hanya 5% hingga 10%, hal ini akan menaikkan harga, karena jumlah yang kita bicarakan adalah dalam volume yang besar,” kata Glauber.
Marie Angie Taalic, 29, seorang warga Filipina, ibu tunggal di Manila yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tinggal di daerah kumuh dengan 10 kerabatnya, sudah harus mengurangi porsi makan keluarganya menjadi satu kali sehari.
“Harga beras benar-benar meroket sehingga kami hampir tidak mampu lagi membelinya,” katanya kepada BenarNews.
“Dulu kami makan tiga kali sehari, sekarang kami hanya makan sekali – terkadang sebelum tengah hari atau beberapa saat setelahnya, saat makan siang.”
Tuduhan pada larangan ekspor India
Inflasi beras di Filipina meningkat menjadi 8,7% pada bulan Agustus dari 4,2% pada bulan Juli.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada tanggal 1 September memberlakukan pembekuan harga beras biasa dan beras giling masing-masing sebesar 41 peso (sekitar Rp11.200) dan 45 peso (Rp12.300) per kg.
Filipina seharusnya tidak terpengaruh oleh larangan tersebut karena mereka mengimpor beras terutama dari Vietnam, yang pada tahun 2022-2023 menyumbang 90% impor.
Namun karena larangan India tersebut, importir global beralih ke pemasok terbesar berikutnya, Thailand dan Vietnam, “menyebabkan harga ekspor mereka melonjak ke tingkat tertinggi sejak tahun 2008,” kata Departemen Pertanian AS dalam laporan “Grain: World Markets and Trade” pada September.
Harga beras yang diekspor dari Thailand dan Vietnam melonjak sebesar 20% sejak larangan ekspor India, kantor berita Reuters melaporkan pada 31 Agustus.
Dan dengan adanya momok El Niño yang melanda Asia Tenggara, produksi beras di wilayah tersebut mungkin akan semakin menurun, yang dapat membuat harga beras menjadi lebih mahal.
Pola El Niño, yang dikaitkan dengan kondisi yang lebih kering dari biasanya di sebagian besar Asia Tenggara, selama tiga dekade terakhir terjadi bersamaan atau mendahului periode inflasi harga beras, menurut perusahaan analisis industri yang berbasis di London, BMI, anak perusahaan dari Fitch Solutions.
Suhu yang mencapai rekor tertinggi telah menghancurkan hasil panen di Asia Tenggara, dengan harga beras yang melonjak bahkan di Thailand yang memiliki persediaan melimpah, menjadi 14,5 Baht (sekitar Rp6.150) hingga 16 Baht (Rp6.800) per kg pada bulan Agustus, dari 13 Baht (Rp5.500) hingga 14,5 Baht pada tahun lalu pada waktu yang sama.
Di negara-negara seperti Vietnam dan Thailand, yang merupakan produsen utama, rendahnya hasil panen padi sangat merugikan petani.
Pairat Puritang, seorang petani di Provinsi Khon Kaen, Thailand, memiliki sawah seluas 4 hektar, dan mengatakan kepada BenarNews bahwa dia tidak yakin akan mencapai titik impas tahun ini.
“Perubahan iklim membuat kita tidak bisa memprediksi curah hujan dan mengendalikan biayanya,” katanya.
“Saya harus menanam benih dua kali tahun ini karena kekeringan.”
Dampak El Niño yang kita rasakan sekarang adalah belum secara keseluruhan.
El Niño diprediksikan akan “sangat kuat” menjelang akhir tahun ini, tulis Elyssa Ludher dan Paul Teng, dari Program Perubahan Iklim di Asia Tenggara di ISEAS – Yusof Ishak Institute Singapura.
“Dengan suhu yang lebih tinggi yang biasanya terjadi setelah periode kemarau, kekeringan dan gelombang panas mungkin akan lebih sering terjadi, tergantung pada intensitas peristiwa El Niño,” kata mereka dalam sebuah laporan untuk institut tersebut.
“Zona penanaman padi utama semuanya termasuk dalam wilayah yang kemungkinan mempengaruhi musim tanam padi pada musim dingin dan musim semi, tulis Elisa dan Paul.
“Dengan demikian produksi padi, khususnya produksi padi musim dingin dan musim semi, diperkirakan akan menurun akibat El Niño.”
Kekeringan yang disebabkan oleh fenomena ini diperkirakan akan mengurangi hasil panen padi di Thailand sebesar 5,6-6% dibandingkan tahun lalu, menurut Departemen Padi dan Pusat Penelitian Kasikorn di Thailand. Penurunan tersebut berarti berkurangnya produksi beras sebesar 25,1-25,6 juta ton.
Produksi bisa turun lebih rendah lagi tergantung pada tingkat keparahan El Niño, menurut laporan Kasikorn.
Enam minggu ke depan yang krusial
Peter Timmer, profesor emeritus di Universitas Harvard, berbagi tentang kebijakan pangan dan pengembangan pertanian dengan spesialisasi dalam stabilisasi harga beras. Sejak tahun 1970an, ia telah bekerja dengan pemerintah di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Timmer mengatakan kepada BenarNews bahwa situasi beras mungkin akan menjadi lebih jelas setelah enam minggu ke depan, suatu periode yang disebutnya “penting.”
“Pada saat itu, kita akan belajar bagaimana Indonesia dan Filipina melewati krisis harga beras,” katanya.
“Pada saat itu kita juga akan mengetahui apakah dampak El Niño akan berlarut-larut, yang dapat menyebabkan kelangkaan yang berkepanjangan dan lebih dalam serta akan terjadi banyak kenaikan harga.”
Glauber, dari Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional, mengatakan enam minggu ke depan juga akan memberikan indikasi mengenai apa yang direncanakan oleh produsen beras besar seperti Thailand dan Vietnam.
“Dalam enam minggu ke depan kita lihat apakah situasinya baik, yaitu El Niño ringan, musim hujan normal, atau berakhir lebih awal,” ujarnya.
“Yang saya harap tidak terjadi adalah tindakan tambahan seperti yang dilakukan India dari Thailand dan Vietnam. Hal ini dapat mengakibatkan kenaikan harga yang sangat besar.”
Negara-negara seperti Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, dan negara tetangganya Malaysia, yang memproduksi beras namun juga mengimpor beras karena tidak bisa swasembada beras, telah terkena dampak dari kekurangan produksi yang disebabkan oleh El Niño dan larangan ekspor dari India.
Pada bulan September, harga beras di Indonesia 16% lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2022.
Annah, seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun di Sukabumi, Jawa Barat, telah mengurangi asupan protein untuk keluarganya yang beranggotakan enam orang. Suaminya, seorang buruh harian lepas, tidak selalu mempunyai pekerjaan.
“Nasi tidak bisa kami ganti dengan makanan lain, karena nasi adalah makanan pokok kami. Kami juga tidak bisa mengurangi konsumsi kami,” kata Annah kepada BenarNews.
Di negara tetangga Malaysia, dimana 70% pasokan beras dalam setahun dipenuhi oleh produksi dalam negeri, masyarakat kesulitan menemukan beras lokal.
Ismail Salleh, ketua MADA, sebuah badan federal Malaysia yang mengawasi penanaman padi di seluruh negeri, mengatakan kepada BenarNews bahwa produksi beras lokal tidak terpengaruh oleh fenomena cuaca ekstrem.
Namun beras lokal tidak ditemukan lagi di supermarket.
Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan Malaysia Mohamad Sabu mengakui adanya kekurangan beras lokal, namun menyalahkan hal tersebut karena adanya penimbunan oleh konsumen yang melihat harga beras impor telah naik sebesar 36%.
“Kekurangan pasokan beras putih lokal di pasar nasional terjadi karena adanya panic buying (panic berbelanja) karena konsumen beralih ke beras putih lokal seiring kenaikan harga beras impor,” kata Sabu kepada BenarNews.
Namun Shahardi Abdullah, seorang petani padi di negara bagian Perlis, menceritakan kisah berbeda, dan menyatakan bahwa kondisi El Niño telah mempengaruhi hasil panennya.
“Sekarang sudah bulan September dan saya belum panen padi yang biasanya dilakukan pada bulan Agustus. Kami terlambat dua bulan karena musim kemarau berkepanjangan yang berlangsung hingga Juni,” ujarnya kepada BenarNews.
“Biasanya, saya bisa menghasilkan 2 ton biji-bijian setiap kali panen, dan menghasilkan sekitar 2.500 ringgit (Rp8.215), namun kali ini saya tidak terlalu yakin… mungkin lebih rendah dari sebelumnya.”
Beras adalah “makanan orang miskin”
Sebelum pandemi COVID-19, pada tahun 2018, lebih dari 73 juta orang, atau 11% dari hampir 654 juta penduduk di negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), hidup dalam kemiskinan yang parah, menurut Oxfam, sebuah organisasi pengentasan kemiskinan internasional.
Jumlah 73 juta tersebut tidak termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, karena Bank Dunia mendefinisikan orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah mereka yang hidup dengan pendapatan 2,15 dolar A.S. per orang per hari. Dan jutaan orang lainnya bergabung dalam kelompok tersebut sejak dan setelah pandemi ketika perekonomian sedang berjuang untuk pulih.
Dengan angka-angka tersebut, inflasi beras di Asia Tenggara dapat menyebabkan masalah ketahanan pangan yang serius karena bukan hanya pangan yang menjadi makanan pokok di kawasan ini, namun juga pangan yang menjadi andalan masyarakat miskin, kata Timmer dari Harvard.
“Beras adalah makanan masyarakat miskin di Asia dan Afrika. Kenaikan harga beras akan menyebabkan kelaparan meluas,” ujarnya.
“Bahkan jika 10% penduduk ASEAN adalah orang miskin, kita sedang membicarakan masalah serius… kelaparan yang cukup signifikan.”
Nontarat Phaicharoen di Bangkok, Tria Dianti di Jakarta, Ili Shazwani dan Muzliza di Kuala Lumpur, serta Jojo Riñoza di Manila, ikut berkontribusi dalam laporan ini.