Agar Blokir Dicabut, Telegram Harus Penuhi Empat Syarat

Pemerintah Indonesia identifikasi 55 kanal di Telegram yang mengandung konten radikal dan panduan menyiapkan aksi teror.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.07.17
Jakarta
170717_ID_telegram_1000.jpg Dari kiri: Direktur Keamanan Informasi Kemenkominfo, Aidil Chendramata; Deputi II BNPT, Arief Darmawan; Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel A. Pangerapan, dan Direktur Penegakan Hukum BNPT, Marthinus Hukom menggelar jumpa pers terkait pemblokiran Telegram di Jakarta, 17 Juli 2017.
Dok. Kemenkominfo

Pemerintah Indonesia akan menormalisasi akses aplikasi pesan Telegram yang diblokir sejak Jumat lalu, bila perusahaan tersebut sudah memenuhi sejumlah persyaratan yang diminta.

Dua dari empat syarat yang diminta Indonesia adalah kemungkinan dibentuknya kanal pemerintah untuk sarana komunikasi yang lebih cepat dan efisien dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan proses tata kelola penapisan konten baik secara proses, pengorganisasian, teknis, maupun sumber daya manusianya.

“Kebijakan untuk melakukan penapisan konten radikalisme dan terorisme merupakan tindak lanjut dari penanganan terhadap isu-isu yang mengancam keamanan negara, terlebih mulai terjadinya perubahan geopolitik dan geostrategis di Asia Tenggara,” ujar juru bicara Kemenkominfo, Noor Iza, kepada BeritaBenar, Senin, 17 Juli 2017.

Noor mengatakan hal ini terutama terkait peristiwa pernah dikuasainya Kota Marawi di Filipina Selatan ke tangan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), sehingga masalah keamanan negara menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, yang juga mendukung langkah Kemenkominfo untuk melakukan penindakan terhadap konten – konten yang bisa mengancam keamanan negara.

Noor mengatakan Kemenkominfo mempunya 17 ribu lembar halaman yang dicetak sebagai bukti, dari laman-laman kanal Telegram berbasis web yang berisi konten radikal dan terorisme.

Syarat ke-3 yang diajukan pemerintah adalah Kemenkominfo agar diberikan otoritas sebagai trusted flagger atau pihak yang berwenang mengidentifikasi akun atau kanal dalam layanan Telegram, sedangkan yang ke-4 adalah agar Telegram membuka kantor perwakilan di Indonesia.

Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan pemerintah tidak akan membuka blokir Telegram hingga keempat syarat tersebut dipenuhi.

“Normalisasi (pembukaan blokir) kapan? Kalau semua ketentuan yang sudah kami syaratkan itu dipenuhi oleh Telegram, maka kami akan membuka blokirnya,” kata Semuel saat jumpa pers di Gedung Kemenkominfo, Jakarta, Senin, seperti dikutip di Kompas.com.

55 kanal

Semuel juga mengatakan bahwa pemerintah mengidentifikasi 55 kanal di Telegram yang mengandung radikalisme, terorisme, dan panduan menyiapkan aksi terorisme.

Menurutnya, pengguna kanal itu yakin mereka bisa bersembunyi dari aparat keamanan karena kecanggihan teknologi yang ditawarkan aplikasi tersebut, dan menggunakannya untuk propaganda, penyebaran informasi, atau melakukan pengkaderan.

“Pemerintah tidak ingin memberikan ruang pada mereka untuk bersembunyi untuk melaksanakan kegiatan mereka yang dapat menghancurkan kelangsungan bernegara dan berbangsa,” ujarnya.

Selain itu, hampir semua pelaku terorisme yang sudah ditangkap dan ditindak sejak 2015 hingga Juli 2017 mengaku menggunakan aplikasi ini untuk berkomunikasi dan hanya dua dari mereka yang tidak menggunakan Telegram.

“Jadi kita lihat bagaimana masifnya mereka memanfaatkan atau menyalahgunakan kecanggihan teknologi. Itulah sebabnya kita harus ambil langkah cepat dan strategis untuk mencegah lebih lanjut,” ujar Semuel.

Deputi II bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Arief Darmawan mengatakan kasus terhadap Telegram ini sebagai pelajaran bagi pemberi jasa aplikasi lainnya.

“Penyebaran paham radikal dan terorisme paling efektif menggunakan media sosial, itu sudah tidak terbantahkan lagi. Kami berharap tidak ada lagi (yang diblokir). Ini jadi pertama sekaligus peringatan bila yang lain tidak melakukan yang sama,” ujar Arief.

Pemerintah meminta penyedia layanan internet di Indonesia untuk memblokir 11 Domain Name System (DNS) milik aplikasi Telegram. Pemblokiran ini menimbulkan kontroversi di masyarakat dan sebagian menganggapnya sebagai bentuk pengekangan kebebasan berekspresi dan menodai demokrasi di Indonesia.

Semuel mengatakan keputusan untuk memblokir konten Telegram dilakukan setelah mengirim email ke-6 ke pihak Telegram pada 11 Juli dan tidak ada tanggapan hingga Kamis malam, 13 Juli.

Pemblokiran Telegram berbasis web juga dilakukan karena interaksi dalam kanal-kanal yang dianggap berbahaya banyak terjadi di web, yang memungkinkan transfer dokumen dalam ukuran besar hingga 1,5 giga byte, tambah Semuel.

Tanggapan CEO Telegram

Sebelumnya, Kemenkominfo sudah mengirim lima email sejak 29 Maret 2016 kepada Telegram mengenai permintaan agar perusahaan itu membersihkan konten-konten mengandung radikalisme dan terorisme dari seluruh kanal yang mereka fasilitasi namun kelima email itu tidak mendapat tanggapan.

Chief Executive Officer (CEO) Telegram Pavel Durov dalam kanalnya, hari Minggu, 16 Juli 2017, mengakui adanya keterlambatan dalam merespon email-email dari Kemenkominfo.

Durov menawarkan tiga langkah untuk merespon hal ini, yaitu memblokir kanal-kanal terkait terorisme yang diminta Kemenkominfo, mengirim email ke Kemenkominfo untuk membentuk jalur komunikasi langsung dan membentuk tim moderator yang paham akan bahasa dan budaya Indonesia untuk lebih cepat dan akurat dalam merespon konten yang terkait terorisme.

“Telegram sangat terenkripsi dan berorientasi menjaga privasi, namun kami tidak berteman dengan teroris, bahkan tiap bulan kami memblokir ribuan kanal terkait ISIS dan mempublikasikan hasilnya di (akun Twitter) @isiswatch. Kami terus mencoba untuk lebih efisien mencegah propaganda terorisme,” ujar Durov dalam pernyataannya.

Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan sudah menerima email dari Durov yang berisi permintaan maafnya.

“Saya mengapresiasi respon dari Pavel Durov tersebut dan Kementerian Kominfo akan menindakanjuti secepatnya dari sisi teknis detail agar standard operating procedure-nya bisa segera diimplementasikan,” ujar Rudiantara dalam pernyataannya di laman Kemenkominfo.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.