Puluhan Mantan Napi Teroris Peringati HUT Kemerdekaan RI
2017.08.17
Lamongan
Puluhan mantan teroris berbaur dengan ratusan orang di halaman Masjid Baitul Muttaqien di Desa Tenggulun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Kamis pagi, 17 Agustus 2017.
Mereka menggelar upacara pengibaran bendera untuk memperingati hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Indonesia ke-72. Upacara ini digelar Yayasan Lingkar Perdamaian yang didirikan oleh Ali Fauzi Manzi, seorang bekas narapidana (napi) terorisme bersama rekan napi terorisme lainnya, pada November 2016.
Terdapat 37 mantan napi terorisme pagi itu. Mereka tidak hanya sebagai peserta namun sebagian juga menjadi petugas upacara. Bagi sebagian besar mereka, ini adalah upacara pertama karena sebelumnya terlibat jaringan Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang terafiliasi dengan al-Qaeda dan berada di balik aksi bom Bali I pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang.
Yoyok Edi Sucahyo alias Broyok menjadi komandan upacara. Dia adalah murid kesayangan ustadz Abu Faris, pengajar Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun yang kini dilaporkan menjabat komandan perang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah.
Kedekatan dengan Faris membawa Yoyok terpapar radikalisme dan terlibat terorisme.
“Itu masa lalu saya, sekarang saatnya menyongsong masa depan,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Sementara pengibar bendera adalah Zulia Mahendra, putra bungsu terpidana mati terorisme Amrozi dan Khoerul Mustain, anak sulung Nor Minda pelaku bom Bali I yang bertindak sebagai penyedia bahan dan penyimpanan senjata dan amunisi.
“Terharu pengalaman yang tak terlupakan,” kata Mahendra.
Dia sempat dendam dan marah kepada polisi dan aparat penegak hukum yang mengeksekusi ayahnya.
Namun, setelah didekati dan berinteraksi dengan bekas narapidana terorisme, Mahendra sadar dan mengurungkan niat balas dendamnya.
Ali Fauzi sendiri bertugas membaca teks proklamasi. Dia adalah adik trio bom Bali I – Ali Imron, Ali Ghufron alias Muklas, dan Amrozi.
Kakak Ali Fauzi, Ustadz Khodzin, menjadi pembaca doa.
Saat bergabung dengan JI, pada tahun 1990-an, Ali sempat dikirim oleh Hambali – terpidana teroris yang kini mendekam di penjara Guantanamo, Kuba, - ke Mindanao, Filipina Selatan, untuk belajar merakit bom dan bertempur dengan pejuang Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Upacara bendera ini adalah inisiatifnya setelah ikrar setia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan para bekas teroris itu, dan setelah terbangunnya kepercayaan masyarakat.
“Banyak yang mengirim pesan menyatakan jika ikrar setia NKRI palsu,” kata Ali Fauzi yang mengaku sering mendapat ancaman dari kelompok-kelompok radikal yang menginginkan Indonesia untuk berada di bawah khilafah.
Rangkul bekas teroris
Melalui Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi merangkul bekas narapidana terorisme untuk melakukan kampanye damai dan menghormati keberagaman.
Dia juga melibatkan sejumlah pengusaha untuk menampung mereka bekerja agar menafkahi keluarga. Sebagian lagi disalurkan menjadi tenaga pengajar di sejumlah lembaga pendidikan.
Kapolres Lamongan, AKBP. Juda Nusa Putra, meminta masyarakat menerima mantan narapidana terorisme dengan tangan terbuka.
“Mereka telah mewujudkan dan menghayati cinta tanah air. Luar biasa upacaranya sukses,” katanya.
Ia mendukung Lingkar Perdamaian sebagai bengkel deradikalisasi untuk mengubah stigma Lamongan sebagai daerah penghasil teroris.
Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terpidana terorisme Umar Patek menjadi pengibar bendera pada upacara peringatan HUT RI ke-72. Dia sebelumnya juga pernah menjadi petugas upacara hari kebangkitan nasional dua tahun lalu.
"Tak ada paksaan, ini bukti kecintaan Umar Patek terhadap Indonesia," ungkap Kepala Lapas Porong, Riyanto, saat dihubungi BeritaBenar.
Umar divonis 20 tahun penjara karena terlibat aksi bom Bali I dan bom malam Natal pada 2000.
Remisi
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menyatakan sebanyak 92.816 narapidana di seluruh Indonesia mendapatkan remisi (pengurangan masa hukuman) HUT RI tahun ini.
Sebanyak 35 di antaranya adalah narapidana kasus terorisme, termasuk Abu Bakar Ba’asyir – yang kini mendekam di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, dan Aman Abdurrahman, yang disebut-sebut sebagai pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) – kelompok yang terafiliasi dengan ISIS dan dituding berada di balik berbagai aksi teror di tanah air.
Aman sejatinya bebas dari Lapas Nusakambangan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, karena sudah menjalani masa hukuman sembilan tahun atas keterlibatan dalam pelatihan paramiliter JI di Aceh tahun 2010.
Tapi, menurut Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Tengah, Ibnu Chuldun, Aman dibawa tim Densus 88 Anti-teror Polri.
"Aman dijemput Densus 88 hari Minggu kemarin, sebelum surat pembebasannya diserahkan. Dia dibon ke Mako Brimob, Kelapa Dua," katanya seperti dikutip di Liputan6.com.
Kepala Lapas Pasir Putih di Nusakambangan, M. Susani, mengatakan Aman diperiksa terkait aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016 lalu yang menewaskan empat warga sipil dan empat pelaku.
"Yang kami tahu kemarin, Densus 88 hanya menyampaikan, dia akan diperiksa terkait kasus Thamrin. Ada benang merahnya dengan dia," katanya dikutip di laman yang sama.
"Selama ini yang bersangkutan memang selalu dikaitkan dengan kasus-kasus terorisme, tetapi tidak ada tindak lanjut yang jelas. Maksudnya itu dilaksanakan, misalnya ditahan atau seperti apa tidak ada. Sehingga kita tetap memakai aturan-aturan yang ada di kita kan. Dia dapat remisi dan bebas," jelasnya.
Sedangkan, Ba'asyir sedang menjalani masa hukuman setelah divonis 15 tahun penjara pada 2011 atas keterlibatannya dalam pelatihan paramiliter di Aceh Besar.
"Remisinya (Ba’asyir) tiga bulan. Ini remisi tahun ketiga. Masa kurungan penjaranya sampai 2024 mendatang," kata Yasonna seperti dikutip dari Kompas.com.