Fatwa MUI Dilihat Menjadi Kekuatan Tambahan Penanggulangan Kebakaran Hutan
2016.09.15
Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pembakaran hutan dan perusakan lingkungan dapat menjadi kekuatan lunak tambahan bagi pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi setiap tahun sejak akhir 1990.
“Kami sudah menggunakan beberapa instrumen dalam penanganan kebakaran hutan seperti mengeluarkan undang-undang, penegakan hukum, bahkan rekayasa hujan dan penggunaan teknologi. Fatwa ini menjadi kekuatan lunak dan hukum moral,” ujar juru bicara KLHK, Novrizal, kepada BeritaBenar di Jakarta, Kamis, 15 September 2016.
Anggota Komisi Fatwa MUI, Arwani Faisal mengatakan bahwa fatwa MUI itu setelah ada permintaan KLHK yang diawali dengan diskusi tentang kemungkinan dikeluarkan fatwa mengenai pembakaran hutan, termasuk pengendalian dan pencegahannya.
“Setelah berdiskusi panjang, ada kesepakatan mengenai perlunya dikeluarkan fatwa,” jelas Arwani kepada BeritaBenar.
“Fatwa ini ditujukan bukan hanya pada pelaku pembakaran hutan namun juga mereka yang memfasilitasi demi kepentingan tertentu dan untuk memotivasi masyarakat agar ikut dalam upaya pencegahan pembakaran hutan,” ujar Arwani.
Bunyi fatwa
Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 diumumkan Ketua Bidang Fatwa MUI, Huzaimah Tohido Yanggo dalam jumpa pers di KLHK, Selasa, 13 September 2016.
“Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan dan dampak buruk lain, hukumnya haram,” ujar Huzaimah saat membacakan butir pertama fatwa tersebut.
Selanjutnya, kata dia, memfasilitasi, membiarkan, dan atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam butir pertama juga haram dan melakukan hal di butir pertama adalah kejahatan sehingga pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan hutan dan lahan yang ditimbulkannya.
Fatwa itu juga mengatakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah wajib hukumnya.
Butir kelima menjelaskan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan pada prinsipnya boleh dilakukan dengan syarat-syarat dan izin sesuai ketentuan berlaku untuk kemaslahatan bersama yang tidak menimbulkan kerusakan serta dampak buruk dan pencemaran lingkungan.
“Keenam, pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam poin kelima hukumnya haram,” ujar Huzaimah.
Novrizal menyampingkan kemungkinan fatwa tersebut tidak efektif untuk mencegah kebakaran hutan.
Setelah fatwa dikeluarkan, menurut dia, MUI akan mendiseminasikan pada masyarakat terutama di lokasi-lokasi kebakaran hutan melalui majelis taklim dan ceramah oleh para da’i.
Penegakan hukum
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf yang diminta tanggapannya menyebutkan bahwa tanpa fatwa dari MUI sekalipun, sudah jelas bahwa membakar hutan untuk eksploitasi lingkungan adalah haram.
“Hal itu sudah jelas haram dari hukum Islam atau hukum agama apapun karena merusak alam dan itu adalah kejahatan,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, yang lebih penting adalah kemauan politik dan penegakan hukum positif yang sudah ada, karena selama ini terkesan masih lemah.
Januari lalu, Polda Riau menghentikan penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan di provinsi itu.
Akhir Desember 2015, Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan perdata Rp 7,9 triliun yang diajukan KLHK atas kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau pada 2014.
Awal bulan ini, tujuh petugas KLHK yang sedang bertugas menyelidiki kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, sempat disandera semalam oleh warga lokal sebelum dibebaskan satuan tugas TNI untuk kebakaran hutan di Riau.
Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan kuat dugaan warga itu digerakkan oleh PT Andika Pratama Sawit Lestari. Tim KLHK turun ke areal lahan perusahaan itu karena ada kebakaran di perkebunan sawit tersebut, Agustus lalu.
Efektif?
Juru kampanye hutan untuk Greenpeace Indonesia, Yuyun Indardi, menyambut baik fatwa tersebut karena dari konteks kampanye, hal ini dapat membantu.
“Namun untuk efektif atau tidaknya, kita baru bisa melihatnya setidaknya satu tahun setelah fatwa dikeluarkan,” ujar Yuyun kepada BeritaBenar.
“Apakah benar nilai moral yang terkandung dalam fatwa ini akan dapat mengurangi pembakaran hutan dalam setahun ke depan?" tambahnya.
Akibat kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan kerugian besar bagi yang terkena dampaknya.
Tahun lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan luas lahan terbakar di Sumatera dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar sehingga menimbulkan kabut asap beberapa bulan hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Beberapa daerah di Indonesia terpaksa meliburkan sekolah dan banyak penerbangan dibatalkan. Sejumlah orang dilaporkan tewas dan ribuan lagi menderita infeksi saluran pernafasan akut.
Bank Dunia pada Desember 2015 menyebutkan akibat kebakaran hutan dan lahan 2015, Indonesia mengalami kerugian hingga US$15,72 miliar atau setara Rp221 triliun. Angka itu dua kali lipat dari dana untuk membiayai rekonstruksi Aceh pascatsunami tahun 2004.
Pada tahun ini, kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di sejumlah provinsi meski tidak separah tahun 2015.
BNPB dalam rilisnya menyebutkan pada Kamis, terdapat 260 titik api di Indonesia, yang sebagian besar terdapat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.