Terbitkan Fatwa, MUI Haramkan Ujaran Kebencian di Media Sosial

Fatwa ini dinilai akan efektif mengubah perilaku masyarakat Indonesia apabila dibarengi sosialisasi dan pendidikan tentang penggunaan media sosial yang sehat.
Arie Firdaus
2017.06.06
Jakarta
170606_ID_MUI_1000.jpg Seorang warga sedang mengakses media sosial Facebook di Jakarta, 6 Juni 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa tentang tata cara penggunaan media sosial untuk umat Islam yang melarang penyebaran ujaran kebencian serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar-golongan (SARA).

"Haram bagi setiap Muslim melakukannya (ujaran kebencian)," kata Sekretaris Jenderal MUI, Asrorun Niam Sholeh, kepada BeritaBenar, Selasa, 6 Juni 2017.

Selain ujaran kebencian dan permusuhan, fatwa yang disebut muamalah medsosial itu juga melarang umat Islam menyebarkan fitnah berupa informasi bohong (hoax), menggunjing, merisak (bullying), menyebarluaskan konten pornografi, serta mengadu domba.

Menurut Asrorun, fatwa ini diterbitkan setelah MUI melihat maraknya permusuhan dan fitnah di media sosial, terutama Facebook, akhir-akhir ini.

"Media sosial tidak mungkin dihindari. Yang penting bagaimana mencegah kerusakan akibat media sosial," tambahnya.

Adapun Ketua MUI, Ma'ruf Amin, dalam pernyataannya sehari sebelumnya mengatakan penerbitan fatwa ini adalah wujud peranan ulama untuk mengantisipasi permusuhan di ranah maya.

"Masalah yang kita alami adalah semacam kebebasan berlebihan dan tidak terkendali. Ini yang sebabkan konten media sosial tidak terkendali," katanya.

"Mudah-mudahan fatwa ini bisa mencegah penyebaran konten bohong dan mengarah pada upaya adu domba di tengah masyarakat."

Dewasa dalam berdemokrasi

Beberapa kabar bohong dan hasutan memang beredar di beragam platform media sosial dalam setahun belakangan ini, yang memuncak pada saat Pilkada Jakarta yang dinilai sarat kepentingan politik bernuansa SARA. Kekalahan kandidat petahana, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa, dari lawannya Anies Baswedan, seorang Muslim, banyak dinilai tidak terlepas dari ujaran kebencian berbau SARA.

Sebelumnya, berita hoax dan ujaran kebencian juga sudah meningkat di sosial media setelah sebuah pidato Ahok yang menyitir surat Almaidah 51 dinilai menistakan agama Islam, terutama setelah keluarnya fatwa MUI yang menyatakan hal tersebut.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menilai maraknya kabar bohong dan fitnah merupakan imbas negatif dari keterbukaan informasi, seperti dikutip di Kompas.

Pasalnya, kata Jokowi, setiap orang kini bisa menyampaikan informasi serta pendapat pribadi secara terbuka.

Meski begitu, Jokowi menilai fenomena ini sebagai fase normal dan wajar. Ia percaya rakyat Indonesia akan cepat belajar dan kian dewasa dalam berdemokrasi.

"Sebab kita semakin sadar bahwa, 'oh, ternyata kita ini beragam'," kata Jokowi di laman tersebut.

"Kita akan semakin dewasa dan matang dalam menghadapi fenomena fitnah, kabar bohong di media sosial. Kita bisa memverifikasi sendiri, mana yang benar dan bohong. Saya kira kita mengarah ke sana," ujar Jokowi yang juga adalah korban hoax. Saat Pemilu Presiden 2014 ia dan keluarganya dinyatakan terkait Partai Komunis Indonesia (PKI), hal yang telah dibantah berulang kali oleh mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Dibarengi sosialisasi

Menyoal terbitnya fatwa MUI tentang tata cara bersikap di ranah maya ini, pengamat media sosial, Enda Nasution, mengapresiasinya.

"Karena MUI ikut merespons apa yang terjadi di tengah masyarakat," katanya kepada BeritaBenar.

Namun, tambah Enda, fatwa ini hanya akan efektif mengubah perilaku masyarakat Indonesia jika dibarengi sosialisasi dan pendidikan khusus secara berkelanjutan tentang cara penggunaan media sosial yang sehat.

Secara hukum formal, fatwa MUI memang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Tapi ini langkah awal yang bagus," kata Enda lagi.

Dia juga menyoroti perlu dialog antar-pegiat media sosial, baik yang mendukung maupun kontra dengan pemerintah.

"Karena kalau tidak, akan ada terus saja perseteruan," ujarnya.

Pendapat tak jauh berbeda disampaikan pengamat dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio.

Menurutnya, fatwa MUI tersebut hanya akan berdampak positif jika direspons baik oleh pemerintah dengan menyegerakan pembutan aturan lanjutan.

Salah satunya, terang Hendri, menyoal larangan keberadaan buzzer di beragam platform media sosial.

Dalam fatwanya, MUI memang menyinggung pelarangan keberadaan buzzer. Hanya saja, larangan itu sebatas buzzer yang menyuarakan kabar dan informasi palsu, hujatan, fitnah, atau risakan.

"Nanti ada perdebatan lagi, positif buat siapa?" kata Hendri saat dihubungi.

Hal sama disuarakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain.

"Pemerintah perlu bersikap, melanjutkan fatwa ini," katanya.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara berjanji akan menindaklanjuti fatwa MUI itu. Salah satunya adalah dengan membantu sosialisasi keberadaan fatwa tersebut kepada masyarakat.

"Kami sudah membuat infografisnya. Apa saja yang tidak boleh dilakukan," katanya di Istana Kepresidenan, dikutip dari laman Kompas.com.

"Dengan begitu, masyarakat pun bisa lebih berhati-hati menggunakan media sosial.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.