Fiji, Papua Nugini gagal membawa misi hak asasi manusia PBB ke Papua
2024.07.23
Brisbane/Port Moresby/Jakarta

Perdana Menteri Fiji Sitiveni Rabuka dan Perdana Menteri James Marape dari Papua Nugini belum berhasil menjalankan misinya untuk mendatangkan hak asasi manusia PBB ke Papua, setelah tahun lalu mereka ditunjuk oleh kelompok negara-negara Kepulauan Pasifik untuk menegosiasikan kunjungan tersebut.
Selama lebih dari 10 tahun, para pemimpin negara di Kepulauan Pasifik yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Forum Kepulauan Pasifik telah meminta PBB untuk terlibat di Papua menyusul adanya laporan mengenai kekerasan yang terjadi saat militer Indonesia melawan gerakan kemerdekaan Papua Barat, merujuk pada wilayah Papua yang merupakan bagian dari Indonesia.
Melalui Sitiveni dan Marape sebagai utusan khusus, mereka mendorong Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk berkunjung ke Indonesia dan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo, tetapi sejauh ini upayanya tidak membuahkan hasil.
Komisi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengeluarkan laporan Maret lalu yang sangat kritis tentang Indonesia dan menyuarakan kekhawatiran mengenai pembunuhan di luar proses hukum, penggunaan kekerasan yang berlebihan, dan penghilangan paksa yang melibatkan penduduk asli Papua.
“Kami belum bisa menegosiasikan syarat-syarat kunjungan OHCHR ke Papua,” kata kantor Komisaris Volker Türk di Jenewa dalam sebuah pernyataan kepada BenarNews.
“Kami tetap sangat prihatin dengan situasi di wilayah tersebut, dengan beberapa laporan menunjukkan insiden kekerasan dan korban sipil yang meningkat signifikan pada tahun 2023.
“Kami menekankan pentingnya akuntabilitas bagi aparat keamanan dan kelompok bersenjata yang beroperasi di Papua dan pentingnya mengatasi keluhan dasar dan akar penyebab konflik ini.”
Indonesia mengirim undangan resmi ke OHCHR pada tahun 2018 setelah para pemimpin kawasan Pasifik dari Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Tonga, dan Kepulauan Marshall selama bertahun-tahun terus menyatakan di Majelis Umum PBB dan forum internasional lainnya akan adanya pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Forum Kepulauan Pasifik – organisasi antarpemerintah regional di kepulauan Pasifik yang beranggotakan 18 negara – telah meminta Indonesia sejak tahun 2019 untuk mengizinkan misi tersebut dilaksanakan.
“Kami terus menjalin kerja sama yang konstruktif dengan PBB terkait kemajuan peningkatan hak asasi manusia di Indonesia, dan termasuk kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu yang mendapat apresiasi dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB,” kata Siti Ruhaini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden kepada BenarNews.
Pada bulan Maret lalu, militer Indonesia melakukan perbuatan yang langka, ketika menyampaikan permintaan maaf setelah muncul video yang memperlihatkan tentara berulang kali menebas seorang pria Papua dengan bayonet saat ia dipaksa berdiri di dalam drum berisi air.
Laporan PBB terbaru menyoroti “laporan sistematis tentang penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat di tempat-tempat penahanan, khususnya terhadap penduduk asli Papua” dan terbatasnya akses terhadap informasi tentang investigasi yang dilakukan, para terdakwa yang dituntut, dan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir, telah terjadi beberapa bentrokan fatal di Papua dengan ribuan orang dilaporkan mengungsi setelah melarikan diri dari bentrokan tersebut.
Pada bulan Juni, Indonesia dituduh mengeksploitasi kunjungan direktur jenderal MSG ke Papua untuk menunjukkan bahwa wilayah tersebut “stabil dan kondusif”. Hal ini dianggap melemahkan upaya untuk memastikan kunjungan Türk ke sana.
Siti Ruhaini mengatakan kepada BenarNews bahwa undangan ke PBB "masih berlaku" sambil berupaya menemukan "waktu terbaik (untuk) memenuhi keinginan kedua belah pihak."
Setelah bertahun-tahun tertunda, MSG – yang anggotanya adalah Fiji, Vanuatu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan gerakan kemerdekaan Kanak di Kaledonia Baru – menunjuk dua perdana menteri Fiji dan Papua Nugini pada November lalu untuk berunding secara langsung.
Namun kunjungan kenegaraan Marape ke Indonesia minggu lalu menimbulkan kebingungan mengenai apakah terjadi pembicaraan tentang hak asasi manusia di Papua atau kunjungan utusan PBB.
Perdana Menteri PNG mengatakan Jumat lalu bahwa, atas nama MSG dan mitranya dari Fiji, ia telah berbicara dengan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan mereka "sangat peka terhadap isu-isu Papua Barat."
"Pada dasarnya kami katakan kepadanya bahwa kami prihatin dengan isu-isu hak asasi manusia (di Papua) dan agar mereka menghormati budaya mereka, menghormati orang-orang mereka, menghormati hak-hak mereka atas tanah," kata Marape menanggapi pertanyaan dari BenarNews saat konferensi pers setibanya kembali di Port Moresby.
Marape mengatakan bahwa Prabowo mengindikasikan bahwa ia akan melanjutkan kebijakan Jokowi terhadap provinsi-provinsi Papua dan telah mengisyaratkan "akan ada moratorium atau seruan amnesti bagi mereka yang masih membawa senjata di Papua Barat."
Selama kunjungan Marape ke Indonesia, kedua negara tetangga menyatakan pengakuan atas kedaulatan negara masing-masing, merayakan penandatanganan beberapa perjanjian lintas batas dan bahwa "hubungan (kedua negara) berada pada posisi yang tepat."
Siti dari Kantor Staf Presiden mengatakan kepada BenarNews sesudah itu bahwa tidak ada pembahasan mengenai kunjungan PBB selama pertemuan antara Jokowi dan Marape dan “masalah hak asasi manusia di Papua tidak ada dalam agenda.”
BenarNews telah mencoba bertanya kepada kantor Presiden tentang pernyataan yang bertentangan tersebut, namun tidak mendapat jawaban.
Indonesia adalah anggota asosiasi MSG dan United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Bersatu Papua Barat berstatus pengamat. Keduanya tidak memiliki hak suara.
"Hal itu adalah bagian dari mandat para pemimpin, yaitu ada kewajiban moral untuk mengemukakan baik secara terbuka maupun saat pertemuan tatap muka, karena ada orang Papua yang sekarat di depan mata para pemimpin Pasifik selama 60 tahun terakhir," kata presiden Gerakan Pembebasan Bersatu Papua Barat yang pro-kemerdekaan, Benny Wenda, kepada BenarNews.
"Kami menuntut keanggotaan penuh MSG sehingga kami dapat terlibat secara setara dengan Indonesia dan menemukan solusi untuk perdamaian."
Dekolonisasi di Pasifik telah kembali masuk dengan sangat kuat dalam agenda internasional setelah protes di Kaledonia Baru, yang merupakan teritori Prancis, pada bulan Mei berujung terjadinya kekerasan yang menewaskan10 orang.
Kerusuhan meletus setelah penduduk asli Kanak menuduh Prancis mencoba melemahkan blok suara mereka di Kaledonia Baru setelah proses referendum kemerdekaan yang disengketakan berakhir pada tahun 2021, dan menghasilkan keputusan mereka berada dalam kekuasaan Prancis.
Saat bertemu di Jepang akhir minggu lalu, Para pemimpin MSG menyerukan referendum baru dan PIF mendapatkan persetujuan dari Prancis untuk mengirim misi pencari fakta ke Kaledonia Baru.
Islands Business melaporkan bahwa Rabuka, saat berada di Tokyo untuk menghadiri pertemuan tersebut, mengatakan dia dan Marape akan menemui presiden Indonesia "untuk membahas tindakan lebih lanjut terkait rakyat Papua Barat."
Pemberontakan di Papua telah berlangsung sejak awal 1960-an ketika tentara Indonesia menyerbu wilayah tersebut, yang tetap berada di bawah pemerintahan Belanda yang terpisah setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Indonesia berpendapat bahwa wilayah yang relatif jarang penduduknya dan kaya mineral tersebut telah dimasukkan ke dalam hukum internasional, karena wilayah tersebut merupakan bagian dari kekaisaran Hindia Belanda yang menjadi dasar bagi perbatasan modernnya.
Kontrol Indonesia atas Papua diformalkan pada tahun 1969 melalui referendum yang diawasi PBB di mana hanya lebih dari 1.000 orang Papua yang diizinkan untuk memberikan suara. Orang Papua mengatakan bahwa mereka ditolak haknya untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan sekarang terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan upayanya untuk menetralkan dukungan kawasan Pasifik terhadap gerakan kemerdekaan Papua Barat, khususnya di antara negara-negara Melanesia yang memiliki hubungan etnis dan budaya.
“Indonesia semakin terlibat dengan negara-negara tetangga Pasifik secara konstruktif sambil menghormati kedaulatan masing-masing anggota,” kata Theofransus Litaay, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden kepada BenarNews.
“Papua selalu menjadi prioritas dan program bagi Indonesia dalam upaya memperkuat posisinya sebagai ‘beranda’ Indonesia di Pasifik.”
Kedua perdana menteri Fiji dan PNG sebelumnya telah bertemu dengan Jokowi, yang akan mengakhiri masa jabatannya bulan Oktober mendatang, di sela-sela sebuah pertemuan tingkat tinggi internasional di San Francisco pada bulan November.
Kedua perdana menteri tersebut dijadwalkan akan melaporkan kembali kemajuan misi mereka pada pertemuan tahunan MSG yang dijadwalkan bulan depan.
"Jika waktu memungkinkan, di mana kami berdua dapat kembali dan menemuinya untuk membahas masalah ini, maka kami akan pergi, tetapi saya memiliki banyak masalah yang harus diselesaikan di sini," kata Marape di Port Moresby pada hari Jumat.