KPAI dan Kepolisian Identifikasi 305 Anak Korban Pencabulan WN Prancis

Pelaku mengiming-imingi para korban menjadi model foto dengan bayaran Rp250 ribu - Rp1 juta.
Ronna Nirmala
2020.07.10
Jakarta
200710_ID_Phedophil_1000.jpg Foto tertanggal 9 Juli 2020 ini memperlihatkan warga negara Prancis, Francois Camille Abello (65), dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan oleh kepolisian di Jakarta, setelah ia ditangkap bulan lalu atas dugaan eksploitasi seksual kepada setidaknya 300 anak.
AFP

Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya bersama komisi perlindungan anak pada Jumat (10/7) mengatakan masih akan melakukan identifikasi terhadap 305 anak yang diduga menjadi korban pencabulan dan eksploitasi seksual oleh seorang warga negara Prancis, Francois Camille Abello (65), sejak akhir tahun 2019.

Sementara itu, Kementerian Sosial menyatakan akan segera menyiapkan balai rehabilitasi khusus di beberapa titik di DKI Jakarta untuk mendukung selama proses hukum berlangsung serta pemulihan psikososial para korban.

“Proses identifikasi korban masih terus dilakukan. Angka 305 itu kita dapatkan dari rekaman video mesum pelaku dengan anak-anak di bawah umur di laptop tersangka,” kata juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, saat dikonfirmasi BenarNews, Jumat.

Yusri mengatakan, sampai hari ini polisi telah berhasil mengidentifikasi sekitar 30 anak yang reratanya berusia sepuluh hingga 18. “Tim Siber Mabes Polri sudah identifikasi sekitar 30-an anak, memang rata-rata di antara mereka berusia sepuluh, 13, dan 17 tahun di antara itu ya. Ada juga yang 18 kurang,” tukasnya.

Polda Metro Jaya menangkap Abello bersama dua anak perempuan di bawah umur dengan kondisi telanjang dan setengah telanjang di salah satu hotel di Jl. Mangga Besar, Jakarta Barat, pada 25 Juni.

Penangkapan terjadi setelah adanya laporan masyarakat yang mencurigai adanya tindakan pencabulan dan asusila dengan kedok menawarkan pemotretan kepada anak-anak di kamar hotel.

Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, dalam keterangan pers, Kamis, mengatakan modus operandi tersangka adalah menawarkan kepada korban menjadi model foto dengan iming-iming imbalan mulai dari Rp250 ribu hingga Rp1 juta.

“Para korban anak yang merupakan anak jalanan didandani atau di-makeup terlebih dahulu sehingga terlihat menarik untuk kemudian dilakukan perbuatan cabul,” kata Nana.

“Korban yang tidak mau akan mendapatkan perlakuan kekerasan fisik seperti dipukul, ditampar, dan ditendang tersangka,” tambahnya.

Dari keterangan saksi dan korban, tersangka kerap berpindah-pindah hotel di kawasan Jakarta Barat dalam melakukan aksinya. Pada bulan Desember 2019 sampai Februari 2020, tersangka diketahui membuka “layanan” pemotretan di Hotel Olympic, Jakarta Barat.

Kemudian pada Februari sampai April 2020, aksinya dilakukan di Hotel Luminor, Jakarta Barat, dan selama April sampai Juni 2020 di Hotel Prinsen Park, Jakarta Barat.

Bersama tersangka, polisi mengamankan sejumlah barang bukti seperti 21 pakaian yang dipakai korban untuk pemotretan seksi dan pembuatan video cabul, enam unit kamera, dua buah alat bantu seks, dan paspor atas nama tersangka.

Atas perbuatannya, tersangka terancam hukuman mati, seumur hidup, kebiri, atau paling singkat 10 tahun karena melanggar pasal berlapis mulai dari persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan korban lebih dari satu anak hingga menyebarkan foto atau video asusila.

Pendampingan korban

Sementara itu, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara meminta aparat keamanan untuk memberikan hukuman yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan tersangka di samping meminta koordinasi yang lebih serius di antara seluruh pemangku kepentingan anak untuk mencegah insiden serupa terjadi kembali.

Selain itu, Juliari juga mengatakan pihaknya siap melakukan pendampingan dan rehabilitasi sosial kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual ini.

“Memang harus ada suatu upaya yang lebih serius dan sinergis antara semua pihak, baik kepolisian, Kemensos, KemenPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan masyarakat dalam upaya pencegahan,” kata Juliari, dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan Kementerian Sosial untuk menyeleksi petugas pendamping anak korban kekerasan seksual dengan sangat ketat untuk menghindari insiden pencabulan korban seperti yang terjadi di Lampung, pekan lalu.

“Rasio petugas perempuan dalam pendampingan ini juga wajib diperhatikan,” kata Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, kepada BenarNews.

Pada Rabu (8/7), Kepolisian Daerah Lampung menetapkan Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap NF (14) yang merupakan korban pemerkosaan.

NF adalah satu dari tiga anak perempuan korban pelecehan seksual yang diserahkan ke “rumah aman” yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut.

Di rumah tersebut, tersangka (DA) yang seharusnya memberikan pendampingan dan pemulihan psikis justru mencabuli dan menambah trauma pada NF.

Juru bicara Polda Lampung Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan ada dugaan NF bukanlah satu-satunya korban DA. “Ada kemungkinan beberapa tersangka lain. Tidak menutup kemungkinan, tergantung dari hasil pengembangan penyidikan perkara ini,” kata Pandra, dikutip dari AntaraNews.

Mekanisme pencegahan kejahatan

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mendesak pemerintah untuk segera membuat mekanisme nasional mencegah kejahatan terhadap anak menyusul sederet kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

“Dalam hal ini harus ada sistem atau mekanisme nasional yang mengikat dari mulai level rumah tangga, sekolah, hingga komunitas yang lebih luas,” kata Arist.

“Jadi tidak hanya sekadar menyalahkan orang, tapi juga bagaimana upaya mencegahnya,” tambahnya.

Komisioner KPAI Jasra Putra menambahkan, pemerintah juga perlu mengevaluasi situasi yang terjadi di keluarga dan masyarakat dengan melakukan pemetaan yang tepat sasaran.

“Perlindungan anak membutuhkan kepedulian orang sekampung, maka sekecil apapun hal-hal yang membahayakan keadaan anak harus diambil langkah penyelamatan,” kata Jasra.

Sepanjang Januari hingga Mei 2020, KPAI telah menerima 13 laporan terkait kasus pelacuran anak. Angka tersebut melonjak drastis dibanding periode sama tahun sebelumnya yang berjumlah 3 laporan.

Pertengahan Juni, Russ Albert Medlin, buronan Biro Investigasi Federal (FBI) kasus penipuan investasi mata uang kripto di Amerika Serikat, ditangkap Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya karena pelacuran anak dan diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Medlin ditangkap di salah satu rumah sewaannya di daerah Jakarta Selatan bersama tiga anak perempuan. Kepolisian mendapatkan pengakuan bahwa Medlin memesan jasa pelacuran anak perempuan di bawah umur lewat seorang perempuan muncikari berinisial “A” yang kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Selain Medlin, pada Selasa (7/7), Kepolisian Resor Sukabumi, Jawa Barat, menetapkan status tersangka kepada terduga pelaku tindak pidana pencabulan lebih dari 30 anak laki-laki di bawah umur, FCR alias Bang Jay (23).

Jika terbukti FCR bisa dijerat pasal dari UU Perlindungan Anak dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun ditambah sepertiganya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.