Fredrich Yunadi, Bekas Pengacara Novanto, Dihukum 7 Tahun Penjara
2018.06.28
Jakarta

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan terhadap mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi (68).
Fredrich dinilai terbukti melakukan tindak pidana menghalangi penyidikan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang menyeret mantan kliennya.
"Terdakwa membuat rencana Setya Novanto dirawat di rumah sakit agar tidak bisa diperiksa oleh penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," kata ketua majelis hakim Saifuddin Zuhri dalam persidangan yang digelar, Kamis, 28 Juni 2018.
"Dan meminta Bimanesh (seorang dokter di rumah sakit) untuk mengubah diagnosa hipertensi menjadi kecelakaan. Sehingga unsur mencegah dan merintangi penyidikan telah terpenuhi."
Novanto dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau setelah disebut mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, November 2017.
Dalam keterangan kepada wartawan waktu itu, Fredrich mengaku mobil yang ditumpangi Novanto menabrak tiang listrik di satu sudut jalan saat hendak menghadiri pemeriksaan di kantor KPK.
Belakangan, kecelakaan diketahui hanya siasat Fredrich dan Novanto guna menghindari pemeriksaan penyidik KPK dalam kasus korupsi e-KTP yang ditaksir merugikan negara Rp2,3 triliun.
Hingga kemudian Fredrich ditetapkan sebagai tersangka Januari 2018, atau dua bulan setelah kecelakaan terjadi.
Novanto sendiri telah divonis 15 tahun penjara atas keterlibatannya dalam korupsi e-KTP pada 24 April 2018.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta -dikurangi Rp5 miliar yang telah dikembalikan, serta sanksi pencabutan hak politik selama lima tahun setelah menjalani hukuman.
Novanto tidak mengajukan banding atas serangkaian vonis ini.
Selain Novanto, beberapa nama lain yang telah dihukum terkait korupsi e-KTP adalah dua pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman (tujuh tahun penjara) dan Sugiharto (lima tahun penjara), dan pengusaha Andi Narogong (delapan tahun penjara)
Adapula politikus Partai Hanura, Miryam Haryani, yang dihukum lima tahun atas pidana merintangi penyidikan kasus.
Hingga kini kasus e-KTP masih diusut KPK karena sejumlah politisi lain juga disebut-sebut ikut menikmati kucuran duit skandal korupsi tersebut.
Segera banding
Bagi Fredrich, vonis ini lebih rendah dari tuntutan hukum yang dibacakan akhir Mei lalu yang menginginkan dirinya dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider enam bulan kurangan.
Kendati begitu, Fredrich tidak menerima putusan hakim.
Ia bahkan lekas-lekas menjawab tatkala hakim Saifuddin belum sepenuhnya tuntas menanyakan, “apakah Saudara akan mengajukan banding?”
"Hari ini langsung dibuat akta banding," ujar Fredrich dengan nada suara tinggi.
Fredrich memang kerap berbicara dengan intonasi seperti itu sejak persidangan dimulai sekitar lima bulan lalu.
Tak jarang pula, dia bahkan menggunakan kata-kata semacam “IQ jongkok” atau “udik” untuk menyebut jaksa penuntut.
Sikap yang kemudian kerap membuat jaksa gondok dan memancing kegaduhan di ruang sidang.
Majelis hakim pun merujuk sikap Fredrich tersebut sebagai salah satu pertimbangan yang memberatkan hukumannya.
Selain bakal mengajukan banding, Fredrich dalam keterangannya seusai persidangan, juga mengatakan akan mengadukan majelis hakim perkaranya ke Komisi Yudisial, badan pengawas hakim.
Hal ini ditempuh lantaran dirinya menilai hakim telah melanggar kode etik, karena menyontek pertimbangan jaksa.
"Copy paste dari jaksa. 100 persen, bukan 99 persen. Saya bisa buktikan," kata Fredrich lagi.
"Itu pelanggaran. Akan saya laporkan ke Komisi Yudisial."
Adapun terkait hukuman yang diputus lebih ringan, tim jaksa KPK belum menentukan sikap, apakah bakal mengajukan banding atau menerimanya.
"Pikir-pikir dulu, Yang Mulia," kata seorang tim jaksa, Kresno Anto Wibowo.
Terdakwa lain
Selain Fredrich, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menggelar persidangan untuk terdakwa lain di kasus korupsi e-KTP, yakni Anang Sugiana Sudiharjo.
Direktur Utama PT Quadra Solutions, salah satu perusahaan rekanan Kementerian Dalam Negeri tersebut, menjalani sidang dengan agenda tuntutan hukum.
Jaksa menuntut Anang untuk dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp39 miliar yang wajib dibayarkan selambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap," ujar jaksa Ahmad Yani.
Dalam pertimbangan tuntutan, jaksa menilai Anang telah terbukti memperkaya diri sendiri, perusahaannya, beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan Setya Novanto.
"Supaya majelis hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi," tambah jaksa.
Terkait tuntutan itu, kuasa hukum Anang menyatakan akan mengajukan pembelaan atau pledoi dalam sidang lanjutan pada 17 Juli mendatang.
"Nanti akan dibacakan masing-masing oleh terdakwa dan kuasa hukum," kata salah seorang pengacara Anang, Andi Simangunsong, yang tidak merinci poin-poin pembelaan bakal disiapkan.