Pemerintah Diminta Tak Istimewakan Freeport

Arie Firdaus
2015.10.15
Jakarta
151015_ID_FREEPORT_620.jpg Kompleks Tambang Grasberg milik Freeport McMoran, tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar ketiga dunia di Timika, Papua, 16 Agustus 2013.
AFP

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta tak mengistimewakan PT Freeport Indonesia (PTF) terkait renegosiasi izin pertambangan di Papua.

Permintaan itu disampaikan menyusul rencana pemerintah yang berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014, khususnya tentang perubahan waktu pengajuan perpanjangan kontrak.

Seperti termaktub dalam aturan tersebut, batas waktu pengajuan perpanjangan izin pertambangan adalah dua tahun sebelum kontrak usai.

Namun dalam revisi peraturan yang direncanakan kementerian, kegiatan pertambangan logam bisa mengajukan perpanjangan izin pertambangan sepuluh tahun sebelum kontrak usai. Adapun pertambangan non-logam menjadi lima tahun.

"Itu seperti mendikte pemerintah," kata pengamat pertambangan Simon Sembiring kepada BeritaBenar, Kamis.

Kontrak karya Freeport sendiri berakhir pada 2021 sehingga seharusnya baru bisa mengajukan perpanjangan izin pada 2019.

"Nah, harusnya pemerintah tegas dalam hal itu," kata Simon lagi.

Menurut Simon, pemerintah Indonesia selama ini sudah terlalu sering mengistimewakan Freeport. Ia mencontohkan pembayaran royalti hasil pertambangan yang dibuka pada tahun 1973 itu, yang hanya 1 persen.

Jumlah itu, kata Simon, terlalu kecil jika dibandingkan royalti yang didapat dari perusahaan tambang lainnya.

"Aneka Tambang itu 3,5 persen. Tapi, kok, mereka (Freeport) hanya 1 persen?," katanya.

Tuntutan enam sampai tujuh persen royalti

Kritikan soal minimnya royalti hasil pertambangan yang diberikan PT Freeport Indonesia kepada pemerintah Indonesia sebelumnya juga diutarakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli.

Rizal mengatakan, Freeport seharusnya bisa memberikan royalti sebesar 6-7 persen kepada pemerintah.

"Ini hanya 1 persen. Coba bayangkan," kata Rizal Ramli dalam pernyataan di sela-sela rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa lalu.

Permintaan kenaikan royalti itu hanya satu dari tiga tuntutan Rizal Ramli. Dua tuntutan lain adalah agar Freeport tak membuang limbah beracun ke Sungai Amungme yang membahayakan masyarakat sekitar dan percepatan divestasi saham sebesar 10,64 persen lagi.

Saat ini, seperti dicatat kantor berita Antara, sebesar 9,36 persen saham Freeport sudah dimiliki peserta Indonesia melalui pemerintah.

Sementara 90,64 persen saham lainnya dikuasai konsorsium asing, dengan Freeport McMoran sebagai pemegang saham terbesar.

Saat ditanya apakah besaran royalti yang diminta Rizal Ramli masuk akal untuk dipenuhi PT Freeport Indonesia, Simon Sembiring menolak menjawab.

Yang jelas, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM itu mengatakan bahwa royalti sebesar 1 persen itu memang terlalu kecil.

"Tak layak. Harus ditingkatkan. Royalti 1 persen itu, kan, relevan pada 1967 saat mereka memulai pertambangan di Papua. Saat itu tujuan pemerintah adalah untuk mengundang investor. Sekarang berbeda. Tapi, Freeport, kok, mau honeymoon terus?" tukasnya.

Konsisten dengan aturan

Tuntutan serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha.

"Aturan harusnya dijalankan," kata Satya saat dihubungi BeritaBenar.

Sehingga, kata Satya, Freeport seharusnya baru bisa mengajukan izin perpanjangan pertambangan pada 2019.

Andaikata pun izin pertambangan diperpanjang nanti, kata politikus Partai Golkar itu, besaran royalti kepada pemerintah harus ditingkatkan.

Namun berbeda dengan Rizal Ramli yang menginginkan kenaikan royalti sebesar 6-7 persen, Satya memberikan angka berbeda.

"Harusnya 5 persen," kata Satya.

Freeport membantah

Namun kepada Tempo juru bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan bahwa sejak tahun 2014, pembayaran royalti sudah mengalami kenaikan.

"Semuanya telah disepakati bahwa royalti untuk tembaga, emas dan perak telah ditingkatkan menjadi 4 persen, 3,75 persen dan 3,25 persen bukan 1 persen," kata Riza pada 9 Oktober lalu.

Ketika dihubungi BeritaBenar juru bicara Kementerian ESDM Hufron Asrofi masih enggan memerinci perundingan besaran royalti yang diinginkan pemerintah dari PT Freeport Indonesia.

Menurutnya, besaran peningkatan royalti masih dibicarakan.

"Termasuk soal kewajiban divestasi dan pendirian smelter," kata Hufron.

Dalam pernyataan tertulisnya pada Sabtu pekan lalu, PT Freeport Indonesia juga mengatakan memang berniat menggelontorkan dana sebesar 18 miliar dollar AS untuk membangun smelter dan pertambangan bawah tanah.

Hufron juga membantah bahwa pemerintah mengistimewakan PT Freeport Indonesia dalam renegosiasi izin pertambangan di Papua karena berencana merevisi PP 77 tahun 2014.

"Hanya menyambut baik investasi yang akan berdampak baik bagi perkembangan ekonomi Papua dan Indonesia," kata Hufron.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah 77/2014 Tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Freeport seharusnya sudah melepas 20 persen sahamnya pada tanggal 14 Oktober. Namun hal ini tertunda karena proses negosiasi masih berlangsung.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.