Pasangan Gay di Aceh Divonis 85 Kali Cambuk
2017.05.17
Banda Aceh
Pria berinisial MT (24) berusaha menahan tangis ketika memohon kepada majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh agar dihukum ringan setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan hubungan seks sesama jenis dengan pasangannya, MH (20).
“Ringankan hukuman saya,” tuturnya lirih, sambil menutup wajah dengan kedua tangan setelah hakim bertanya apakah ia menerima putusan 85 kali hukuman cambuk di muka umum.
Ketua majelis hakim, Khairil Jamal, sempat berujar bahwa suara MT terlalu kecil dan tak bisa didengar. Tapi MT hanya terdiam. Sebelum menutup sidang, Khairil menyebutkan, terdakwa bisa mengajukan banding.
Sepanjang persidangan dengan agenda pembacaan vonis sekitar 30 menit, Rabu, 17 Mei 2017, MT yang didudukkan di kursi pesakitan lebih banyak menundukkan kepala, sambil menutup setengah wajahnya dengan tangan kiri.
Hal hampir sama juga ditunjukkan MH dalam persidangan terpisah usai MT divonis. MH sesekali menutup wajah dengan kedua tangannya. Kendati lebih banyak menundukkan kepala, MH sesekali menatap majelis hakim yang membacakan putusan.
Berbeda dengan MT yang meminta keringanan hukuman, MH tak bersuara sama sekali. Saat hakim Khairil bertanya, MH mengangguk pelan sebagai tanda menerima vonis 85 kali cambuk.
Ini merupakan vonis cambuk pertama terhadap pasangan gay di Aceh sejak provinsi itu memberlakukan syariat Islam secara parsial tahun 2001. Hukuman cambuk atas pelaku homoseksual mulai diterapkan sejak 2015.
Selama persidangan yang hanya berlangsung dua kali, kedua terdakwa tidak didampingi penasihat hukum. Menurut hakim, pihaknya telah memberi kesempatan pada MH dan MT untuk didampingi pengacara.
“Kami sudah berusaha mencari, tapi tidak ada pengacara bersedia jadi penasihat hukum kami,” kata MH dari balik jeruji besi ruang tahanan kepada BeritaBenar usai pembacaan vonis.
Selama persidangan vonis, tak terlihat keluarga kedua terdakwa. Sebelumnya, orang tua seorang dari mereka menyatakan putranya selalu berkelakuan baik dan “tidak ada kelainan”.
“Dia anaknya pendiam dan baik. Rajin shalat. Sebelum ke Banda Aceh untuk kuliah dua tahun lalu, dia tinggal di pesantren,” kata sang ayah kepada wartawan, Rabu pekan lalu.
Terdakwa MT (kanan) menundukkan kepala ketika mendengarkan vonis yang dibacakan majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 17 Mei 2017. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
Pertimbangan
Sebelum menjatuhkan vonis, majelis hakim membacakan dakwaan yang digunakan jaksa untuk menjerat kedua terdakwa yang disidangkan dalam perkara terpisah.
Dalam persidangan itu, MT dan MH saling menjadi saksi terhadap pasangannya. Dua saksi lain yang menyaksikan perbuatan kedua terdakwa dan turut menggerebek bersama warga pada malam tanggal 28 Maret lalu, juga dihadirkan. MT dan MH ditahan sejak mereka digrebek hari itu.
"Saksi mengintip melalui celah dinding ketika MH dan MT berhubungan, lalu memanggil saksi lain dan warga. Setelah melihat kejadian tersebut, warga memutuskan mendobrak pintu kamar terdakwa," ujar hakim.
Meski tidak dinyatakan dalam pertimbangan hakim, penggerebekan itu sempat direkam dengan kamera ponsel. Dalam video beredar di media sosial, seorang dari mereka coba menelepon seseorang untuk minta tolong.
Dalam pertimbangan yang dibacakan bergiliran, majelis hakim menyatakan, MT dan MH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan liwath yang dilarang di Aceh.
Menurut Qanun Jinayat yang diberlakukan sejak Oktober 2015, “liwath ialah perbuatan seorang pria dengan cara memasukkan zakarnya ke dalam dubur laki-laki lain dengan kerelaan kedua pihak.” Qanun adalah peraturan daerah di Aceh.
Pasal 63 ayat 1 Qanun No. 7 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan liwath diancam hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.”
Menurut majelis hakim, hal memberatkan antara lain adalah “terdakwa sebagai seorang Muslim seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam yang sedang ditegakkan di Aceh.”
“Perbuatan terdakwa telah berulang kali dilakukan dan meresahkan masyarakat karena dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan yang sama,” kata hakim.
Sedangkan, hal-hal meringankan ialah terdakwa bersikap sopan di persidangan, berterus terang memberikan keterangan, belum pernah dihukum dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
“Menghukum terdakwa (MT dan MH) dengan hukuman cambuk di depan umum sebanyak 85 kali cambuk. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani para terdakwa dikurangi dari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa,” ujar Khairil membacakan putusannya.
Vonis itu lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dalam persidangan Rabu pekan lalu, menuntut agar pasangan gay itu dihukum 80 kali cambuk.
Ketua tim JPU, Gulmaini Wardani, menyatakan dapat menerima vonis itu. Pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Wilayatul Hisbah (polisi syariah) untuk menentukan jadwal pelaksanaan eksekusi cambuk.
“Rencananya sebelum Ramadhan. Kita tunggu ya prosesnya,” ujar jaksa perempuan itu kepada wartawan usai persidangan. Ramadhan dimulai 27 Mei 2017.
Terdakwa MH (kiri) tertunduk saat mendengarkan vonis yang dibacakan majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 17 Mei 2017. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
‘Tindakan barbar’
Peneliti Human Rights Watch (HRW) untuk Indonesia, Andreas Harsono, mengecam putusan hakim itu dengan menyatakan, “Vonis tersebut adalah tindakan barbar.”
“Ini merupakan titik rendah, sekali lagi buat Aceh, maupun buat Indonesia,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.
Ia mengatakan, Qanun Jinayat ialah produk hukum diskriminatif, melanggar Konvensi Hak Sipil dan Politik maupun UUD 1945 serta kesetaraan warga yang disepakati Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat menandatangani perjanjian Helsinki dengan Pemerintah Indonesia pada 2005, untuk mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun di Aceh.
“Indonesia sering klaim bahwa ia negara Islam yang moderat. Bagaimana menjelaskan kata moderat tersebut dengan hukuman cambuk macam Taliban di Aceh?” ujarnya mempertanyakan.
Namun, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Muharruddin, menyatakan yang dikatakan Andreas tidak sesuai fakta karena aturan syariat Islam di Aceh sudah melalui proses panjang dengan melibatkan semua pihak baik di tingkat lokal maupun nasional.
“Kalau dikatakan melanggar HAM, tentu saat proses konsultasi dengan lintas departmen di Jakarta tidak mungkin memasukkan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat,” ujarnya.