Generasi baru pemberontak Papua ambil garis lebih keras
2023.02.24
Wellington and Jakarta
Penculikan seorang pilot Susi Air asal Selandia Baru di Papua adalah manuver terbaru dari serangkaian serangan yang berhasil menarik perhatian yang dilakukan oleh Egianus Kogoya, pejuang kemerdekaan Papua berusia 24 tahun yang juga memimpin salah satu kelompok separatis di wilayah paling timur Indonesia itu.
Sejak sekitar 2017 pemerintah Indonesia menuduh kelompok Kogoya atas pembantaian warga sipil, penculikan, perusakan rumah dan sekolah, serta penembakan pesawat, taktik yang menurut beberapa analis menandai eskalasi konflik, yang telah berlangsung selama beberapa dekade di sana.
“Mereka tidak melakukan serangan rutin seperti yang dilakukan kelompok lain,” kata Hipolitus Wangge, seorang peneliti di Australian National University. Sebaliknya, fokus mereka adalah tindakan untuk mendapat "perhatian publik besar-besaran," kata Wangge.
Philip Mehrtens, pilot warga negara Selandia Baru, disandera oleh para pejuang kemerdekaan Papua pada 7 Februari di Provinsi Papua Pegunungan. Mereka membakar pesawat yang dipilotinya dan membebaskan semua penumpang yang merupakan penduduk asli Papua.
Tuntutan kelompok itu termasuk kemerdekaan untuk wilayah yang mereka sebut sebagai Papua Barat dan diakhirinya kerja sama militer antara Indonesia dan negara-negara di dunia, termasuk Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat.
Militer Indonesia mengaitkan Kogoya dan kelompoknya dengan 65 serangan sejak 2017, ketika kombinasi masa mudanya dan radikalismenya mulai menarik perhatian para peneliti konflik.
Nama Kogoya menjadi dikenal pada Desember 2018, saat ia masih berusia sekitar 19 tahun. Dia memimpin kelompoknya membunuh 23 orang, kebanyakan pekerja konstruksi jalan raya Trans-Papua, sarana yang dibuat untuk menghubungkan lokasi-lokasi yang jauh di daerah pegunungan dan hutan-hutan.
Pejuang separatis bersenjata Papua – secara kolektif dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) – yang oleh pemerintah Indonesia sering disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) telah melancarkan serangannya sejak awal 1960-an, ketika Indonesia mengambil alih wilayah tersebut dari Belanda.
Orang Papua, yang secara budaya dan etnis berbeda dari daerah lain di Indonesia, mengatakan mereka tidak diberi hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Kendali Indonesia atas Papua diresmikan pada 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebuah referendum yang didukung PBB, yang oleh sejumlah pihak dinilai manipulatif karena mengikutsertakan hanya sekitar 1.000 orang Papua yang telah ditunjuk untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Pembunuhan dan pelanggaran yang terdokumentasi serta diduga dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia dari tahun 1960-an hingga sekarang – bersamaan dengan impunitas dan eksploitasi sumber daya alam di kawasan ini serta kemiskinan yang meluas – telah memicu kebencian terhadap pemerintahan Indonesia.
Kogoya dan kelompoknya bertanggung jawab atas “pembunuhan brutal dan sadis” warga sipil dan serangan terhadap pasukan keamanan, kata juru bicara Kodam Cendrawasih, Letkol Herman Taryaman. Dia mengatakan militansi Kogoya sebagian didorong oleh persaingan internal dan keinginan untuk prestise dalam TPNPB.
Mehrtens, sang pilot, selamat dan tidak terluka, kata Sebby Sambom, juru bicara TPNPB.
Minggu lalu, kelompok ini merilis foto dan video Mehrtens satu frame dengan Kogoya yang mengenakan hiasan kepala Papua, kacamata hitam, sepatu karet hijau dan kaos bermotif kamuflase.
Dalam salah satu videonya, Kogoya menyatakan bahwa Mehrtens akan ditembak jika pasukan Indonesia berusaha menyelamatkannya.
“Kami menyandera orang (pilot) ini untuk Papua merdeka, tidak ada untuk lain-lain. Negara-negara (di dunia) harus mendukung perjuangan kemerdekaan kami,” kata Kogoya dalam bahasa Indonesia dalam video yang direkam saat dia duduk di kokpit pesawat Susi Air. “(Mereka) tidak bisa bekerja dengan Indonesia terus.”
Menurut Sambom, Kogoya adalah anak dari Silas Kogoya, salah seorang tokoh penting pejuang separatis yang meninggal pada 2011. Dia terlibat dalam penyanderaan 26 orang pada 1996 termasuk sejumlah warga asing di Mapenduma, Jayawijaya, menurut Komite Internasional untuk Palang Merah, yang berusaha merundingkan pembebasan para tawanan ketika itu.
Aktivis Papua Theo Hesegem mengatakan banyak dari pejuang tentara pembebasan berusia 15 hingga 20 tahun.
Seperti mereka, Egianus Kogoya, katanya, merupakan produk konflik dengan Indonesia.
“Mereka meninggalkan sekolah untuk bergabung,” kata Hesegem.
“Ini amanah yang harus dilakukan anak-anak untuk melanjutkan perjuangan generasi orang tuanya,” ujarnya.
Dengan penculikan Mehrtens, para pemberontak mengharapkan perhatian internasional untuk tujuan mereka dan pengakuan Indonesia, kata Hesegem.
Kogoya dan kelompoknya adalah bagian dari perubahan taktik di bawah pasukan pemberontak Papua yang lebih bersatu sejak 2018, menurut sebuah laporan yang diterbitkan tahun lalu oleh Deka Anwar di Institut Analisis Kebijakan Konflik di Jakarta.
Serangan menjadi lebih sering dan memakan lebih banyak korban jiwa warga sipil di kedua pihak, kata laporan itu. Pada April 2021, kepala badan intelijen daerah Papua dibunuh oleh kelompok separatis yang dipimpin oleh Lekagak Telenggen, seorang tokoh terkemuka di kalangan pemberontak.
Sekitar 125 warga sipil tewas dalam kekerasan terkait pemberontakan antara 2018 dan 2021, kata laporan tersebut, lebih dari dua kali lipat kematian serupa yang terjadi antara 2010 dan 2017.
Perkembangan baru-baru ini seperti pemekaran Papua menjadi total enam provinsi dan perubahan undang-undang otonomi khusus untuk wilayah tersebut juga menjadi bahan bakar konflik, kata Matthew Wale, pemimpin oposisi Kepulauan Solomon yang sudah sudah lama menjadi pendukung kemerdekaan Papua Barat.
Indonesia juga telah berusaha untuk mengurangi dukungan terhadap sayap gerakan kemerdekaan yang tidak melakukan kekerasan dengan membina hubungan baik dengan negara-negara kepulauan Pasifik yang mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Negara-negara Barat secara konsisten mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua. Pembantaian kaum komunis dan kaum kiri di Indonesia pada pertengahan 1960-an menempatkan Indonesia ke dalam kubu pro-Barat dan merupakan kemenangan era Perang Dingin bagi Amerika Serikat.
Saat ini, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya seperti Australia mencari hubungan keamanan yang lebih erat dengan Indonesia sebagai tanggapan atas pengaruh China yang berkembang di Asia Tenggara dan di tempat lain.
Wangge, peneliti Australian National University, mengatakan tentara separatis selama beberapa tahun telah memperingatkan penerbangan komersial dan non-Papua untuk tidak memasuki daerah yang dinilai sebagai zona konflik. Lokasi pendaratan pesawat yang dipiloti Mehrtens juga jauh dari jangkauan pasukan TNI-Polri.
"Kita seharusnya melihat hal ini akan terjadi," ujarnya.