Generasi digital mencoblos untuk pertama kalinya, akankah suara mereka berpengaruh?
2024.01.16
Untuk pertama kalinya, jutaan kaum muda Indonesia seperti Aqilah Fida Liya Putri, seorang mahasiswa berusia 20 tahun di Jakarta, akan memilih dalam pemilihan umum bulan depan.
"Kalau diri aku sendiri masih netral, ya aku masih mau ngeliat dulu siapa siapanya," kata Aqilah kepada BenarNews.
“Isu isu menariknya yang paling utama sih menurut aku lingkungan, pendidikan dan juga ekonomi,” ujarnya.
Pemilu tahun ini merupakan momen penting bagi Indonesia. Kaum muda yang berusia 17 hingga 35 tahun mencakup lebih dari 50 persen dari sekitar 204,8 juta warga negara yang berhak memilih dari 270 juta penduduk Indonesia. Para pemilih muda ini tumbuh di era digital, dengan akses ke berbagai informasi.
Tapi para ahli mengatakan suara mereka tidak berpengaruh banyak dalam membentuk kebijakan pemerintah karena mereka kurang terwakili dan kurang aktif dalam politik, akibat sistem yang didominasi oleh generasi tua.
>>> Untuk berita lainnya terkait Pemilu 2024, silakan klik di sini.
Pemilihan presiden yang merupakan bagian dari pemilu pada 14 Februari menjadi ajang pertarungan bagi mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menggantikan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Beberapa pemilih muda sudah memutuskan siapa yang akan mereka dukung, berdasarkan aspirasi dan visi mereka.
Eliab Yosef, seorang siswa SMA usia 18 tahun dari Papua, wilayah yang dilanda konflik di bagian timur Indonesia, mendukung Prabowo dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka.
"Saya berharap jika mereka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, mereka akan peduli pada seluruh rakyat Indonesia, termasuk orang Papua," katanya.
Dia menyerukan siapa pun yang terpilih untuk memperhatikan pendidikan di Papua dan memberikan lebih banyak beasiswa kepada keluarga miskin.
"Ini akan membantu anak-anak yang ingin belajar, tapi tidak mampu membayar biaya kuliah, untuk melanjutkan pendidikan mereka," katanya.
Pemilih muda lainnya masih skeptis dan ragu-ragu. Agri Melyareza, seorang mahasiswi 20 tahun dari Jakarta, khawatir tentang masa depannya setelah lulus.
“Aku seorang mahasiswa, pendidikan juga (penting) sih. Kan sektor pendidikan juga kayaknya belum merata,” ujarnya.
“Terus juga, karena aku kan di tahun depan sebentar lagi lulus kuliah juga, jadi (isu) kayak pekerjaan, lapangan pekerjaan (penting).”
Ella Prihatini, dosen politik di Universitas Bina Nusantara Jakarta, berpendapat dalam sebuah paper yang diterbitkan oleh Perth USAsia Centre bahwa salah satu faktor utama yang menghambat keterlibatan politik kaum muda adalah proporsi rendah anggota parlemen berusia 40 tahun ke bawah.
Indonesia menempati peringkat ketiga di Asia Tenggara untuk jumlah anggota parlemen muda dengan 14,96%, jauh di bawah rata-rata dunia 18,44%, tulis makalah itu.
Ella juga menulis bahwa gerontokrasi - di mana sistem politik didominasi oleh pemimpin yang lebih tua dari mayoritas penduduk - adalah norma di banyak partai politik Indonesia, dengan hanya dua dari 18 partai yang berlaga dalam pemilihan nasional yang dipimpin oleh pemimpin di bawah 40 tahun.
Makalah itu mencatat bahwa banyak anggota DPR muda memiliki keluarga yang telah terjun sebelumnya di dunia politik, dengan sekitar 50% dari legislator berusia di bawah 35 tahun dan 44% dari legislator perempuan memiliki kerabat dalam politik.
Kaum muda dari dinasti politik
Aisah Putri Budiatri, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa bahwa anak muda saat ini melek politik karena akses pemberitaan dan informasi yang mudah melalui media nasional dan sosial media saat ini, sehingga mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang dinamika politik.
“Politik berbiaya tinggi dimana untuk menjadi calon dan berkampanye hingga memastikan kemenangan dalam pemilu membutuhkan biaya mahal, berdampak pada sulitnya anak muda untuk berkompetisi dalam politik meski punya kapasitas,” katanya kepada BenarNews.
"Hal ini menjadikan mereka yang masuk di dalam parlemen adalah politisi petahana atau mereka yang punya modal finansial dan sosial kuat; dan dalam konteks ini, anak muda yang masuk pada akhirnya adalah mereka yang ada dalam lingkar elite atau politik dinasti," tambahnya.
Wawan Mahathir Alimuddin, seorang mahasiswa keturunan Arab di Palu, Sulawesi Tengah, mengatakan ia berharap pemilihan tidak akan memecah belah rakyat, seperti yang ia rasakan pada tahun 2019, di mana ketika itu masyarakat dihadapkan pada dua pilihan kandidat, calon petahana Jokowi dan Prabowo.
Pada Pemilu 2014 dan 2019 Prabowo kalah dari Jokowi dalam pemilihan presiden. Tahun ini Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai presiden didampingi anak dari Jokowi, Gibran, yang pencalonannnya sebagai wakil presiden cukup kontroversial.
Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai oleh ipar Jokowi mengubah persyaratan umur calon presiden/wakil presiden menjadi bisa di bawah 40 tahun, yang meloloskan Gibran (36) menjadi cawapres.
Wawan mengatakan ia akan mendukung kandidat mana pun yang dapat merealisasikan potensi Indonesia.
“Saya hanya bilang bahwa Indonesia mempunyai peluang terbesar. Kita mempunyai sumber daya alam yang sangat bagus, sumber daya manusia ditingkatkan,” ujarnya
“Tapi tolong jangan dimanfaatkan oknum-oknum yang mempertebal dompetnya, yang mempermiskin masyarakat yang ada di sekitar.”
Jangan hanya wacana
Dedi Kurnia Syah, direktur eksekutif Indonesia Political Opinion, sebuah lembaga penelitian politik, mengatakan bahwa pemilih muda adalah kekuatan yang penting dan dinamis dalam pemilihan.
"Tidak heran jika tiap kandidat berlomba melakukan agitasi dan kampanye di media sosial untuk meraup dukungan Gen Z dan milenial," kata Dedi kepada BenarNews.
Wasisto Raharjo Jati, seorang analis politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan bahwa pemilih muda peduli tentang isu-isu seperti perumahan, lapangan kerja, kesehatan mental, dan perubahan iklim.
"Namun apakah itu mengerucut pada pilihan politik mereka kepada para capres, belum ada korelasi. Yang jelas capres-capres pun sudah berusaha meng-cover isu-isu itu dalam program kampanye mereka," kata Wasisto kepada BenarNews.
Bagi Nicole Trixie, seorang mahasiswa berusia 20 tahun di Jakarta, tindakan lebih penting dari kata-kata.
“Kan banyak dari yang sebelum sebelumnya, mereka kebanyakan omong doang, tapi actionnya nggak ada sama sekali,” ujarnya.
“Jadi concern kita sih sebagai anak muda gimana cara mereka buat at least ada aksi nyata, bukan cuma dari visi dan misi doang yang mereka bisa kasih ke kita generasi muda yang bakal ngelanjutin mereka,” ujarnya.
Ami Afriatni dan Pizaro Gozali Idrus di Jakarta, Hadi Ahdiana di Papua, serta Taufan Bustan di Palu ikut berkontribusi dalam laporan ini.