Golput Diperkirakan Tetap Tinggi dalam Pilkada Jateng
2018.06.21
Klaten

Suratmi (50) akan balik ke Jakarta setelah merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di Klaten dan Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu, 23 Juni 2018, meskipun ia tidak bekerja di ibukota negara.
Suratmi mengaku tidak bisa tinggal hingga hari Pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah (Pilkada Jateng), 27 Juni mendatang. Dia memilih melepaskan haknya sebagai pemilih alias golput (golongan putih, sebutan untuk mereka yang tidak menggunakan hak suara mereka) daripada harus pulang lagi, hanya untuk mencoblos.
“Tanggung kalau harus pulang lagi, tak ada yang dijagokan juga, siapa yang menang tak masalah,” ujarnya kepada BeritaBenar, Kamis, 21 Juni 2018.
Hal sama dilakukan suaminya, Suyadi (47) yang berasal dari Sukoharjo juga memilih tak akan pulang untuk mencoblos.
Ongkos pulang adalah salah satu pertimbangan karena Suratmi dan suami beserta dua anak mereka pulang kampung setahun sekali setiap Hari Raya Idul Fitri, padahal mereka tercatat sebagai warga Jateng.
Keraguan siapa harus dipilih juga membuat Purwanti (48) bingung sehingga ia telah memutuskan untuk tidak akan menggunakan hak pilihnya.
Dalam Pilkada sebelumnya tahun 2014, dia juga golput baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati Klaten.
“Siapa saja yang menang kok sama saja. Bupatinya siapa, gubernurnya siapa sama saja buat saya,” ujarnya.
Muhammad Yulianto, pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, menyebutkan, golput dalam Pilkada Jateng adalah lumrah karena dari 27 juta lebih jumlah pemilih yang bakal berpartisipasi diperkirakan 60 – 65 persen.
“Masyarakat memang terkesan ogah-ogahan karena menganggap tidak merasakan efek langsung Pilkada, mungkin 35 – 40 persen golput seperti sebelumnya,” ujarnya, kepada BeritaBenar.
“Mereka tidak merasa memiliki, tidak ada isu menggebrak, dan tidak punya ekspektasi apapun dalam Pilgub,” tambah Direktur Lembaga Pengkajian dan Survei Indonesia (LPSI) itu.
Perantau, lanjutnya, memang banyak yang memilih tidak pulang untuk mencoblos. Hal itu juga terjadi dalam Pilkada-Pilkada sebelumnya.
Kampanye hitam
Pilkada Jateng diikuti dua pasangan calon (paslon) yaitu Ganjar Pranowo–Taj Yasin yang diusung koalisi partai PDIP, Golkar, Demokrat, PPP, dan Nasdem. Sedangkan, Sudirman Said–Ida Fauziah diusung Gerindra, PKS, PAN, PKB, dan PBB.
Anton Sudibyo, tim kampanye Ganjar–Taj, mengaku calon petahana itu tidak luput dari kampanye hitam berbau SARA.
“Nyaris tiap hari, sampai ada yang berbunyi PDIP tak butuh suara umat Islam,” ujarnya.
Hal sama juga diungkapkan Hartono dari tim kampanye Sudirman–Ida yang mengatakan banyak kampanye hitam menyerang jagoannya, seperti muncul video tiga pemuda asal Brebes yang mengaku keponakan Sudirman dan menjelek-jelekkan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu.
“Kampanye SARA juga ada, banyak yang menyerang kami,” ujar Hartono.
Meski saling klaim ada kampanye hitam dari tim sukses paslon, tapi menurut Yulianto, hal itu tidak terlalu berpengaruh. Terbukti dengan suasana Jateng yang tidak muncul gejolak apapun.
“Suasananya masih adem ayem kan, kampanye hitam dan SARA yang dilakukan tidak sampai memunculkan ekspektasi politik apapun,” ujarnya.
Menurut Yulianto, 65 persen warga Jateng tinggal di pedesaan dan sudah terbiasa hidup dalam toleransi, pluralitas, dan harmonis.
Selain itu, wilayah Jateng tiga kali lebih luas dari Jakarta sehingga membutuhkan energi ekstra untuk bisa memunculkan ekspektasi tertentu lewat kampanye hitam dan SARA.
Analis politik, Teguh Yuwono memiliki pandangan lain terkait kampanye hitam dan SARA yang tidak mempan dimainkan di Jateng. Bahkan kasus dugaan korupsi dalam proyek e-KTP yang menyeret Ganjar tidak berpengaruh.
“Pemilih di sini sangat padat, tidak cair seperti Jakarta. Umpama Ganjar yang diusung PDIP tersangka dan calon diganti PDIP, pemenangnya adalah tetap calon yang diusung PDIP,” ujarnya.
Di Jateng, menurut Teguh, partai memegang pengaruh sangat kuat daripada personal paslon.
Dia mengingatkan saat Ganjar yang diusung PDIP melawan petahana Bibit Waluyo, pada 2014. Popularitas Ganjar hanya sekitar 7 persen ketika diumumkan, tetapi karena kerja mesin partai sangat solid, Ganjar berhasil mengalahkan Bibit.
“Ketika satu pasangan coba membuat jargon yang mengarah pada agama tertentu yaitu kerudung, calon pemilih pasangan satunya bisa dengan mudah menjawab kalau satunya pakai peci juga, dua-duanya adalah simbol religi juga,” Teguh mencontohkan.
Terkait warga yang golput, Teguh memprediksi tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya pada kisaran antara 30 hingga 40 persen.
Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng optimis pemilih yang berpartisipasi dalam Pilgub mencapai 77,5 persen sesuai dengan target.
Ketua KPU Jateng, Joko Purnomo, mengaku bahwa semua cara telah diupayakan untuk mendorong partisipasi pemilih mau menggunakan hak pilihnya.
“Sosialisasi kepada semua pihak, semua komunitas secara tatap muka, melalui event sudah kami lakukan dan kami lihat responnya bagus,” katanya.
Komisioner KPU Jateng, Diana Ariyanti menyebutkan, momentum debat paslon ketiga yang digelar pada Kamis malam bagian untuk mengoptimalkan sosialisasi Pilgub kepada masyarakat sehingga jumlah Golput bisa menurun.
Diana menambahkan bahwa pihaknya telah meminta pada KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan nonton bareng debat Pilkada Jateng yang disiarkan melalui jaringan televisi nasional.