Setelah 54 Tahun Tak Aktif, Status Gunung Agung Siaga

Warga diminta tetap waspada akan kemungkinan erupsi dengan tak mendaki, berkemah, atau kegiatan lain dalam radius 6 km dari kawah puncak Gunung Agung.
Anton Muhajir
2017.09.19
Karangasem
170919_ID_Agung_1000a.jpg Dua anak sedang memperhatikan Gunung Agung yang sebagian tertutup awan, dari Pos Pemantauan di Desa Rendang Karangasem, Bali, 19 September 2017.
Anton Muhajir/BeritaBenar

Lebih dari 50 tahun setelah meletus terakhir, Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, kembali aktif. Dalam waktu kurang dari seminggu, status gunung tertinggi di Bali itu meningkat dari level I (normal) menjadi level III (siaga).

Sebelumnya, gunung berapi di Bali bagian timur laut itu dinaikkan statusnya dari normal menjadi waspada, Rabu pekan lalu.

Kemudian, Senin, 19 September 2017 pukul 21.00 WITA, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Gunung Agung menjadi siaga.

Peningkatan status itu langsung diikuti warga mengungsi, terutama dari desa-desa dekat Gunung Agung, seperti Desa Sebudi, Kecamatan Selat, di sisi barat gunung.

Dengan menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor, mobil, dan bahkan truk terbuka, warga meninggalkan desa mereka.

Senin malam, Jalan Raya Rendang – Klungkung pun hiruk pikuk dengan warga yang panik mengungsi ke lapangan dan balai Desa Rendang yang berjarak sekitar 20 km dari Sebudi.

“Suasana sangat panik. Banyak warga takut karena informasi yang tak jelas,” kata Ketut Sugiarta, seorang warga Rendang.

Menurutnya, jumlah warga yang mengungsi mencapai 150 orang di dua lokasi. Selain itu, ada pula warga yang memilih ke Denpasar untuk tinggal dengan sanak keluarganya.

Ada pula yang ke Markas Polres Klungkung. Meski masuk wilayah Karangasem, Gunung Agung lebih dekat ke Semarapura, ibukota Klungkung. Hal ini pula yang menjadi pilihan warga sehingga mereka mengungsi ke Klungkung, bukan Karangasem.

Sekitar 35 warga Desa Sebudi mengungsi ke Mapolres Klungkung, Senin malam. Mereka menginap di asrama polisi.

“Kami sudah menyiapkan aula sebagai tempat pengungsian jika Gunung Agung meletus, tetapi karena jumlah mereka sedikit, jadi ya di asrama saja,” kata Kepala Bagian Operasi Polres Klungkung, I Nyoman Suarsika.

Tapi, pada Selasa pagi, warga telah meninggalkan tempat pengungsian baik di Rendang maupun Mapolres Klungkung dan tidak ada seorang pun warga yang masih mengungsi.

“Mereka sudah kembali ke rumah masing-masing karena merasa tidak ada apa-apa,” jelas Suarsika.

Meningkat cepat

PVMBG menyatakan Gunung Agung berstatus siaga hingga Selasa petang. Petugas juga bersiaga di Pos Pemantauan Desa Rendang, berjarak sekitar 20 km dari Gunung Agung.

Pantauan BeritaBenar dari pos tersebut, tak ada tanda-tanda visual seperti awan panas atau lahar. Puluhan warga bahkan ikut melihat gunung dari tempat pemantauan.

Namun, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kasbani, status Gunung Agung termasuk berubah cepat.

Dalam lima hari terakhir, jumlah gempa vulkanik meningkat drastis dari enam kali pada 14 September naik menjadi 26 kali (15/9), 72 kali (16/9), 134 kali (17/9), dan 363 (18/9).

Selasa hingga pukul 6 pagi WITA, gempa vulkanik terjadi 108 kali. “Itu baru enam jam hari ini,” kata Kasbani.

Dia menambahkan melihat aktivitasnya yang sudah lebih 50 tahun tidak aktif, Gunung Agung memang perlu diwaspadai.

Namun, erupsi tetap tak mungkin terjadi begitu saja. Indikator jika akan meletus adalah terjadinya gempa dengan intensitas tinggi, peningkatan suhu, dan terjadi erupsi-erupsi kecil terlebih dulu.

Kasbani mengingatkan agar warga tetap waspada dengan kemungkinan erupsi Gunung Agung dengan tidak mendaki, berkemah, ataupun kegiatan lain dalam radius 6 km dari kawah puncak Gunung Agung.

Gunung Agung merupakan salah satu dari dua gunung berapi di Bali selain Gunung Batur di Bangli. Gunung ini terakhir meletus pada 1963 dengan skala VEI 5 atau sangat besar.

Letusan saat itu memuntahkan sekitar 280 juta meter kubik material, menghasilkan tinggi kolom erupsi setinggi 8-10 km di puncak gunung dan menewaskan 1.100 orang.

Karena itu, tutur Kasbani, warga perlu belajar dari letusan 1963 dengan mengosongkan lokasi-lokasi terdampak saat itu, termasuk di sepanjang sungai yang potensial dialiri lava.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.