Guru Pesantren yang Didakwa Perkosa Belasan Santriwati Dituntut Hukuman Mati
2022.01.11
Jakarta
Jaksa Penuntut Umum di Jawa Barat pada Selasa (11/1) meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati dan kebiri kimia kepada pemilik sekaligus guru pesantren yang didakwa memerkosa sedikitnya 12 murid perempuannya sejak tahun 2016.
Jaksa juga meminta majelis hakim agar terdakwa Herry Wirawan (36) membayar ganti rugi denda senilai total Rp331,5 juta untuk para korban yang tujuh di antaranya telah melahirkan bayi akibat perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
“Kami menyimpulkan perbuatan terdakwa sebagai kejahatan yang sangat serius,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana, kepada jurnalis usai persidangan di Pengadilan Negeri di Bandung.
“Kami menuntut terdakwa dengan hukuman mati, sebagai bukti dan komitmen untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau pihak lain yang akan melakukan kejahatan,” tambah Asep.
Jaksa mengatakan terdakwa memanfaatkan kedudukannya sebagai pendiri dan pengasuh pondok pesantren untuk memengaruhi dan menekan para korban.
Persidangan digelar tertutup untuk umum dan media.
Menurut polisi, tindakan Herry yang sudah dilakukan sejak 2016 kepada setidaknya 12 santriwati dengan rata-rata usia korban saat ini adalah 14-20 tahun.
“Terdakwa memakai simbol agama untuk memanipulasi dan menjadikan alat justifikasi dalam melakukan niat jahat yang membuat anak teperdaya,” kata Asep, melanjutkan alasan yang memberatkan tuntutan untuk Herry.
Manipulasi yang dimaksud yakni dengan mengatakan bahwa santri wajib taat kepada gurunya.
Jaksa juga meminta majelis hakim untuk membekukan, mencabut, atau membubarkan yayasan dan sekolah berasrama setingkat SMP milik terdakwa, Yayasan Pondok Pesantren Manarul Huda dan Madani Boarding School, yang menjadi lokasi perkosaan.
Harta terdakwa berupa tanah dan bangunan, serta kekayaan lain baik yang sudah disita dan belum, untuk dilelang dan diserahkan kepada negara, “selanjutnya digunakan untuk biaya sekolah anak-anak dan kelangsungan hidup bayi-bayi mereka,” kata Asep.
Juru Bicara Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dodi Gazali Emil mengatakan permintaan persidangan secara fisik dengan dihadiri terdakwa di tengah pandemi merupakan hasil diskusi antara aktivis hak asasi manusia dan Jaksa Penuntut Umum.
“Kita berharap dengan hadirnya terdakwa, kita bisa menyampaikan tuntutan langsung kepada yang bersangkutan,” kata Dodi.
Terbongkar tahun lalu
Tindakan yang didakwakan kepada Herry terkuak tahun lalu setelah salah satu korban mengaku kepada orang tuanya, yang kemudian melaporkan dugaan pemerkosaan pada Polda Jawa Barat, sebut laporan kepolisian dalam laporan media.
Herry ditangkap dan langsung ditahan di rumah tahanan kepolisian di Kota Bandung sejak Juni tahun lalu. Persidangan dengan pembacaan dakwaan terhadap dirinya berlangsung pada awal Desember.
Ia dijerat dengan pasal berlapis tentang Perlindungan Anak dan juga Pasal Pemerkosaan dalam Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP).
Pada awal 2021, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meneken Peraturan Pemerintah tentang predator anak sebagai turunan dari pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2016, yang memungkinkan pelaku pemerkosaan juga menerima hukuman tambahan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas.
Perwakilan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Garut, Diah Kurniasari Gunawan, mengatakan kepada media nasional bahwa dari 11 dari 12 korban merupakan warga Garut dan tujuh di antaranya telah melahirkan total delapan anak yang diduga dari perbuatan Herry.
Diah mengatakan, bayi-bayi tersebut ditempatkan di sebuah rumah yang disebut Herry sebagai ‘basecamp’ mereka. Kepada pihak luar, Herry selalu mengatakan bayi tersebut adalah anak yatim piatu yang dititipkan dan kerap menjadi objek untuk mencari sumbangan.
“Korban ini anak-anak yang benar-benar lugu saat masuk ke yayasan sehingga mudah diperdaya pelaku dengan berbagai dalih,” kata Diah dalam wawancara dengan KompasTV, akhir bulan lalu.
“Orang tua tidak diberi kebebasan menengok anak-anaknya, anak-anak juga tidak bebas pulang,” tambah Diah.
Pengesahan perlindungan hukum
Kasus Herry, juga peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang banyak terjadi sebelumnya, mendorong masyarakat dan pemerintah mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang pembahasannya mandek sejak enam tahun silam.
Salah satu alasan yang menghambat segera disahkannya RUU tersebut adalah penolakan dari kelompok Islam konservatif yang menginginkan dimasukkannya juga aturan pelarangan hubungan seksual di luar nikah dan juga pelarangan perilaku hubungan sesama jenis.
RUU yang disusun Komisi Nasional Perempuan ini mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual dengan meliputi rumusan untuk perlindungan hingga pemulihan korban, yang selama ini tidak terakomodir dalam KUHP maupun regulasi lainnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi sejak Januari hingga November 2021. Sementara Komnas Perempuan mencatat laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2021, melonjak dua kali lipatnya pada tahun sebelumnya dengan 4.500 aduan.
Ketua DPR Puan Maharani, pada Selasa, mengatakan RUU tentang kekerasan seksual akan masuk dalam inisiatif DPR pada pekan depan untuk selanjutnya masuk ke tahapan pembahasan bersama dengan pemerintah.
“Penyusunan naskah dan harmonisasi RUU TPKS telah selesai dilakukan di Baleg DPR RI,” kata Puan di Senayan, Jakarta.
Keputusan DPR berselang satu pekan setelah Jokowi meminta agar lembaga legislatif segera mengesahkan legislasi tersebut
"Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Ini segera disahkan, sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air," kata Jokowi dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden.
Moeldoko, Kepala Staf Presiden, mengatakan pihaknya berjanji untuk juga menjaring aspirasi masyarakat sipil dalam pembahasan legislasi itu.
“Kami akan melakukan langkah-langkah berupa penjaringan aspirasi kepada masyarakat sipil, menunggu surat presiden kepada DPR RI, juga penyerahan daftar inventarisasi masalah. Itu kira-kira langkah yang akan kami siapkan ke depan,” kata Moeldoko, dalam keterangan pers di Istana Negara, Selasa.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan partainya bisa saja menyetujui pengesahan RUU selama di dalamnya juga mengatur larangan terhadap apa yang disebutnya sebagai seks bebas.
PKS selama ini menolak pengesahan karena menilai rancangan regulasi itu justru membuka ruang pada semakin maraknya perzinaan hingga hubungan seks sesama jenis.
“Harus ada payung hukum yang mengatur, yang menjaga budaya kita dengan betul-betul. Perzinaan adalah suatu yang salah dan kriminal, baik suka-sama suka maupun pemaksaan, lebih-lebih pemaksaan,” kata Mardani.