Belajar HAM di Rumah Munir
2015.09.11
Puluhan pemuda dan mahasiswa duduk bersimpuh, melingkar mengelilingi makam pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, Selasa 8 September 2015. Mereka membersihkan pusara dan menabur bunga di area pemakaman umum Kelurahan Sisir Kota Batu.
Dengan khusuk, mereka membaca tahlil, surat yasin dan berdoa agar dalang pembunuh Munir segera terungkap.
Setelah penantian panjang selama 11 tahun, hanya Pollycarpus Budihari Priyanto yang diseret ke pengadilan. Tahun 2008 pengadilan menghukumnya 20 tahun penjara, namun pada Peninjauan Kembali dia mendapat keringanan 14 tahun.
Pollycarpus kemudian mendapat remisi 12 kali sehingga bisa menikmati pembebasan bersyarat bulan Desember 2014.
Munir, Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dibunuh 7 September 2004 di pesawat Garuda, dalam penerbangan Jakarta-Den Haag, Belanda.
"Kami kecewa, belum ada komitmen apapun dari Presiden Jokowi untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM. Termasuk kasus pembunuhan Munir," ujar istri mendiang Munir, Suciwati, kepada BeritaBenar.
Suciwati menggugah Presiden Joko Widodo untuk mengungkap pelanggaran HAM masa lalu seperti Talangsari, Semanggi, Aceh, Papua dan Trisakti.
Ia berharap agar Presiden Jokowi tidak mengulangi kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkap kasus pelanggaran HAM. Masyarakat tak akan lupa, kata Suciwati.
"Perjuangan menuntut penuntasan kematian Munir, tak akan berhenti," ujarnya.
Usai berdoa di makam Munir, mereka menggelar aksi teatrikal di Alun-Alun Batu. Dengan mengenakan topeng bergambar Munir mereka berorasi dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Belajar melawan lupa
Munir tak hanya dikenang dan diidolakan, namun juga menjadi symbol perjuangan HAM. Rumah tinggal kelurga Munir di Jalan Bukit Berbunga nomor 2 Bumiaji, Batu disulap menjadi museum bernama Omah Munir.
Omah Munir diresmikan pada tanggal kelahiran Munir, 8 Desember 2013 sebagai pusat pendidikan HAM.
"Omah Munir diberi mandat untuk pendidikan HAM,"ujar Direktur Eksekutif Omah Munir, Salma Safitri.
Saat masuk Omah Munir, Anda disapa patung Munir. Sebuah foto mendiang Munir berdiri di samping pintu masuk (gambar, kiri). Beragam foto, poster, rekam jejak Munir, benda kenangan dan penghargaan Munir dipajang di sini.
Ribuan buku koleksi Munir dengan beragam topik mulai buku-buku sastra, biografi, hukum, dan sejarah tersedia untuk bahan bacaan pengunjung.
Pengunjung disuguhi sejumlah foto aktivis mahasiswa yang hilang menjelang reformasi. Berikutnya, Aceh Corner yang memberikan informasi mengenai kasus pelanggaran HAM selama diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).
Video dokumenter dan koleksi foto Munir diputar dalam dua layar televisi. Tak ketinggalan, awal perjalanan Munir menjadi aktivis juga ditunjukkan dengan foto, kliping berita dan grafis.
Diantaranya ketika dia mulai aktif membela buruh, membela dan mengungkap pembunuh buruh Marsinah, kasus pelanggaran HAM di Nipah, dan Timor Timur.
Sejumlah penghargaan yang diterima Munir juga dipamerkan dalam sebuah lemari. Seperti piala dan piagam Mandanjeet Singh Prize Unesco, dan The Right Livelihood Award.
Barang pribadi Munir seperti sepatu, paspor, jam, skripsi, dan pakaian juga dipamerkan dalam bingkai kaca. Tampak rompi anti peluru Munir yang digunakan saat menangani kasus pelanggaran HAM Timor Timur 1999.
"Setiap hari pengunjung 20-50 orang," ujar Salma.
Berawal dari tumpukan barang Munir
Suciwati menata koleksi dari barang-barang pribadi Munir hingga berbagai penghargaan yang menumpuk. Sayang jika barang berharga itu dibiarkan tak terawat, katanya.
Di kediamannya seluas 350 meter persegi Suciwati hanya tinggal bersama dua buah hatinya, Alif Allende dan Diva Suukyi.
Suciwati melontarkan gagasan membuat museum Munir untuk mengenang suaminya dan sebagai pusat pendidikan HAM. Suci menemui karib Munir yang juga pakar sejarah yang membidani Museum Polri, Andi Achdian.
“Agar rumah lebih berarti, tak sekedar tempat tinggal,” tukas Suci.
Gagasan Suciwati disambut Andi dengan mendesain dan menata rumah tinggal menjadi museum modern. Dibutuhkan dana besar untuk mewujudkan mimpi Suciwati.
Dukungan terus mengalir, sokongan donasi datang dari Glenn Fredly, Melanie Subono, Tompi, Happy Salma, Faisal Basri dan Dahlan Iskan.
Sumbangan tak hanya materi, Kementerian Hukum dan HAM menyumbang bahan kampanye HAM mulai perjalanan dan sejarah HAM di Indonesia.
Sejumlah media massa seperti SCTV dan MetroTV dan Jawa Pos menyumbang dokumentasi pemberitaan, kliping berita dan foto.
Para sahabat Munir membentuk Perkumpulan Munir untuk mempersiapkan Omah Munir.
Dua kamar tidur diubah menjadi ruang perpustakaan yang menyimpan buku koleksi Munir. Ruang tamu disulap menjadi ruang pameran, diorama, dan audio visual yang merekam perjalanan Munir dan sejarah HAM Indonesia.
Omah Munir juga dilengkapi kafe dan toko cinderamata. Pengunjung dapat belajar tentang HAM sambil bersantai dan menikmati panorama pegunungan Batu di kawasan kaki Gunung Arjuna.
Menyasar anak muda sebagai pewaris bangsa
Pengunjung yang datang mendokumentasikan poster, foto dan berfoto bersama patung dan poster Munir. Mereka tampak menikmati belajar sejarah tentang HAM.
"Omah Munir menjadi alternatif belajar HAM untuk anak muda," kata Julia Rachmawati, salah satu pengunjung.
Generasi muda, katanya, banyak yang tak mengenal sosok Munir yang membela dan memperjuangkan HAM. Munir menurutnya berani membuka tabir kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 1965.
Karena berkunjung ke Omah Munir, Julia lebih mengenal perjuangan Munir. Dia berharap bisa turut mengikuti jejak Munir mengabdikan hidup untuk kemanusiaan. Julia juga mengikuti pendidikan demokrasi dan HAM di KontraS Surabaya.
Omah Munir menerbitkan modul pengayaan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) untuk pelajar SMP. Modul disusun untuk membumikan pendidikan HAM, menyesuaikan kurikulum 2006 dan 2013.
Modul disusun oleh aktivis HAM, guru trainer PPKn dan penulis buku anak-anak Irfan Amale. Modul diujicoba di Madrasah Tsanawiyah Surya Buana Malang, SMP Negeri 1 Batu, SMP 2 dan SMP 3 Bogor. Pembelajaran menggunakan metode menyenangkan dengan bermain.
"Pelajaran menjadi menarik dan menyenangkan," ujar Direktur Eksekutif Omah Munir, Salma Safitri.
Modul disusun untuk empat pertemuan mengenalkan HAM untuk kehidupan sehari-hari. Seperti menghormati orang lain, tak merisak teman, dan tak melecehkan teman perempuan. Serta memperkenalkan sejumlah tokoh HAM di Indonesia seperti Munir, jurnalis Udin, dan buruh Marsinah.
Siswa diajak aktif berdiskusi dengan aneka permainan yang menarik.
"Guru sebagai fasilitator," ujar Salma. Persoalan HAM, katanya, digambarkan secara luas.
"Modul dilengkapi gambar, permainan dan video," ujar Salma.
Salah seorang siswa SMP Negeri Batu, Imelda, mengaku menikmati belajar di sini karena materi HAM disampaikan dengan permainan dan banyak berdiskusi.
"Tak melulu membaca teks dan diterangkan oleh guru," ujarnya.
Sedangkan Suherman, siswa kelas 7 mengaku sebelumnya tidak begitu tahu mengenai sosok Munir, hanya melalui poster dan gambar Munir yang terpajang di Alun-Alun. Sekarang dia mengaku banyak pelajaran yang didapat.
"Saya akhirnya tahu wartawan Udin dan Marsinah adalah pahlawan HAM," ujarnya.